Setiap hal di dunia ini punya path-nya masing-masing. Kadang bersisian satu sama lain. Pun kadang saling lepas sama sekali. Seperti tak sengaja kita saling menemukan di satu waktu, lalu terpisah sekat entah di waktu-waktu lain. Seperti hari ini ketika dimana-mana bertaburan coklat dan warna merah jambu, Jakarta tak mau kalah romatis dengan melapisi jalanannya dengan "coklat cair". Atau seperti ada orang yang sedang bahagia-bahagianya, ada juga yang kehilangan di waktu yang sama. Atau seperti pemerintah yang sedang memperdebatkan kehormatan golongannya masing-masing, sementara ada sekian ratus bayi mati lantaran kurang gizi. Atau sederhananya saja, seperti berita pernikahan dan perceraian artis di satu acara infotainment yang sama.
Lantas kenapa?
Yaaa... enggak papa sih. Aku hanya berpikir bahwa ironi itu sesuatu yang paling alami untuk terjadi. Ya itu tadi. Bahwa setiap hal di dunia ini punya path-nya masing-masing. Bahkan hal-hal yang kelihatannya berkaitan macam senang-sedih, menemukan-kehilangan, bahkan pemerintah-rakyat, sebenarnya saling lepas. Mungkin memang berhubungan, tapi saling lepas. Duh, piye kui?
Gini, mudah banget untuk berbahagia di atas penderitaan orang lain. Simpati sih mungkin iya. Tapi apa lantas jadi tabu untuk tetap bahagia? Aku rasa enggak. Hanya yang juga merasa kehilangan yang tahu benar duka dalam sebuah kematian. Sisanya, bahkan orang yang takziyah sekali pun masih akan sempat bertukar canda sepanjang perjalanan.
Iya nggak sih? Apa aku doang yang kelewat jahat?
Memang sih aku kadang ngeri lihat pemerintah yang sibuk sendiri, sementara rakyat yang katanya diwakili justru dibiarkan koar-koar tak didengar. Aku kadang merinding lihat artis memamerkan berjuta-juta uang yang dihamburkannya untuk suatu acara pribadi, lantas setelah itu ada berita anak kecil yang tidak bisa meneruskan sekolah lantaran kurang biaya. Aku kadang miris lihat nominal bayaran pesepak bola tiap bulannya, sementara guru yang mengabdi puluhan tahun saja gajinya jauh dari menyejahterakan.
Tapi lantas salah siapa?
Aku sampai coba bertanya pada diriku sendiri, apa yang akan terjadi kalau aku yang ada di posisi pemerintah, atau artis, atau pesepak bola. Bukan lantas aku apatis dengan keadaan yang sedang terjadi. Tapi menurutku, bukan salah siapa-siapa kalau ada dua orang yang satu mati kekenyangan dan satunya mati kelaparan di saat yang sama.
I mean, live somehow goes on whatever matter happening is. Setiap orang memang punya kehidupannya sendiri-sendiri.
Jadi, Ay, kamu itu dari tadi ngomong mbulet-mbulet itu intinya apa?
Simpati itu penting banget. Sebagai manusia yang konon semua dianugerahi hati ketika diciptakan, justru bejat namanya kalau kita bisa biasa aja lihat orang lain menderita. Tapi perbedaan macam etis enggaknya sesuatu yang dilakukan setiap pribadi di tengah suatu situasi, bukan lantas layak menjadi alasan untuk berantem sendiri. Seperti kataku tadi, ironi itu adalah sesuatu yang sungguh sangat alami. Jadi mau saling kritik juga monggo. Tapi mbok ya yang alami saja. Urusan moral dan akhlak biar jadi urusan masing-masing hati.
Kalau aku tidak salah, kewajiban setiap manusia kepada manusia lain, sebatas saling mengingatkan dalam kebaikan kan? Tidak usah saling memaksakan kebenaran. Setiap orang punya path-nya masing-masing.
Lantas kenapa?
Yaaa... enggak papa sih. Aku hanya berpikir bahwa ironi itu sesuatu yang paling alami untuk terjadi. Ya itu tadi. Bahwa setiap hal di dunia ini punya path-nya masing-masing. Bahkan hal-hal yang kelihatannya berkaitan macam senang-sedih, menemukan-kehilangan, bahkan pemerintah-rakyat, sebenarnya saling lepas. Mungkin memang berhubungan, tapi saling lepas. Duh, piye kui?
Gini, mudah banget untuk berbahagia di atas penderitaan orang lain. Simpati sih mungkin iya. Tapi apa lantas jadi tabu untuk tetap bahagia? Aku rasa enggak. Hanya yang juga merasa kehilangan yang tahu benar duka dalam sebuah kematian. Sisanya, bahkan orang yang takziyah sekali pun masih akan sempat bertukar canda sepanjang perjalanan.
Iya nggak sih? Apa aku doang yang kelewat jahat?
Memang sih aku kadang ngeri lihat pemerintah yang sibuk sendiri, sementara rakyat yang katanya diwakili justru dibiarkan koar-koar tak didengar. Aku kadang merinding lihat artis memamerkan berjuta-juta uang yang dihamburkannya untuk suatu acara pribadi, lantas setelah itu ada berita anak kecil yang tidak bisa meneruskan sekolah lantaran kurang biaya. Aku kadang miris lihat nominal bayaran pesepak bola tiap bulannya, sementara guru yang mengabdi puluhan tahun saja gajinya jauh dari menyejahterakan.
Tapi lantas salah siapa?
Aku sampai coba bertanya pada diriku sendiri, apa yang akan terjadi kalau aku yang ada di posisi pemerintah, atau artis, atau pesepak bola. Bukan lantas aku apatis dengan keadaan yang sedang terjadi. Tapi menurutku, bukan salah siapa-siapa kalau ada dua orang yang satu mati kekenyangan dan satunya mati kelaparan di saat yang sama.
I mean, live somehow goes on whatever matter happening is. Setiap orang memang punya kehidupannya sendiri-sendiri.
Jadi, Ay, kamu itu dari tadi ngomong mbulet-mbulet itu intinya apa?
Simpati itu penting banget. Sebagai manusia yang konon semua dianugerahi hati ketika diciptakan, justru bejat namanya kalau kita bisa biasa aja lihat orang lain menderita. Tapi perbedaan macam etis enggaknya sesuatu yang dilakukan setiap pribadi di tengah suatu situasi, bukan lantas layak menjadi alasan untuk berantem sendiri. Seperti kataku tadi, ironi itu adalah sesuatu yang sungguh sangat alami. Jadi mau saling kritik juga monggo. Tapi mbok ya yang alami saja. Urusan moral dan akhlak biar jadi urusan masing-masing hati.
Kalau aku tidak salah, kewajiban setiap manusia kepada manusia lain, sebatas saling mengingatkan dalam kebaikan kan? Tidak usah saling memaksakan kebenaran. Setiap orang punya path-nya masing-masing.
Borobudur, 14 Februari 2015
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!