Skip to main content

Posts

Showing posts from 2016

Becandaan Tuhan

Kita tak pernah tau kapan dan dengan siapa kita akan bertemu pun berpisah. Entah di mana. Entah dengan cara apa. Entah dalam suasana macam apa. Pada suatu waktu kita pernah bercerita tentang seseorang yang bukan siapa-siapa lantas tetiba jadi pusat segala kita. Tapi kala itu kita lupa bahwa pusat segala kita juga bisa menjela bukan siapa-siapa sama tetibanya. Seperti kita tak tahu kapan si bukansiapasiapa melasak hati hingga sesak, begitu juga tahutahu ada seruang dari isi jadi lapang dan kita sadari setelah terlanjur hilang. Hengkang. Entah sengaja atau dipaksa. Lantas kapan jadi pertanyaan tanpa jawaban. Pun tak selalu temukan alasan. Seperti itu. Cara Tuhan mencerabut sesuatu memang sebecanda itu. Jakarta, 9 Desember 2016 Dien Ihsani

Apakah Aku; Manusia

Adalah manusia, Tempat di mana setan dan malaikat bisa berada di satu rumah yang sama. Bisa melintas di satu waktu yang sama. Pun merupa ke satu wujud yang sama. Adalah aku, tempat di mana setan dan malaikat berbagi peran, menunjuk menggurui tentang apaapa yang harus dan tak harus aku lakukan atau tentang yang harus tapi tak kulakukan juga tentang yang tak harus tapi tetap kulakukan pun tentang yang harus kulakukan dan kulakukan namun tetap saja kusesali kemudian. Adalah aku. Tempat di mana kini setan dan malaikat seliweran di satu waktu yang sama. Membawaku pada rasa benar pun salah bersamaan. Lantas meninggalkanku di simpangan. Meninggalkanku kebingungan. Meninggalkanku dengan penerimaan bahwa aku hanya manusia yang meragukan kemanusiaanku sendiri di satu waktu yang sama. Adalah aku; manusia kehilangan peran setan pun malaikatnya; kebingungan. Apakah aku; manusia? Jakarta Pusat, 14 November 2016 Dien Ihsani

Balada Dua Lima

Hal yang paling menakjubkan dari sebuah harapan adalah karena dia akan menjadi semacam magnet yang membawa kita mendekat. Harapan macam apa pun. Sekonyol apa pun. Even the most surreal one . Bahkan hal yang paling absurd yang baru kepikiran aja udah cukup buat bikin kita menertawakan diri sendiri. Pernah ga pas kita pengen sesuatu, atau tertarik pada sesuatu, tiba-tiba segala hal di sekitar kita jadi kayak ada hubungannya sama sesuatu itu? Semacam semesta merestui. Is that such a miracle? Mungkin. Tapi, bisa jadi selama ini mereka memang ada di sekitar kita. Hanya saja, kita baru menyadarinya. Kita baru ngeh kalau mereka ada. Karena sekali kita pengen sesuatu, secara ga sadar kita udah merancang haluan kita pada tujuan itu. Berjalanlah, maka kau akan sampai. Carilah, maka akan kau temukan. Bukankah hidup sesederhana itu? Harapan juga. Pernah suatu kali aku menertawakan harapanku sendiri. Satu poin yang kutulis di resolusiku tahun
Time flies, but I have no idea to make us freeze. That's why I'm worry somehow. 'bout the thing that I am not sure I really know. Mataram, 27 Oktober 2016

Di antara Padang, Hujan, dan Laporan ini :Kamu

Padang hujan badai kemarin. Katanya memang di sini sedang musim. Aku sampai di Bumi Malin Kundang Senin siang ketika cuaca cerah sampai malam. Memang, tepat sebelum burung besiku terbang, ibuku sempat bertanya via telpon soal kondisi cuaca. Kata berita, semalam seluruh penerbangan ke Padang delay atau malah dibatalkan karena angin. Namun, penerbanganku berjalan menyenangkan tanpa halangan yang berarti. Hanya pegel karena kebetulan sandaran tempat dudukku tidak bisa dimundurkan. Aku baru tahu kalau ternyata Garuda masih punya kursi tua. Haha Tapi angin kemarin siang ternyata mengerikan. Cuaca di sini terang, pun tetiba angin bertiup kencang, lalu hujan. Kulihat dari jendela hotel orang-orang berlarian merapikan meja-kursi restauran yang bergelimpangan. Tetiba aku ingat sign jalur evakuasi sunami yang dipasang di sepanjang jalan. Tetiba aku ingat hotel tempatku menginap hanya beberapa puluh meter saja dari bibir pantai. Tetiba aku ingat jam itu hampir berbarengan dengan waktu landi

Takdir itu Saru

Salah satu yang terseru dari hidup adalah karena takdir itu saru. Karena apa-apa kapan berubah kita tak selalu tahu. Seperti kita tak pernah tahu berapa waktu yang dibutuhkan untuk seseorang masuk dalam hidup kita; lantas tak bisa lepas. Seperti kita tak pernah selalu paham alasan dari setiap rasa, jika memang alasan harus selalu ada. Seperti caranya membelokkanku menuju radarmu; temu Lantas segala kapan dan alasan jadi ikut saru. Ikut ambigu. Tetiba segala aku jadi ada kamu. Cirebon, 9 September 2016 Pertamaku soal kamu

Selamat Lebaran!

Sebelas lebaran berlalu tanpamu, Pa. Bukan waktu yang singkat, memang. Kali ini beberapa yang sempat hilang, kujumput ulang. Beberapa yang pergi, sudah datang kembali. Bahkan kutemukan beberapa yang sebelumnya tak aku mengerti. Beberapa. Tak banyak, memang. Tapi aku berusaha. Kau lihat kan aku melakukan segala yang aku bisa? Belum cukup keras, memang. Sebelas lebaran dan aku masih heran kenapa padaku kau tak pernah datang. Sementara kudengar kau hadiri mimpi orang-orang. Apa karena tentang kita tak cukup banyak yang bisa dikenang? Padahal mereka bilang aku mirip kau. Padahal seumur hidup aku berusaha mirip kau. Pa, dengar. Aku baik-baik saja. Beberapa hal memang jadi menyebalkan setelah kau tak ada. Kau bukan cuma figuran ternyata. Maaf untuk baru sadar setelah kau tinggal. Kau memberiku lebih dari cukup bekal untuk belajar: belajar tumbuh, belajar tangguh. Jadi, aku baik-baik saja. Keras kepala seperti jagoan. Pa, di sana lebaran? Enggak? Hitungan kita sepertinya sudah berbed

Andai Kala Itu

Andai kala itu kau bisa lebih sabar menungguku bersiap keluar, bisa lebih lama duduk dulu di beranda. Mungkin saat ini kita sedang berbincang bernaung bintang. Sambil menghitung lalulalang mobil merah atau hitam di jalanan remang. Yang lantas kita jadikan alasan tertawa jika mata kita salah membaca warna. Yang hampir selalu salah. Yang tetap kita tertawakan saat tak salah. Andai kala itu aku bisa sedikit lebih gegas menyambutmu, bisa lebih tegas membuka pintu. Mungkin saat ini kita sedang kelelahan sepulang pergi. Memilih channel televisi sambil menikmati aroma teh dan kopi. Yang selalu kita jadikan alasan untuk mendebat selera. Yang hampir semua beda. Yang tetap kita perdebatkan ketika sama. Namun kita justru memilih jalan yang sulit. Memutuskan sesekali saja bertemu di simpangan rumit. Saat kau bukan lagi pria yang duduk di berandaku, dan aku bukan lagi wanita yang bersiap menyambutmu. Jakarta, 27 Juni 2016 Dien Ihsani
Aku ternyata tidak siap melepas pergi sesuatu yang bahkan belum dimulai~ Aku ternyata tidak siap kehilangan sesuatu yang bahkan belum ada~

Kenapa Aku Kenapa

Ada hal-hal yang seharusnya tak perlu kutanya kenapa Tak perlu lantaran aku belum tentu siap dengan alasan Lantaran tak semua kebenaran bisa kupaksa jejal dalam logikaku yang dangkal. Ada hal-hal yang seharusnya tak perlu kutanya kenapa. Seperti ingin tahumu soal kabar kau sekarang. Kenapa tak sekali pun kau hampiri aku sementara hadir dalam mimpi orang-orang? Apa aku tak cukup rindu? Apa aku tak terlalu ingat kamu? Apa karena yang hadir antara kau dan aku memang kadung hanya beku? Ah, aku lupa. Jika saat ada pun rasamu seperti tiada, Lantas kenapa kau harus berasa ada setelah benar-benar tiada? Ah, sial. Kenapa pula aku malah tanya kenapa. Jakarta, 23 Juni 2016 Dien Ihsani

Kehilangan Mengajarkanku Bahwa

Kehilangan mengajarkanku bahwa.. ..di dunia ini tak ada yang selamanya bertahan. Pun tak ada yang selamanya bisa dipertahankan. Kehilangan mengajarkanku bahwa... ...waktu tak selalu menyembuhkan. Tak sanggup menangguhkan. Pun tak selalu membiasakan. Karena nyatanya berkali-kali kehilangan tak lantas membuatku terbiasa, tak lantas membuat siapa pun melupakan rasa sakitnya, pun tak hilang takutnya. Jakarta, 16 Juni 2016 Dien Ihsani

Aku Rindu Aku

Satu, dua..lima..banyak. Entah berapa detak kulewat tanpa euforia katakata. Puisi lantas menjadi asing. Menjadi sekedar rangkaian bising. Mungkin lantaran logika kadung lama menuntut aku. Kadung candu. Atau.. Mungkin lantaran bekuku tak lagi ada yang mengadu. Hingga aku kembali menjadi aku yang berhati kaku. Aku rindu aku. Aku mungkin juga agak rindu kamu. Jakarta, 12 Juni 2016 Dien Ihsani

Hidup ini Indah Begini Adanya

Mengukil kalimat Dee: meski tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya. Aku ga hafal redaksi persisnya, namun begitulah kira-kira inti yang aku paham. Iya. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan, yang kita tak kuasa bahkan meski sekadar coba membayangkan, jadi aku tak tahu sempurna itu macam apa. Sementara sempurna manusia sebatas gambaran Andra and The Back Bone. Itu saja masih minus setia. Sempurna manusia pasti masih gampang dicari-cari celahnya. Aku lahir dan tumbuh di keluarga yang bahagia. Kusebut bahagia, karena jika aku diberi kesempatan untuk mengulang waktu, aku rasa aku tak ingin mengubah apa pun. Aku suka keluargaku apa adanya. Meski kadang aku berpikir bagaimana rasanya hidup dalam keluarga yang tidak terlalu rumit. Kadang aku berharap aku hanya seorang anak pertama dari dua anak milik sepasang pria dan wanita. Kadang aku membayangkan rasanya bergantian mengunjungi dua pasang kakek-nenek dari pihak ibu dan pihak ayah. Begitu saja hingga aku bertemu dengan se

Pada Diskusi Kebenaran Itu, Aku

Berapa lama waktu dibutuhkan untuk seseorang bisa berpengaruh dalam hidupmu? Setahun kah? Atau lebih lama lagi? Aku mengenal seorang pria yang hanya dalam hitungan hari mampu menarik atensiku pada seluruh omongannya. Seluruh pemikirannya. Sebagai gadis keras kepala yang dibesarkan dalam keluarga penjunjung tinggi kemerdekaan berpendapat, aku jelas tak begitu saja setuju pada apa yang dia bicarakan. Tapi, bahkan ketika kami tak sepakat, aku tak bisa tak memberikan seluruh atensiku untuk mendengarnya. Karena... segala sesuatu dalam kepalanya entah kenapa selalu menarik. Dia seperti ayahku. Hampir seperti ayahku. Menghadapinya seolah kutemukan sosok ayah baru. Ketika begitu banyak orang meributkan tentang apa yang benar dan apa yang salah, dia mengajarkanku untuk tidak mendebat. Kita diberi dua telinga dan satu mulut untuk lebih banyak mendengar dari pada bicara, seperti kata pepatah. "Lebih seringlah jadi pengamat," katanya. "Lantas lakuk

Energienergi

Dan karena bumi hanya energienergi, aku percaya tak ada sia-sia. Bukankah fisika punya teori bahwa energi tak hilang? Pun tak habis? Dia berpindah. Atau berubah. Kalau selain Tuhan ada lagi yang bisa abadi; kusebut energienergi kekal. Pum kita manusia; energienergi. Meski bisa mati, kita abadi. Kita adalah apa yang kita beri. Kita mendapat apa yang kita beri. Kita menjelma apa yang kita beri. Kita tak hilang. Kita tak habis. Kita hanya berpindah. Hanya berubah. Kita abadi, meski setelah mati. Jakarta, 11 Maret 2016 Dien Ihsani

Menua~

Di sini aku belajar membaca orang. Ini sungguh seni yang sulit luar biasa. Berbeda dengan buku yang bisa begitu saja kututup lantas kukembalikan ke rak begitu aku tak suka. Ini sungguh berbeda. Ah, iya. Tentang membaca orang. Bukankah kita semua sudah belajar dari dulu, bahkan sebelum kita sadar? Dengan cara itulah kita suka digendong orang tertentu dan menolak diajak lainnya. Dengan cara itulah kita memilih teman. Dengan cara itulah ada guru kesayangan. Kita selalu membaca. Lantas memberikan penilaian. Dengan cara itulah kita mulai menyukai seseorang. Bahkan dengan cara itu juga kita mendaulat seseorang menjadi musuh bebuyutan. Kalau penilaianmu jelek, yang tinggalkan. Dulu sesederhana itu. Sekarang enggak. Hidup ternyata tak bisa selamanya serebel mahasiswa. Hal-hal busuk tidak selamanya bisa ditolak. Iya. Di sini aku belajar membaca orang, memberikan penilaian, dan menerima apa pun hasilnya. Jika dulu aku hanya tahu di buku lantas kupajang di dinding kamar bahwa bahagia