Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Sulit Lupa

Percayalah bahwa wanita itu, meski mudah terluka, adalah makhluk yang tak membutuhkan waktu lama untuk sembuh. Mudah sekali mengalihkan fokus wanita dari rasa sakitnya. Percayalah bahwa wanita itu, bagaimana pun sakitnya, adalah makhluk yang tak membutuhkan waktu lama untuk memaafkan. Mudah sekali membuatnya tersentuh, lantas jatuh iba. Tapi, Sayang. Hati wanita itu seperti lautan rahasia yang begitu dalam. Sementara meski terlihat suka bercerita, ekspresinya hanya sebatas puncak gunung es yang dasarnya tak bisa kau tebak. Mengertilah bahwa sembuh tak lantas membuat hatinya kembali utuh. Dan memaafkan, tak lantas membuatnya lupa. Mengertilah bahwa dia masih akan bisa tersenyum kepadamu, dia masih akan bisa menyambutmu, dia masih akan bisa mencintaimu, pun dia masih akan selalu ingat rasanya luka yang pernah kau torehkan. Mengertilah bahwa sekali kau mencatatkan nama dalam air matanya, maka dia akan membaca namanu tiap kali menangis. Apa semacam dendam? Bukan. Dia sudah mem

Monolog Cermin

Andai kau kehilangan dirimu sendiri dalam perjalananmu mencari jati diri, apa lantas kau akan berhenti? Bagaimana lah kalau bertahan hidup kadang justru menyita waktu kita untuk hidup Andai hilang bahagia dari yang selalu berhasil membuatmu tertawa begitu sederhana, apa lantas kau mulai khawatir akhirnya waktu berhasil buat kau tua? Bagaimanalah jika kadang kita dibuat sibuk mencari, sampai lupa pada yang sebenarnya sedang kita cari Lupa aku tanya kita cari apa! Andai kau kehilangan dirimu sendiri dalam perjalananmu mencari jati diri, apa kau akan pilih kembali? Apa kau akan pilih lari? Apa kan kau biarkan yang hilang berganti? Apa masih boleh kudengar kau mendendang teoriteori katahati, jika aku kehilangan kau dalam perjalananmu mencari jati diri. Apa masih akan? Jakarta, 12 September 2015 Dien Ihsani

Balada Sarung Tenun Coklat Kesayangan

Kau percaya firasat? Aku kadang percaya. Terlepas dari ada atau tidak penjelasan ilmiahnya. Selama ngekos di sini aku agak manja. Gegara ada laundry tepat di depan kosan, aku jadi jarang banget nyuci baju sendiri. Meski beberapa kali ada masalah macam baju ketukar, kelunturan, jadinya lebih lama dari seharusnya, dan sebagainya. Entah kenapa aku selalu bisa begitu saja memaklumi. Terlebih ibu dan bapak laundry yang notabene si empunya kosan yang aku tempati itu orangnya baik luar biasa. Sumpah baik banget. Jadi… yasudahlah. Toh memang manusia tempatnya salah. Halah. Apalah. Haha Meski kadang, aku memang jadi memilih untuk mencuci sendiri baju yang aku paling sayangi. Just in case . Hingga entah kenapa, beberapa hari lalu aku mencampur sarung tenun coklat kesayanganku ke dalam sekantong pakaian yang akan   aku laundry . Aku masih ingat kalau aku sempat ragu. Aku sempat takut terjadi sesuatu pada sarungku. Namun, entah apa yang akhirnya membuatku memutuskan untuk tida

Sepasang Kakek-Nenek Pagi Ini

Kadang sesuatu kelihatan salah cuma karena kita enggak ngerti. Ada banyak cara orang untuk saling menyayangi. Tak perlu sama dengan cara umumnya orang-orang lain, yang penting keduanya saling memahami. Adalah sepasang kakek-nenek yang awalnya bagiku hubungan keduanya terlihat janggal. Si wanita keras kepala, rewel, dan terlihat dominan. Sementara prianya tipe pendiam cenderung pasrah. Kalau yang umum kulihat itu kan istri melayani suami. Karena di keluarga tempatku tumbuh, itu juga yang terjadi. Kadang kelihatan kayak selelah apapun istri, dia yang lebih sering mijit suami pulang kerja. Dia tetep yang menyambut suaminya dengan segelas kopi panas. Sepasang kakek-nenek ini enggak. Yang terjadi justru sebaliknya. Kadang aku yang mikir kayak, kok mau-maunya gitu kan. Aku bahkan nyaris nge- judge Si Kakek anggota ikatan suami takut istri. Hampir. Tapi anehnya, keduanya toh harmonis-harmonis saja. Singkat cerita, si wanita ini sakit. Dia memang sering sakit. Kudengar beberapa keluhan ka

Malam ini Aku Pulang Sendiri

Lama banget nggak mengunjungi tempat ini. Lamat-lamat yang kadung menghiasi sudut-sudut itu, kalau diberesi entah apa masih bisa bersih sama sekali. Momen-momen weekday -ku belakangan dipenuhi dengan mandi pagi, berangkat subuh, keburu-buru mengejar jadwal kereta atau omprengan, sampai kantor kepagian, ngautis di dalamnya seharian, pulang sore cenderung malam, ngegrab taksi, menghadapi kepadatan KRL lagi, terkantuk-kantuk di angkot, sampai rumah kemalaman, mengumpulkan sisa mood untuk mandi, berusaha mencapai target tidur jam 9 yang lebih sering enggak kesampaian, kemudian terbangun oleh alarm pukul 4 keesokan harinya untuk mandi pagi, berangkat subuh, dan seterusnya. Sementara weekend selalu aku jadwalkan untuk bangun siang, mengunjungi sudut ibu kota yang ingin dijamah, atau sekedar leyeh-leyeh seharian. Semacam momentum pelampiasan setelah diforsir seminggu penuh mikir laporan. Oh iya, aku lagi ojt, semacam magang semi klasikal kelompokan gitu. Seru. Tiap minggu ganti kantor untu

Best Response of The Day

Dulu, tanggapan papa buat semua yang aku raih adalah tanggapan paling nyebalkan. Apa pun yang aku pamerin pasti cuma ditanggapi dengan, "Papa tahu." Hampir selalu tanpa ucapan selamat. Ah, kok selamat. Kadang pake senyum aja enggak. Lempeeng gitu ngomongnya. Kayak yang njeglek gitu ga sih kalau kita udah ngomong pamer menggebu-gebu terus ditanggepinnya gitu doang? -_- Aku sering ngerasa gagal pamer ke papa. Aku sering ngerasa ga tau gimana caranya bikin papa kagum. Mungkin dasarnya papaku nggak gumunan kali ya. Haha. Tapi kan nyebelin gitu kan kalau setiap yang udah kita usahakan jadi seolah biasa aja. Tapi sekarang, aku kangen lho ditanggapi begitu. Aku kangen denger kalimat, "Papa tahu," yang diucapkan tanpa ekspresi kagum itu. Seolah kayak papa sebenernya cuma pengen bilang kalau beliau tahu aku pasti bisa. Kalau segala pencapaian itu enggak perlu dikageti karena beliau percaya sejak awal bahwa aku memang layak. Terlebih setelah aku tahu bahwa di belakangku

Dari Legian van Java ke Legian Beneran ;Bermimpi Sajalah

Pagi ini gladi bersih pcs 2 OJK di LPPI Kemang. Rasanya amazing. Dulu aku tau Kemang itu cuma dari TV doang. Haha. Ga pernah kebayang bakal menginjakkan kaki, ah bukan, bahkan sejenak berdomisili di Legian van Java ini. Ngomong-ngomong soal Legian, aku belum pernah ke Bali lho. Ndeso ya? Haha. Seumur-umur Bali itu masih sekedar salah satu tempat yang namanya ada di peta dalam duniaku. Sek, apa hubungannya coba gladi bersih sama belum pernah ke Bali? Jadi gini, dari dulu aku selalu ngerasa Bali itu tempat yang enggak seru kalau dikunjungi rame-rame dengan jadwal yang ketat maca study tour. Makanya aku sama sekali enggak tertarik gabung study tour jaman SMA maupun KKL jaman kuliah ke Bali. Entah kenapa aku merasa Bali itu tempat yang seharusnya dikunjungi bersama teman-teman dekat dalam sebuah kelompok kecil yang kita bebas mau ke mana berapa lama. Aku pernah becanda bilang ntar main ke sana pas udah kerja aja. Nah hubungannya sama gladi bersih di mana? Jadi kan tadi ada pembagian k

Rindu yang tak bisa kucegah datang

Waktu telah lama berlalu, namun aku masih selalu berdoa untuk kebaikanmu. Kau apa kabar? Lihatlah! Aku baik-baik saja. Aku tumbuh jauh lebih dewasa dari yang dulu pernah kau kenal. Oh iya. Maaf untuk rindu yang kadang tak bisa kucegah datang. Entah kenapa mengenangmu rasanya masih menyenangkan. Kisah tentangmu sekarang masih saja berhasil membuatku penasaran. Santai saja. Aku sudah menemukan jalanku untuk berlalu. Kau macam benda di museum. Kutengok bukan untuk kujumput ulang. Kemang, 1 Maret 2015 Dien Ihsani

Tentang Rindu Pulang

Bepergianlah, maka kau akan tahu artinya rumah. Iya, seperti itu. Kadang segala sesuatu akan terlihat lebih indah kalau sudah berbalut rindu. Soal rindu rumah, aku selalu jadi ingat seseorang. Namanya, sebut saja Bintang. Dia suka sekali langit malam. Terlebih ketika di atas sana gemintang cemerlang tanpa awan. Dia sering memberitahuku sebuah teori yang entah dia dapat dari mana, tentang udara malam akan terasa dingin ketika langit cerah. Aku, kadang, diam-diam mengiyakan. Hingga ketika malam terasa dingin, kadang aku ngglegakke melongok ke luar demi memastikan langit beneran cerah atau tidak. Sering kali iya. Oh iya, soal rumah. Bintang selalu bilang bahwa keluarga adalah orang-orang yang mustahil kita benci bahkan ketika kita sedang sangat marah. Tempat itu, dengan segala peraturannya, dengan segala ego masing-masing kepala, kadang memang terasa busuk. Menyebalkan. Kadang memang rasanya kayak bikin pengen pindah. Kadang. Bagi beberapa orang mungkin sering. Tidak semua orang puny

Jakarta, Lontong Sayur, dan Satpol PP ;Travelling Pertama

Travelling , rasanya banyak orang yang akan mengamini kalau aku bilang hobi yang satu ini menyenangkan. Hampir bisa dibilang travelling adalah hobi sejuta umat. Siapa sih yang tidak suka jalan-jalan? Pun aku. Travelling masuk dalam salah satu daftar panjang hobiku.  Hobi yang sering dianggap butuh banyak modal ini belum lama aku geluti. Travelling pertama yang membuatku kecanduan untuk melakukan travelling-travelling berikutnya terjadi pada tahun 2011 lalu. Undangan untuk menghadiri acara sebuah komunitas membuatku harus pergi ke Jakarta. Meski jarak Jakarta-Semarang memang cukup untukku disebut sebagai musafir, namun kota itu bagiku sebenarnya terbilang masih terjangkau. Aku pernah beberapa mengunjungi saudaraku yang tinggal di sana sebelumnya.   Lalu apanya yang istimewa?   Bagiku, pembeda antara travelling dengan hanya bepergian itu terletak pada prosesnya. Pergi ke rumah saudara itu hanya sebuah acara bepergian. Sampai rumah, lalu sudah. Ketika dari bepergian itu

Kepada Hati

Hai, kau! Apa kabar? Sepertinya belakangan ini aku mulai terlalu banyak bicara hingga lupa mendengar. Aku terlalu banyak mendongeng hingga larut, lantas lupa menengok pesan yang kau selipkan di sela malam. Masih hidupkah kau? Lantas kenapa tak lagi kutemukan geletar yang dulu selalu kunikmati denyutannya itu? Sakitkah kau? Matikah kau? Kukilas satu persatu perkara yang bersebaran di meja makan. Beberapa terbang hingga lantai, lantas terinjak entah kaki siapa. Aku sungguh rindu masa saat menyentuhmu terasa begitu mudah. Aku sungguh rindu masa saat kau bangunkanku ketika malam belum katam pulang, dan aku tak pernah merasa harus marah bahkan meski saat itu mimpiku tengah begitu indah. Coba beri tahu, apa yang seharusnya kulakukan untuk mendengar suaramu lagi, hati. Aku lelah kalah membuka mata dari matahari. Borobudur, 14 Februari 2015 Dien Ihsani

Path Kita Masing-Masing

Setiap hal di dunia ini punya path -nya masing-masing. Kadang bersisian satu sama lain. Pun kadang saling lepas sama sekali. Seperti tak sengaja kita saling menemukan di satu waktu, lalu terpisah sekat entah di waktu-waktu lain. Seperti hari ini ketika dimana-mana bertaburan coklat dan warna merah jambu, Jakarta tak mau kalah romatis dengan melapisi jalanannya dengan "coklat cair". Atau seperti ada orang yang sedang bahagia-bahagianya, ada juga yang kehilangan di waktu yang sama. Atau seperti pemerintah yang sedang memperdebatkan kehormatan golongannya masing-masing, sementara ada sekian ratus bayi mati lantaran kurang gizi. Atau sederhananya saja, seperti berita pernikahan dan perceraian artis di satu acara infotainment yang sama. Lantas kenapa? Yaaa... enggak papa sih. Aku hanya berpikir bahwa ironi itu sesuatu yang paling alami untuk terjadi. Ya itu tadi. Bahwa setiap hal di dunia ini punya path -nya masing-masing. Bahkan hal-hal yang kelihatannya berkaitan macam sen

Semarang Tanpa Kalian, Apa Akan Tetap Sama?

Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, sekaligus (kata Wikipedia ) kota metropolitan terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Meski aku enggak tahu kenapa kok masih sering enggak masuk dalam daftar "kota-kota besar di Indonesia" versi audisi-audisi pencarian bakat dan atau road show acara-acara televisi yang disiarkan live . Kalah sama Jogja dan Makassar yang enggak masuk daftar kota metropolitan versi wikipedia itu #mbuletmbulet Padahal kata KBBI, kota metropolitan adalah kota besar yang menguasai daerah sekelilingnya dengan adanya kota satelit dan kota pinggiran. Menurut logika matematika, berlaku implikasi jika metropolitan maka kota besar. Blablabla #kemudiangumoh Ah, lupakan. Dengan atau tanpa kalian, Kota Pelabuhan ini akan tetap menjadi Kota Atlas yang selalu bergerak menuju aman, tertib, lancar, asri, dan sehat. Dengan atau tanpa kalian, Semarang akan tetap punya musim hujan, musim kemarau, dan musim banjir yang kadang

Berbahagia Sajalah

Tidak semua hal di dunia ini bisa berjalan seperti apa yang sebelumnya direncanakan. Artinya gagal? Tidak juga. Berjalan di luar rencana dan tidak berjalan sama sekali itu adalah satu dan lain hal. Jadi, melenceng bukan gagal to ya? Aku bukan sedang berceramah, aku benar-benar bertanya. Ketahuilah, sama sekali tak ada yang aku sesalkan. Kuharap kau juga. Kayaknya ada pepatah yang bilang bahwa kita tidak perlu menyesali segala yang pernah kita lalukan, tapi sesalilah hal-hal yang tidak kita lakukan. Iya. Aku akan menyesal kalau tidak kutunjukkan pada dua malaikatmu yang sungguh sangat kuhormati itu bahwa aku turut bahagia dengan berita yang kudengar. Aku sungguh-sungguh ikut bahagia. Senyum yang kupasang seharian tadi sungguh bukan pura-pura. Rasanya memang aneh melihatmu duduk di sana. Rasanya memang aneh menemukanmu sesekali melirik ke tempatku berada. Rasanya memang aneh mendapati tatapan dua malaikatmu yang seolah menyimpan kalimat tak terucapkan. Tapi aku justru merasa leg

Begini Kira-Kira Kami Mengartikan Perpisahan, Wahai Para Pria "Minggatan"

Aku sepertinya mulai mengerti kenapa pria suka "minggat". Iya, minggat. Pergi tanpa pamit itu, namanya minggat kan? Jadi aku kenal beberapa teman pria yang entah kenapa, lebih suka pergi diam-diam. Mereka bilang perpisahan itu rempong. Bahkan perpisahan sama orang yang paling dekat sekali pun. Pamitan itu ya cukup sama orang tua aja. Makanya enggak ada angin enggak ada hujan, tiba-tiba mereka juga udah enggak ada aja. Udah hilang entah di mana. Temanku ada yang beberapa waktu lalu menggemparkan dunia persilatan karena dia mendadak pindah, tanpa ada yang benar-benar tahu ke mana. Aku yang diketahui sebagai salah satu orang terdekatnya menjadi sasaran cecaran pertanyaan, yang hanya bisa aku jawab dengan pertanyaan juga. Aku cuma tahu dia mau pergi, tapi dia sama sekali enggak bilang kapan dan tepatnya ke mana. Aku bahkan baru tahu kalau dia sudah benar-benar pergi ketika orang-orang tanya. Lalu aku mulai menyadari kalau dia "minggat" ketika yang tanya sama aku

Bunga dan Kumbang: Jalan yang Paling Ringan Rasa Sakitnya

Persahabatan pria dan wanita adalah hubungan yang rentan. Intensitas kebersamaan sering kali membuat rasa memiliki lancang datang. Apa benar-benar ada pria dan wanita yang bersahabat tanpa melibatkan perasaan apa-apa? Mungkin. Iya. Aku sendiri punya beberapa sahabat pria, dan hubungan kami baik-baik saja. Meski memang harus aku akui bahwa kadang ada interaksi yang tampak lebih dari sekedar teman. Kadang memang ada rasa-rasa kelewat batas yang datang di luar kuasa kami--atau mungkin aku-- mencegah. Seperti bantuan, simpati, pengorbanan, perhatian, atau kecemasan-kecemasan yang berlebihan untuk ukuran teman. Kadang-kadang memang ada hal-hal semacam itu. Terlebih wanita katanya adalah makhluk yang paling enggak bisa meninggalkan perasaan. Begitulah. Namun percayalah bahwa perasaan yang ada tak harus perasaan-yang-seperti-itu. Tahu kan maksudku? Aku pikir, kami memang layak saling menyayangi. Bagaimana pun, waktu memang akan menumbuhkan kenangan-kenangan yang membuat kami sulit le

Sekalimatku Soal Kita

Kata yang diam-diam kuperam, kadang ingin kuutarakan dalam sekalimat picisan. Hingga bisa kau nikmati macam roman-roman yang kau baca. Namun aku takut pemaknaanku akan kita berubah. Entah kenapa aku memaksa menuliskan aksara-aksara di sela hitungan mundurku akan tenggat waktu. Mungkin lantaran keinginan untuk menemukanmu geming di salah satu angkaku masih angkuh tak hendak menguap meski berkali kuyakinkan diriku bahwa itu tak perlu Jika akhir paling telo adalah yang terjadi tanpa perpisahan, akan kah kau biarkan sejarahku mencatatmu sebagai salah satu bagiannya? Sementara ada sekalimat yang belum katam kuterjemahkan dalam bahasa yang kita bisa sama-sama paham. Jika kehilangan paling tegke adalah yang tercerabut tanpa disadari, akan kah kau biarkan kita berhenti sebagai penggalan-penggalan yang tak selesai dirangkai? Sementara ada sekalimat yang sungguh aku ingin kau simpan dalam perjalananmu menuju dunia yang dulu hanya ada dalam kidungmu soal mimpi. Ejaanku hampi

Charlie Hebdo: Ketika Kebebasan Berpendapat Disalahgunakan

Ah, menyebalkan. Biasanya aku enggak suka menuliskan tema ini. Rawan. Menurutku, agama dan idealisme itu masuk dalam ha-hal yang tidak perlu diperdebatkan. Tapi berita di kompas yang aku baca sore tadi tentang Charlie Hebdo  benar-benar menyebalkan. Masih ingat peristiwa penembakan di kantor majalah mingguan Perancis tersebut tanggal 8 Januari lalu? Seluruh dunia menangis karena itu. Kutukan terhadap teroris terjadi di mana-mana. Bahkan ada beberapa pihak yang lantas memukul rata dengan menghujat Islam. Tidak, aku bukan mau membela aksi penembakan itu meski katanya darah penghina nabi itu halal. Boleh dibunuh. Katanya. Bagaimana pun, aksi penembakan yang menewaskan 12 orang itu jelas keji. Anggaplah benar Rasulullah memperbolehkan penghina nabi untuk dihukum mati, aku enggak yakin ke-12 nyawa itu semuanya terlibat. Penembakan membabi buta seperti itu gegabah. Kata pepatah, tak ada asap jika tak ada api. Pihak Charlie Hebdo mengatakan bahwa medianya tidak berisi kekerasan, hany

Akanmu-Akannya

Getar yang kubiarkan semai dalam tiap ingatanku akanmu-akannya  itu, aku tak tahu apa namanya. Mungkin perwujudan sebuah rindu atau justru kemarahan yang diam-diam kupendam. Tapi aku bisa marah pada siapa? Bahwa ternyata maaf tak mampu menghapus ingatan. Ketika merelakan ternyata tak semudah seperti yang kujanjikan. Kadang aku berlari hanya untuk membuktikan bahwa aku mampu berdiri sejajar, pada akhirnya dengan atau tanpamu, Pa. Kadang aku terjaga hanya demi menyusun rencana memecundangi mereka. Bahwa mereka tumbuh di bawah ketiakmu sementara aku tidak. Bagaimana lah aku tahu bagaimana wujud dari merelakan itu jika aku pada dasarnya hanya seorang pecemburu? Siapa lah mampu ajariku selainmu? Bahkan meski aku tahu sekam dari api antara kami yang tampak mustahil padam, selalu ada rasa-rasa tumbuh di luar kuasa.Aku tergoda untuk marah. Untuk jengah. Untuk meminta kembali segala yang mereka pernah bawa. Segala yang sempat mereka terima sementara aku tidak. Aku ini hanya s

Bulan Terbelah di Langit Amerika; Jika Islam Tak Pernah Ada

Penulis                      : Hanum Salsabila Rais, Rangga Almahendra Penerbit                    : Gramedia Pustaka Utama ISBN                       : 978-602-03-0545-5 Rilis                          : Mei 2014 Halaman                   : 344 halaman Bahasa                     : Indonesia Buku ini jongkrok di rak bukuku sejak beberapa bulan lalu setelah salah seorang teman, sebut saja Mbak Rini (bukan nama samaran), menghadiahkannya padaku sebagai kado wisuda. Ah, baiknya mbak cantikku satu itu. Dia tahu benar hal-hal yang menyenangkanku. Haha. Tapi, baru beberapa hari lalu sempet aku baca karena masuk daftar antrian. Setdah. Kalau 2015 ini Magelang rencananya mau hujan sastra, akhir tahun lalu kamarku hujan buku. Alhamdulillah dapet gratis semua #hosh. Haha. Senafas dengan saudaranya, 99 Cahaya di Langit Eropa, buku ini masih menceritakan perjalanan religi Hanum dan Rangga di negeri yang muslimnya minoritas. Cerita dimulai ketika Hanum mendapatkan tugas liputan dari He

Late New Year

Ini masih ada suasana tahun baru kan ya? Tanggal 2, sudah lebih dari 1x24 jam kita mengecap 2015. Kalau tamu, sekarang ini udah kudu lapor ketua RT/RW setempat. Ah, apalah. 2014 lalu adalah tahun jungkir balik? Bagaimana tidak? Aku yang selama ini settle dengan titel mahasiswa, harus rela melepas status itu. 29 Oktober lalu aku resmi turun derajat menjadi.. ah, sudahlah. Haha. 2015 ini istimewa karena di sini aku harus memulai sesuatu yang benar-benar baru. Memang sebelum ini aku sudah berkali-kali lulus, terus nyari sekolah baru. Ketemu teman baru. Punya guru-guru baru. Mencari pengalaman baru. Menggeluti bidang dan kegiatan baru. Melepas sebuah status untuk status lain, kayaknya enggak semenegangkan rasanya pegang KTP dan SIM untuk pertama kalinya di usia tujuh belas dulu. Harusnya begitu. Tapi, pergantian jenjang kali ini nyatanya benar-benar berbeda. Sejujurnya aku agak takut. Fuhh. Kalau dulu pas aku enggak nyaman sama lingkunganku, aku bisa bilang sama diriku sendiri, &q