Getar yang kubiarkan semai dalam tiap ingatanku akanmu-akannya itu, aku tak tahu apa namanya.
Mungkin perwujudan sebuah rindu atau justru kemarahan yang diam-diam kupendam.
Tapi aku bisa marah pada siapa?
Bahwa ternyata maaf tak mampu menghapus ingatan.
Ketika merelakan ternyata tak semudah seperti yang kujanjikan.
Kadang aku berlari hanya untuk membuktikan bahwa aku mampu berdiri sejajar, pada akhirnya
dengan atau tanpamu, Pa.
Kadang aku terjaga hanya demi menyusun rencana memecundangi mereka.
Bahwa mereka tumbuh di bawah ketiakmu sementara aku tidak.
Bagaimana lah aku tahu bagaimana wujud dari merelakan itu jika aku pada dasarnya hanya seorang pecemburu?
Siapa lah mampu ajariku selainmu?
Bahkan meski aku tahu sekam dari api antara kami yang tampak mustahil padam,
selalu ada rasa-rasa tumbuh di luar kuasa.Aku tergoda untuk marah. Untuk jengah. Untuk meminta kembali segala yang mereka pernah bawa. Segala yang sempat mereka terima sementara aku tidak.
Aku ini hanya seorang pecemburu, Pa.
Lalu ketika aku kembali pada senyum yang sungguh benar ingin kulihat
aku berharap malam segera berlalu hanya demi menemukan esok pagi aku terbangun ketika segalanya belum sebegini rumit.
Ah, ternyata memang bukan mimpi ketika kutemukan tak ada lagi yang mengupingku mengaji.
Jika nanti aku telah bisa melampaui mereka, lantaskahkah pintu itu terbuka?
Akankah ada kesempatan kupamerkan padamu saat ketika kami pada akhirnya tertawa dalam satu frame yang sama?
Aku harus bertanya pada siapa?
Mungkin perwujudan sebuah rindu atau justru kemarahan yang diam-diam kupendam.
Tapi aku bisa marah pada siapa?
Bahwa ternyata maaf tak mampu menghapus ingatan.
Ketika merelakan ternyata tak semudah seperti yang kujanjikan.
Kadang aku berlari hanya untuk membuktikan bahwa aku mampu berdiri sejajar, pada akhirnya
dengan atau tanpamu, Pa.
Kadang aku terjaga hanya demi menyusun rencana memecundangi mereka.
Bahwa mereka tumbuh di bawah ketiakmu sementara aku tidak.
Bagaimana lah aku tahu bagaimana wujud dari merelakan itu jika aku pada dasarnya hanya seorang pecemburu?
Siapa lah mampu ajariku selainmu?
Bahkan meski aku tahu sekam dari api antara kami yang tampak mustahil padam,
selalu ada rasa-rasa tumbuh di luar kuasa.Aku tergoda untuk marah. Untuk jengah. Untuk meminta kembali segala yang mereka pernah bawa. Segala yang sempat mereka terima sementara aku tidak.
Aku ini hanya seorang pecemburu, Pa.
Lalu ketika aku kembali pada senyum yang sungguh benar ingin kulihat
aku berharap malam segera berlalu hanya demi menemukan esok pagi aku terbangun ketika segalanya belum sebegini rumit.
Ah, ternyata memang bukan mimpi ketika kutemukan tak ada lagi yang mengupingku mengaji.
Jika nanti aku telah bisa melampaui mereka, lantaskahkah pintu itu terbuka?
Akankah ada kesempatan kupamerkan padamu saat ketika kami pada akhirnya tertawa dalam satu frame yang sama?
Aku harus bertanya pada siapa?
Borobudur, 14 Januari 2015
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!