Kata yang diam-diam kuperam, kadang ingin kuutarakan dalam sekalimat picisan.
Hingga bisa kau nikmati macam roman-roman yang kau baca.
Namun aku takut pemaknaanku akan kita berubah.
Entah kenapa aku memaksa menuliskan aksara-aksara di sela hitungan mundurku akan tenggat waktu.
Mungkin lantaran keinginan untuk menemukanmu geming di salah satu angkaku
masih angkuh
tak hendak menguap meski berkali kuyakinkan diriku bahwa itu tak perlu
Jika akhir paling telo adalah yang terjadi tanpa perpisahan,
akan kah kau biarkan sejarahku mencatatmu sebagai salah satu bagiannya?
Sementara ada sekalimat yang belum katam kuterjemahkan dalam bahasa yang kita bisa sama-sama paham.
Jika kehilangan paling tegke adalah yang tercerabut tanpa disadari,
akan kah kau biarkan kita berhenti sebagai penggalan-penggalan yang tak selesai dirangkai?
Sementara ada sekalimat yang sungguh aku ingin kau simpan dalam perjalananmu menuju dunia yang dulu hanya ada dalam kidungmu soal mimpi.
Ejaanku hampir selesai tepat saat kau ingatkan aku bahwa tak perlu ada yang usai dari sesuatu yang tak pernah dimulai.
Lantas kubiarkan sekalimatku menguar ke mana entah.
Mengejar apa entah hingga antah berantah.
:kemudian aku berusaha percaya bahwa aku pelupa.
Toh sekalimatku soal kita, akhirnya waktu akan sanggup membuatku lupa.
Sekalimatku soal kita, akhirnya waktu akan sanggup membuatku lupa, kan?
Borobudur, 25 Januari 2015
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!