Penulis : Hanum Salsabila Rais, Rangga Almahendra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-0545-5
Rilis : Mei 2014
Halaman : 344 halaman
Bahasa : Indonesia
Buku ini jongkrok di rak bukuku sejak beberapa bulan lalu setelah salah seorang teman, sebut saja Mbak Rini (bukan nama samaran), menghadiahkannya padaku sebagai kado wisuda. Ah, baiknya mbak cantikku satu itu. Dia tahu benar hal-hal yang menyenangkanku. Haha. Tapi, baru beberapa hari lalu sempet aku baca karena masuk daftar antrian. Setdah. Kalau 2015 ini Magelang rencananya mau hujan sastra, akhir tahun lalu kamarku hujan buku. Alhamdulillah dapet gratis semua #hosh.
Haha.
Senafas dengan saudaranya, 99 Cahaya di Langit Eropa, buku ini masih menceritakan perjalanan religi Hanum dan Rangga di negeri yang muslimnya minoritas. Cerita dimulai ketika Hanum mendapatkan tugas liputan dari Heute ist Wunderbar, surat kabar tempatnya bekerja untuk mencari materi artikel ke Amerika. Di saat yang sama, kebetulan Rangga diberi mandat oleh profesornya untuk menghadiri konferensi tentang "strategi bisnis yang tidak pasti" di negeri yang sama. Sebuah kebetulan yang terlalu kebetulan, namun adalah pondasi dari serangkaian cerita dalam buku ini.
Mengangkat dampak peristiwa 11 September, Hanum dan Rangga secara garis besar menceritakan proses pencarian jawaban atas sebuah pertanyaan: apakah dunia ini akan menjadi lebih baik tanpa Islam. Sebuah pertanyaan yang, jujur saja, menyebalkan. Pertanyaan itu provokatif sekali. Pertanyaan yang saat pertama kali aku membacanya, aku membantah, namun tidak bisa menjelaskan alasannya dengan kata-kata. Aku beneran sempat berhenti membaca beberapa jenak hanya demi menemukan argumentasi yang tepat kenapa aku menjawab "tidak".
Buku ini menceritakan betapa toleransi menjadi hal yang begitu sulit untuk dilakukan setelah menara kembar runtuh, bahkan di negara yang dikenal sebagai kiblat liberalisme macam Amerika. Betapa sulit untuk tidak saling membenci. Sebagaimana banyak muslim menganggap Amerika menyebalkan karena ulahnya di negara-negara muslim di timur tengah, banyak warga Amerika juga menaruh curiga pada muslim lantaran banyaknya aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam.
Adalah Michael Jones, pria pemimpin demonstrasi menolak pendirian masjid di dekat kawasan Ground Zero, yang istrinya meninggal dalam Black Tuesday. Dia membenci Islam, menyalahkan muslim atas kelakuan saudara seiman mereka yang merenggut istrinya. Jones menganggap menolak pembangunan masjid tersebut adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk Anna, istrinya. Sebuah wujud cinta. Solidaritas. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi rasa bersalahnya sendiri pada Anna jika dia tidak melakukan apa-apa melihat rumah ibadah umat Islam itu didirikan.
Lain lagi dengan Julia Collins, seorang mualaf berlatar belakang keluarga kristen taat, yang terpaksa harus menanggalkan jilbab dan nama Azzima Husein untuk menyenangkan hati ibunya yang menderita Alzheimer. Betapa dia dan Sarah, anaknya, harus menjalani kehidupan yang penuh dengan drama sepeninggalan Ibrahim Hussein, suaminya, pada peristiwa 11 September tersebut.
Ternyata Black Tuesday bukan hanya melukai rakyat Amerika. Peristiwa tersebut adalah duka bagi seluruh dunia. Peristiwa tersebut memberikan Amerika alasan untuk menginvasi negara-negara muslim di timur tengah sebagai aksi balas dendam. Kalau ada yang harus paling terluka atas runtuhnya menara kembar WTC, sebenarnya itu adalah umat Islam sendiri. Aksi terorisme itu, entah didasari pemikiran macam apa, meninggalkan kehidupan yang sulit bagi saudaranya sesama muslim setelahnya.
Kedua orang di atas adalah narasumber untuk artikel yang harus Hanum buat. Narasumber yang tidak sengaja ditemukannya seletah dia menolak nama yang direkomendasikan Gertrud Robinson, atasannya. Hanum beranggapan bahwa bosnya itu pasti asal-asalan mengusulkan narasumber karena dia bukan seorang muslim. Artikel bertajuk "apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam" tidak akan mempengaruhi prinsipnya sebagaimana yang Hanum alami. Aku jadi mikir, suudzon banget mbaknya satu ini. Dengan waktu yang singkat, apa salahnya sih nyoba rekomendasi dulu. Kalau enggak pas, baru deh cari nama sendiri. Rempong deh ah. Ampun, Mbak Hanum! Hehe :p
Selain dilema akibat peristiwa 11 September, buku ini juga menceritakan soal kebersamaan. Bahwa setiap kekerasan akan menimbulkan luka dan kerusakan. Melalui tokoh Phillipus Brown, filantropi yang mendonasikan uangnya untuk korban-korban perang di timur tengah, Rangga dan Hanum menunjukkan bahwa orang baik masih belum punah. Orang yang tidak men-generalisasikan suatu kaum karena perbuatan beberapa oknum. Bagi Brown, semua orang adalah teroris di muka bumi ini jika tangan mereka menggenggam kekayaan tanpa menyedekahkannya untuk umat yang terseok-seok kehidupannya.
Buku ini merupakan buku travelling yang berani. Out of the box. Bagaimana Hanum dan Rangga mengemas perjalanan menjadi nilai-nilai yang dapat dipelajari. Bahwa oleh-oleh travelling bukan cuma sekedar cerita tentang hal yang ada dan tidak ada, tapi juga pelajaran yang bisa kita petik selama berada di sana. Cerita dalam buku ini mengalir, meski jujur saja aku kadang jengkel sendiri sama temperamennya Hanum yang menurutku berlebihan. Haha. Maaf lagi, Mbak Hanum! ^.^v
Dalam buku ini, Hanum dan Rangga bergantian cerita dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Ini soal selera, sih. Tapi menurutku, karakter Hanum dan Rangga ini dalam bercerita enggak begitu berbeda. Jadi kadang aku lupa ini sebenarnya ceritanya versi Hanum atau versi Rangga. Mungkin lantaran mereka suami-istri gitu ya jadi klop. Kemistrinya dapet. Haha. Mmm... sebenarnya, bagian mengharukan waktu acaranya CNN di akhir cerita itu.. seperti yang pernah aku bilang, semacam kebetulan yang terlalu kebetulan. Aku bukan enggak percaya keajaiban, tapi di negeri seluas Amerika, bisa-bisanya enggak sengaja ketemu sama orang-orang yang ternyata saling berhubungan. It is just too right to be real. Tapi yo nek ora ngono, ora dadi cerita sih. Hahaha
Bagaimana pun, menurutku, buku ini recommended!
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-0545-5
Rilis : Mei 2014
Halaman : 344 halaman
Bahasa : Indonesia
Buku ini jongkrok di rak bukuku sejak beberapa bulan lalu setelah salah seorang teman, sebut saja Mbak Rini (bukan nama samaran), menghadiahkannya padaku sebagai kado wisuda. Ah, baiknya mbak cantikku satu itu. Dia tahu benar hal-hal yang menyenangkanku. Haha. Tapi, baru beberapa hari lalu sempet aku baca karena masuk daftar antrian. Setdah. Kalau 2015 ini Magelang rencananya mau hujan sastra, akhir tahun lalu kamarku hujan buku. Alhamdulillah dapet gratis semua #hosh.
Haha.
Senafas dengan saudaranya, 99 Cahaya di Langit Eropa, buku ini masih menceritakan perjalanan religi Hanum dan Rangga di negeri yang muslimnya minoritas. Cerita dimulai ketika Hanum mendapatkan tugas liputan dari Heute ist Wunderbar, surat kabar tempatnya bekerja untuk mencari materi artikel ke Amerika. Di saat yang sama, kebetulan Rangga diberi mandat oleh profesornya untuk menghadiri konferensi tentang "strategi bisnis yang tidak pasti" di negeri yang sama. Sebuah kebetulan yang terlalu kebetulan, namun adalah pondasi dari serangkaian cerita dalam buku ini.
Mengangkat dampak peristiwa 11 September, Hanum dan Rangga secara garis besar menceritakan proses pencarian jawaban atas sebuah pertanyaan: apakah dunia ini akan menjadi lebih baik tanpa Islam. Sebuah pertanyaan yang, jujur saja, menyebalkan. Pertanyaan itu provokatif sekali. Pertanyaan yang saat pertama kali aku membacanya, aku membantah, namun tidak bisa menjelaskan alasannya dengan kata-kata. Aku beneran sempat berhenti membaca beberapa jenak hanya demi menemukan argumentasi yang tepat kenapa aku menjawab "tidak".
Buku ini menceritakan betapa toleransi menjadi hal yang begitu sulit untuk dilakukan setelah menara kembar runtuh, bahkan di negara yang dikenal sebagai kiblat liberalisme macam Amerika. Betapa sulit untuk tidak saling membenci. Sebagaimana banyak muslim menganggap Amerika menyebalkan karena ulahnya di negara-negara muslim di timur tengah, banyak warga Amerika juga menaruh curiga pada muslim lantaran banyaknya aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam.
Adalah Michael Jones, pria pemimpin demonstrasi menolak pendirian masjid di dekat kawasan Ground Zero, yang istrinya meninggal dalam Black Tuesday. Dia membenci Islam, menyalahkan muslim atas kelakuan saudara seiman mereka yang merenggut istrinya. Jones menganggap menolak pembangunan masjid tersebut adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk Anna, istrinya. Sebuah wujud cinta. Solidaritas. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi rasa bersalahnya sendiri pada Anna jika dia tidak melakukan apa-apa melihat rumah ibadah umat Islam itu didirikan.
Lain lagi dengan Julia Collins, seorang mualaf berlatar belakang keluarga kristen taat, yang terpaksa harus menanggalkan jilbab dan nama Azzima Husein untuk menyenangkan hati ibunya yang menderita Alzheimer. Betapa dia dan Sarah, anaknya, harus menjalani kehidupan yang penuh dengan drama sepeninggalan Ibrahim Hussein, suaminya, pada peristiwa 11 September tersebut.
Ternyata Black Tuesday bukan hanya melukai rakyat Amerika. Peristiwa tersebut adalah duka bagi seluruh dunia. Peristiwa tersebut memberikan Amerika alasan untuk menginvasi negara-negara muslim di timur tengah sebagai aksi balas dendam. Kalau ada yang harus paling terluka atas runtuhnya menara kembar WTC, sebenarnya itu adalah umat Islam sendiri. Aksi terorisme itu, entah didasari pemikiran macam apa, meninggalkan kehidupan yang sulit bagi saudaranya sesama muslim setelahnya.
Kedua orang di atas adalah narasumber untuk artikel yang harus Hanum buat. Narasumber yang tidak sengaja ditemukannya seletah dia menolak nama yang direkomendasikan Gertrud Robinson, atasannya. Hanum beranggapan bahwa bosnya itu pasti asal-asalan mengusulkan narasumber karena dia bukan seorang muslim. Artikel bertajuk "apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam" tidak akan mempengaruhi prinsipnya sebagaimana yang Hanum alami. Aku jadi mikir, suudzon banget mbaknya satu ini. Dengan waktu yang singkat, apa salahnya sih nyoba rekomendasi dulu. Kalau enggak pas, baru deh cari nama sendiri. Rempong deh ah. Ampun, Mbak Hanum! Hehe :p
Selain dilema akibat peristiwa 11 September, buku ini juga menceritakan soal kebersamaan. Bahwa setiap kekerasan akan menimbulkan luka dan kerusakan. Melalui tokoh Phillipus Brown, filantropi yang mendonasikan uangnya untuk korban-korban perang di timur tengah, Rangga dan Hanum menunjukkan bahwa orang baik masih belum punah. Orang yang tidak men-generalisasikan suatu kaum karena perbuatan beberapa oknum. Bagi Brown, semua orang adalah teroris di muka bumi ini jika tangan mereka menggenggam kekayaan tanpa menyedekahkannya untuk umat yang terseok-seok kehidupannya.
Buku ini merupakan buku travelling yang berani. Out of the box. Bagaimana Hanum dan Rangga mengemas perjalanan menjadi nilai-nilai yang dapat dipelajari. Bahwa oleh-oleh travelling bukan cuma sekedar cerita tentang hal yang ada dan tidak ada, tapi juga pelajaran yang bisa kita petik selama berada di sana. Cerita dalam buku ini mengalir, meski jujur saja aku kadang jengkel sendiri sama temperamennya Hanum yang menurutku berlebihan. Haha. Maaf lagi, Mbak Hanum! ^.^v
Dalam buku ini, Hanum dan Rangga bergantian cerita dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Ini soal selera, sih. Tapi menurutku, karakter Hanum dan Rangga ini dalam bercerita enggak begitu berbeda. Jadi kadang aku lupa ini sebenarnya ceritanya versi Hanum atau versi Rangga. Mungkin lantaran mereka suami-istri gitu ya jadi klop. Kemistrinya dapet. Haha. Mmm... sebenarnya, bagian mengharukan waktu acaranya CNN di akhir cerita itu.. seperti yang pernah aku bilang, semacam kebetulan yang terlalu kebetulan. Aku bukan enggak percaya keajaiban, tapi di negeri seluas Amerika, bisa-bisanya enggak sengaja ketemu sama orang-orang yang ternyata saling berhubungan. It is just too right to be real. Tapi yo nek ora ngono, ora dadi cerita sih. Hahaha
Bagaimana pun, menurutku, buku ini recommended!
Borobudur, 07 Januari 2015
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!