Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2013

Manusia Hebat dalam Hidupku

Ada sedikit cerita. Ewmm.. Banyak sih, sebenarnya. Tentang cinta-cinta yang kadang terlupa hanya karena kisah picisan yang selalu terlalu mempesona. Tentang orang-orang hebat di sekelilingku. Tentang bukti bahwa Tuhan memang menitiskan cinta dimana-mana. Tentang bukti bahwa dunia ini mungkin tak seburuk kedengarannya. Mereka, makhluk-mkahluk terhebatku, tentu setelah sepasang malaikat yang dengan cantiknya khusus Tuhan kirimkan untuk menjagaku. Mereka: sahabatku. Bukti bahwa keluarga bukan hanya cerita tentang ikatan darah, keluarga bukan hanya sekumpulan orang yang tinggal serumah. Mereka yang mengerti bagaimana menghadapiku dengan segala tingkah menyebalkanku. Mereka yang selalu menemukan cara untuk meredamkan aku ketika aku sendiri tak mampu. Mereka yang selalu tahu bagaimana menerimaku dengan segala kekuranganku. Mereka yang selalu menelanjangiku hingga tak tersisa image lagi untuk kujaga. Mereka kadang terlalu mengenalku, bahkan lebih dari diriku sendiri. Bahkan juga lebih da

Keysha, Darahmu Bukan Penebus Dosa

Susah payah kucoba mengaitkan dua kawat kecil di belakang punggungku. Biasanya aku hanya butuh beberapa detik saja untuk lakukan itu. Tapi dingin pagi ini membuat jari-jariku beku, menyulitkanku. Seolah benar-benar sengaja melengkapi beku hatiku. Aku terus saja menggerutu. Panas yang menguap dalam kepalaku tak juga mampu mengusir hawa dingin Julan Juni yang kejam menusuk rusuk-rusukku. Hampir aku menyerah. Kawat kecil sialan itu membuatku lelah. Seolah memang sengaja membuatku semakin jengah. Ini pasti koalisi. Weekend ini, kawat kecil ini, hawa dingin ini, rasa takut ini, dia, kamu, semuanya seperti sengaja ingin membunuhku pagi ini. Sengaja ingin mengusirku dari bumi. Harusnya aku sudah terbiasa menghadapinya. Tapi.. “Aarrrggghhh!!!!” Kuhempaskan tanganku yang mulai kesemutan. “Kamu nggak akan bisa melakukannya dengan cara sekasar itu, Sayang,” kau berbisik lembut di telingaku. Tanganmu lembut mengaitkan dua kawat kecil itu. Dari kaca rias besar di depanku bisa kulihat

Ukiran Nisan

Seperti yang selalu diajarkan bahwa semua yang hidup akan bertemu dengan kematian, semua yang mati dulunya pernah hidup juga. Tak ada yang tahu kapan dan dengan cara apa waktu membenturkan kehidupan pada pintu kematian. Kau mungkin ketakutan, tapi ketika waktumu benar-benar tiba, percayalah kau akan berharap kematianmu merampas utuh dirimu dari kehidupan.. **                 Beberapa menit lalu bocah laki-laki itu masih tertawa riang bersama teman-temannya. Bola yang kini menggelinding liar ke jalanan pun masih hangat bekas pelukan tangan. Ahh. Siapa sih yang bisa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Tidak kita, bukan juga dia.                 Rumah megah itu tampak ramai didatangi warga. Semua orang berkerumun seakan takut ketinggalan cerita. Sebuah ambulance dan dua buah mobil polisi berhenti dengan lampu sirine masih berkedip hampir bersamaan. Beberapa orang berseragam, banyak pria berjas, dan lebih banyak lagi manusia berpakaian ala kadarnya tampak sibuk lalu lalang

Diorama Kehidupan

                Bocah perempuan kecil itu, Bintang. Usianya mungkin baru tiga tahun. Kulitnya kecoklatan, rambutnya merah terbakar matahari, pipinya gempal cememotan oleh sisa ingus yang mengering. Sekilas dia sama seperti anak-anak lain seusianya. Sekilas. Kecuali sebelah matanya yang hampir putih rata. Mata kirinya buta.                 Bintang diam dalam gendongan seorang wanita yang tak dikenalnya. Dia hanya tahu emak memanggilnya Mbak Kar. Mbak Kar adalah satu dari beberapa wanita yang tiap hari bergantian datang ke rumahnya. Menjemputnya. Bintang tak pernah tahu mengapa emak membiarkan wanita-wanita itu membawanya. Bintang tak pernah bertanya mengapa.                 Di samping Mbak Kar, bocah perempuan lain seusia Bintang juga diam dalam gendongan seorang wanita bertopi biru. Ahh.. wanita itu. Bintang ingat dia juga pernah berada dalam gendongan wanita itu beberapa hari lalu. Bintang tersenyum kepada bocah perempuan yang baru pertama dilihatnya itu. Anak itu membalas se

Tak Hanya Para Bedebah

Ketika pahlawan menjelma bualan ketiak-ketiak zaman. Undang-undang diamandemen pundi pribadi.           Demokrasi dinikahi kapitalisasi. Bedebahku lupa rakyat. Merdekaku berkarat. Sementara pejuangku sudah tidur di kubur-kubur. Tapi aku bukan negeri milik bedebah! Anak-anak negeriku masih angkuh tak mengalah. Pahlawan baru: tanpa tumpah darah, tanpa bintang jasa sebagai upah. Melesat indah tak peduli polah sampah bedebah. Toh garudaku tetap gagah di bhineka. Toh sang sakaku masih mengibari tiang-tiang angkasa. Lalu, masih harus kupusingkan bedebah kah? Dien Ihsani Banjarsari, November 2012 Buletin Perdu edisi November 2012

Cerita dari Negeri dalam Negeri

Di balik gelap asap-asap pekat.. Di antara bus bus kota yang berjajar tegak.. Menghadapi tuan-tuan yang kadang berdiri terlalu congkak.. Dia masih tegak menertawakan kehidupan. Tak terhenti oleh terik kejam dunia. Apalagi sekedar cibiran ego manusia.. Di sini, di sebuah negeri dalam negeri.. Negeri kecilnya yang diatur oleh hukum dunia yang keji. Maka jadilah keji. Belajar dia bagaimana menjadi manusia, yang manusiawi. Di sini, di sebuah negeri dalam negeri.. Tempat yang seringkali dinilai tak berarti. Belajar dia tentang arti strategi.. Menjadi keji tanpa memakan saudara sendiri. Di sini, di sebuah negeri dalam negeri.. tak perlu dia membunuh sesamanya demi mengejar obsesi. Apalah arti obsesi baginya? Dia hanya anak terminal yang dianggap hina. Dipandang sebelah mata baginya sudah biasa. Tak apa.. Kadang dia memang lakukan hal-hal hina. Setidaknya dia akui kehinaannya secara ksatria. Tak pernah terlintas tuk sembunyi di balik ketiak