Travelling,
rasanya banyak orang yang akan mengamini kalau aku bilang hobi yang satu ini
menyenangkan. Hampir bisa dibilang travelling
adalah hobi sejuta umat. Siapa sih yang tidak suka jalan-jalan? Pun aku. Travelling masuk dalam salah satu daftar
panjang hobiku.
Hobi
yang sering dianggap butuh banyak modal ini belum lama aku geluti. Travelling pertama yang membuatku
kecanduan untuk melakukan travelling-travelling
berikutnya terjadi pada tahun 2011 lalu. Undangan untuk menghadiri acara sebuah
komunitas membuatku harus pergi ke Jakarta. Meski jarak Jakarta-Semarang memang
cukup untukku disebut sebagai musafir, namun kota itu bagiku sebenarnya
terbilang masih terjangkau. Aku pernah beberapa mengunjungi saudaraku yang
tinggal di sana sebelumnya.
Lalu apanya yang istimewa?
Bagiku, pembeda antara travelling dengan hanya bepergian itu terletak pada prosesnya. Pergi ke rumah saudara itu hanya sebuah acara bepergian. Sampai rumah, lalu sudah. Ketika dari bepergian itu kita belajar hidup di tanah orang meski hanya beberapa jam, membaur dengan lingkungan orang, mengambil nilai-nilai dari sebuah perjalanan, membawa pulang oleh-oleh lebih dari sekedar cindera mata, saat itulah kita sedang melakukan travelling.
Sebagai
mahasiswa yang belum punya penghasilan tetap, travelling memiliki kendala lain selain mengalahkan rasa takut pergi
sendirian dan perijinan orang tua :kantong. Menghadapi tantangan yang satu itu,
terlebih dahulu aku melakukan riset. Hal ini penting sekali untuk menentukan
seberapa banyak biaya yang akan aku butuhkan dari berangkat hingga pulang
kembali ke kos-kosan. Kalau tidak direncanakan dengan baik dan benar, bisa-bisa
aku jalan-jalan dengan gembira hanya untuk puasa beberapa hari setelahnya
karena kehabisan jatah bulanan.
Hasil
dari riset yang aku lakukan, biaya perjalan yang paling murah kala itu adalah
menggunakan kereta api ekonomi. Hanya dengan tiga puluh enam ribu rupiah saja, Semarang-Jakarta
terlampaui. Solusi ini membawaku pada satu masalah lagi. Aku sama sekali belum
pernah naik kereta api sebelumnya. Tidak bersama orang yang lebih tua, apalagi
sendirian. Jadilah aku mencari narasumber yang lebih berpengalaman di bidang
ini untuk setidaknya tahu gambaran tata cara naik kereta api.
Kedengarannya
berlebihan?
Ternyata
tidak. Referensi ternyata sangat berguna ketika kita akan melakukan perjalanan,
terlebih jika itu adalah pengalaman pertama. Aku mendapatkan beberapa tips,
trik, dan nasihat untuk menjadi penumpang kereta api ekonomi yang budiman
#tsah!
Singkat
cerita, pada Sabtu sore 25 Desember 2011, aku akhirnya memulai travelling-ku yang pertama. Aku berangkat
bersama salah satu teman komunitasku yang sebelumnya juga belum pernah pergi
jauh sendirian. Jadilah kami macam dua anak ayam yang melakukan petualangan
pertama. Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari ketika kereta yang kami
tumpangi sampai di Stasiun Jatinegara.
Di
sana, kami bertemu dengan teman sesama komunitas yang berasal dari Bandung. Penjalanan
menjadi lebih menyenangkan karena semakin ramai. Rasanya seolah tidak ada lagi
yang kami takutkan. Haha. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan ke Gambir.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, kami bisa naik (Kereta Api Listrik) KRL
yang loketnya baru buka pukul 6 pagi, atau taksi plat hitam yang biasa
beroperasi pada malam hari hingga subuh. Tidak mau terlalu lama menunggu di
stasiun, kami pun memutuskan menggunakan taksi berplat hitam. Tentu saja
setelah melakukan negosiasi harga yang cukup alot dengan sopirnya.
Hotel
Jambodroe, tempat yang kami tuju dari perjalanan kami ke Jakarta kali ini,
terletak tepat di seberang Stasiun Gambir. Karena masih terlalu pagi untuk
datang ke sana, kami mencari sarapan di sekitar Monas. Setelah berkeliling
mencari bubur ayam dan tidak menemukannya, kami akhirnya menyerah pada lontong sayur
seorang pria berkumis paruh baya. Pria itu meletakkan pikulan dagangannya di
bawah salah satu pohon di jalur hijau tengah jalan raya. Pasti seru sarapan di
tengah keramaian jalanan Jakarta, pikir kami waktu itu.
Melihat
kami mampir, pria berkumis paruh baya itu langsung menggelar tikar dengan wajah
sumringah. “Silakan, Neng, Bang,” katanya. Setelah memesan enam piring lontong
sayur dan enam gelas teh hangat, kami menyelonjorkan kaki yang pegal karena ditekuk
semalaman. Ditambah dengan jalan kaki dari depan stasiun Gambir sampai Monas
dengan beban berat yang ternyata melelahkan, kakiku rasanya berdenyut-denyut
macam jantung kalau ketemu gebetan.
Peluit
dan keributan di seberang jalan merusak kekhusyukan kami melepas lelah. Kami
yang belum katam mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi hanya melongo
melihat beberapa pria berseragam coklat berlompatan turun dari sebuah mobil bak
terbuka sambil meneriakkan entah apa. Sementara itu, pria penjual lontong sayur
yang baru saja menyelesaikan piring pertamanya itu tiba-tiba berdiri dengan
tampang panik. “Angkut, Bang. Angkut!” katanya sambil menyodorkan piring pada
salah satu temanku.
Belum
lagi kami tahu apa yang harus kami lakukan, penjual lontong sayur itu sudah
ngibrit memanggul dagangannya. Tepat sebelum salah satu pria berseragam coklat
di seberang jalan menyeberang, kami buru-buru membawa apa saja yang ada di sana
dan lari mengikuti penjual lontong sayur. Ada yang membawa gelas berisi teh
hangat, menenteng sandal, menyeret tikar, menyabet piring, apa saja yang bisa
diraih kami bawa kabur.
Kami
terus berlari hingga penjual lontong sayur itu berhenti. “Makannya di sini aja
ya, Neng,” katanya sambil meletakkan kembali dagangannya. Kami langsung
bergelimpangan di trotoar, meletakkan apa yang tadi kami bawa lari sekenanya.
“Itu tadi apa sih, Pak?” tanyaku sambil mengatur napas.
“Petugas,”
katanya sambil mengulum senyum, lalu melanjutkan piring lontong sayur
berikutnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kalau biasanya kami hanya melihat
prosesi razia lewat berita di televisi, pagi itu kami beruntung bisa
merasakannya langsung. Aku tidak ingat bagaimana rasa lontong sayur hasil
racikan bapak itu, tapi sensasi dikejar-kejar Satpol-PP saat sarapan itu tak
akan aku lupakan, masih selalu lucu kalau dikenang.
Ngantri mandi sampai ketiduran |
Melihat
justru tidak banyak hal bisa aku ceritakan dari serangkaian acara komunitas
hari itu yang berjalan lancar, aku menyadari bahwa pergiku kali ini bukan lagi
pergi biasa. Pergiku kali ini bukan
lagi hanya soal tujuan, tapi proses perjalanan dan segala hal yang aku pelajari
dari sana.
Travelling bukan soal jarak mau pun biaya yang dikeluarkan, tapi cara kita memperbaharui jiwa melalui suatu perjalanan. Travelling memang hobi yang membutuhkan modal, tapi harus banyak? I don’t think so. Ada pengalaman di balik perjalanan yang akan membayar lunas uang yang pernah kita keluarkan. Jadi, tunggu apa lagi?***
Banguntapan, 20 Desember 2014
Sebuah cerita yang lama pengen aku tulis, tapi enggak pernah kesampaian. Pada akhirnya the power of terpaksa lah yang menjadikan cerita ini ada. Rasanya lucu ketika pada akhirnya, jalan hidup membawaku kembali ke kota padat itu untuk beberapa jenak menetap.
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!