Adalah sebuah nama, namun aku lebih suka menyebutnya dengan dia. Iya, cukup dia. Bukan berarti aku tidak tahu dengan sebutan apa orang-orang memanggilnya. Namun karena aku tidak tepat mengenalnya, aku lebih suka menyebut cukup dengan dia saja.
Dua hari ini aku tidak berhenti memikirkannya. Janggal memang. Bagaimana aku harus memikirkan seseorang yang aku tidak tahu pernah kutemui atau belum. Aku bahkan mencari begitu banyak informasi tentang dia. Dia dan halusinasi-halusinasi di antara malam-malamnya.
Iya. Ibunya bercerita padaku tentang ketakutannya yang berlebihan tentang apa yang hanya ada dalam kepalanya sendiri. Suara-suara yang menakutkan, sosok-sosok yang sangar. Gangguan perasaan, begitulah seseorang di rumah sakit pernah menyarankan untuk menyebut apa yang dia alami.
Dia seorang pria pendiam yang sehari-harinya suka menenggelamkan diri dengan aplikasi-aplikasi grafis. Menurut ibunya, dia tidak pintar. Namun, kemampuan desainnya luar biasa. Aku belum pernah secara kangsung melihat hasilnya. Namun dari cerita bagaimana dia berkali-kali menyabet juara pertama lomba desain tingkat nasional, aku bisa membayangkan seberapa luar biasa.
Dia tidak pernah banyak bicara. Dia bahkan hampir seolah tidak punya emosi. Dia penurut. Terlalu penurut.
Dia seorang pria pendiam yang ayahnya sudah meninggal sebelum dia bisa mengeja namanya sendiri. Konon ibunya menikah lagi. Entah anak mana yang bisa biasa saja menerima orang asing masuk dalam hidupnya, menggantikan seseorang yang paling dia cintai. Pun seorang bocah yang belum bisa mengeja namanya sendiri.
Namun dia selalu terlihat biasa saja. Terlalu biasa saja.
Sayangnya, Tuhan mengirimkan pria yang tidak tepat untuk ibunya. Kata ibunya, pria itu tidak bisa memposisikan diri sebagai suami. Terlebih ayah untuk anaknya. Entah anak mana yang bisa biasa saja melihat bagaimana orang asing yang awalnya terpaksa harus dia terima itu memporak-porandakan keluarganya. Pun seorang bocah pendiam yang mulai bisa mengeja, namun nilainya tetap tidak seberapa baik di sekolah.
Namun dia selalu terlihat biasa saja. Terlalu biasa saja.
Ibunya bilang, kadang dia memang bisa marah. Namun marah versi dia hanya berhenti pada mengurung diri di kamar. Beberapa jenak saja hingga dunia lupa kalau dia pernah marah. Mungkin dalam beberapa jenak itu dia menelan kemarahannya bulat-bulat untuk dirinya sendiri. Menyimpannya rapi. Berharap waktu akan benar-benar menghapuskannya dari dalam hati.
Dia menghabiskan enam tahun untuk menempuh pendidikan setingkat D3. Enam tahun. Itu setara dengan menghabiskan seluruh kesempatan yang dia miliki sebelum dinyatakan drop out oleh pihak kampus. Entah apa saja yang dilakukannya selama masa kuliah. Ibunya tidak tahu. Tidak ada yang tahu.
Ah, bagaimana lah seorang ibu yang seorang diri harus menghidupi tiga malaikat --dia dan kedua adiknya-- sempat menanyakan apa yang dilakukan dia selama kuliah. Bagaimanalah seorang ibu yang seorang diri harus menghidupi tiga malaikat masih punya tenaga untuk mengerti, bahkan jika dia menjelaskan kenapa dia harus begitu lama kuliah.
Singkat cerita dia akhirnya wisuda. Pamannya menawarkan diri untuk "membawanya" ke salah satu perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Rasanya seperti kabar gembira yang lebih dari sekedar kulit manggis kini ada ekstraknya. Seorang anak pendiam yang tidak pintar, menghabiskan 6 tahun hanya untuk menempuh kuliah setingkat D3, hampir tanpa pengalaman organisasi, baru wisuda ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan yang menjadi mimpi berjuta umat.
Namun bukan hidup namanya kalau tidak punya kejutan.
Pada malam-malam sebelum hari keberangkatannya tiba, dia mulai dihantui oleh sesuatu dalam benaknya sendiri. Ketakutan, kemarahan, kesedihan, depresi yang selama ini dia telan bulat-bulat seolah hidup. Menjelma sosok-sosok menyeramkan yang membuatnya tidak bisa tidur. Mebisikinya dengan berbagai macam hal hingga dia mulai muak. Meyakinkannya kalau dia sakit, perutnya kembung, kepalanya pusing, dadanya sesak, padahal tidak. Kesehatan fisiknya baik-baik saja. Sangat baik malah.
Lalu dia menjadi seorang pria pendiam yang harus rutin mengunjungi rumah sakit jiwa. Kemampuan desainnya menguap. Katanya dia tidak bisa berkonsentrasi. Kesempatan ditempatkan di BUMN tanpa tes juga lenyap. Usianya baru dua lima. Dia terlalu muda untuk kehilangan semua itu sekaligus.
Aku mencari tahu apa tepatnya yang sedang dia alami, dan berbagai sumber menyebutkan --menurut kesimpulanku sendiri-- gangguan perasaan itu merujuk pada gejala skizofrenia. Kata Wikipedia yang juga diamini oleh beberapa situs web yang aku baca, skizofrenia adalah gangguan mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi, pada umumnya berupa halusinasi, paranoid, keyakinan atau pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak logis, disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan. Hampir persis seperti dia --menurut kesimpulanku sendiri, tentu saja.
Ah, penyakit ini lagi. Jadi ini bukan pertama kalinya aku menemukan orang yang diduga mengidap penyakit ini. Sebelumnya malah orang yang sangat kukenal. Namun entah kenapa aku tidak pernah sebegini niat mencari informasi tentang penyakit ini sebelumnya. Mungkin lantaran ada sesuatu yang membuatku terusik tentang masa lalunya, tentang latar belakangnya, tentang kisah bagaimana gangguan perasaan itu muncul. Anggaplah aku aneh, namun sayangnya empati tidak pernah mempertanyakan nama. Pun rupa.
Dalam hati aku merapal do'a. Semoga ini hanya cara Tuhan mengangkat derajatnya, juga ibunya, juga kedua adiknya. Semoga pria pendiam bergangguan perasaan ini segera menemukan kehidupannya kembali. Aku seperti bercermin, namun cermin yang ini memantulkan bayangan yang sama sekali berbeda dan aku bersyukur karenanya.
Dua hari ini aku tidak berhenti memikirkannya. Janggal memang. Bagaimana aku harus memikirkan seseorang yang aku tidak tahu pernah kutemui atau belum. Aku bahkan mencari begitu banyak informasi tentang dia. Dia dan halusinasi-halusinasi di antara malam-malamnya.
Iya. Ibunya bercerita padaku tentang ketakutannya yang berlebihan tentang apa yang hanya ada dalam kepalanya sendiri. Suara-suara yang menakutkan, sosok-sosok yang sangar. Gangguan perasaan, begitulah seseorang di rumah sakit pernah menyarankan untuk menyebut apa yang dia alami.
Dia seorang pria pendiam yang sehari-harinya suka menenggelamkan diri dengan aplikasi-aplikasi grafis. Menurut ibunya, dia tidak pintar. Namun, kemampuan desainnya luar biasa. Aku belum pernah secara kangsung melihat hasilnya. Namun dari cerita bagaimana dia berkali-kali menyabet juara pertama lomba desain tingkat nasional, aku bisa membayangkan seberapa luar biasa.
Dia tidak pernah banyak bicara. Dia bahkan hampir seolah tidak punya emosi. Dia penurut. Terlalu penurut.
Dia seorang pria pendiam yang ayahnya sudah meninggal sebelum dia bisa mengeja namanya sendiri. Konon ibunya menikah lagi. Entah anak mana yang bisa biasa saja menerima orang asing masuk dalam hidupnya, menggantikan seseorang yang paling dia cintai. Pun seorang bocah yang belum bisa mengeja namanya sendiri.
Namun dia selalu terlihat biasa saja. Terlalu biasa saja.
Sayangnya, Tuhan mengirimkan pria yang tidak tepat untuk ibunya. Kata ibunya, pria itu tidak bisa memposisikan diri sebagai suami. Terlebih ayah untuk anaknya. Entah anak mana yang bisa biasa saja melihat bagaimana orang asing yang awalnya terpaksa harus dia terima itu memporak-porandakan keluarganya. Pun seorang bocah pendiam yang mulai bisa mengeja, namun nilainya tetap tidak seberapa baik di sekolah.
Namun dia selalu terlihat biasa saja. Terlalu biasa saja.
Ibunya bilang, kadang dia memang bisa marah. Namun marah versi dia hanya berhenti pada mengurung diri di kamar. Beberapa jenak saja hingga dunia lupa kalau dia pernah marah. Mungkin dalam beberapa jenak itu dia menelan kemarahannya bulat-bulat untuk dirinya sendiri. Menyimpannya rapi. Berharap waktu akan benar-benar menghapuskannya dari dalam hati.
Dia menghabiskan enam tahun untuk menempuh pendidikan setingkat D3. Enam tahun. Itu setara dengan menghabiskan seluruh kesempatan yang dia miliki sebelum dinyatakan drop out oleh pihak kampus. Entah apa saja yang dilakukannya selama masa kuliah. Ibunya tidak tahu. Tidak ada yang tahu.
Ah, bagaimana lah seorang ibu yang seorang diri harus menghidupi tiga malaikat --dia dan kedua adiknya-- sempat menanyakan apa yang dilakukan dia selama kuliah. Bagaimanalah seorang ibu yang seorang diri harus menghidupi tiga malaikat masih punya tenaga untuk mengerti, bahkan jika dia menjelaskan kenapa dia harus begitu lama kuliah.
Singkat cerita dia akhirnya wisuda. Pamannya menawarkan diri untuk "membawanya" ke salah satu perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Rasanya seperti kabar gembira yang lebih dari sekedar kulit manggis kini ada ekstraknya. Seorang anak pendiam yang tidak pintar, menghabiskan 6 tahun hanya untuk menempuh kuliah setingkat D3, hampir tanpa pengalaman organisasi, baru wisuda ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan yang menjadi mimpi berjuta umat.
Namun bukan hidup namanya kalau tidak punya kejutan.
Pada malam-malam sebelum hari keberangkatannya tiba, dia mulai dihantui oleh sesuatu dalam benaknya sendiri. Ketakutan, kemarahan, kesedihan, depresi yang selama ini dia telan bulat-bulat seolah hidup. Menjelma sosok-sosok menyeramkan yang membuatnya tidak bisa tidur. Mebisikinya dengan berbagai macam hal hingga dia mulai muak. Meyakinkannya kalau dia sakit, perutnya kembung, kepalanya pusing, dadanya sesak, padahal tidak. Kesehatan fisiknya baik-baik saja. Sangat baik malah.
Lalu dia menjadi seorang pria pendiam yang harus rutin mengunjungi rumah sakit jiwa. Kemampuan desainnya menguap. Katanya dia tidak bisa berkonsentrasi. Kesempatan ditempatkan di BUMN tanpa tes juga lenyap. Usianya baru dua lima. Dia terlalu muda untuk kehilangan semua itu sekaligus.
Aku mencari tahu apa tepatnya yang sedang dia alami, dan berbagai sumber menyebutkan --menurut kesimpulanku sendiri-- gangguan perasaan itu merujuk pada gejala skizofrenia. Kata Wikipedia yang juga diamini oleh beberapa situs web yang aku baca, skizofrenia adalah gangguan mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi, pada umumnya berupa halusinasi, paranoid, keyakinan atau pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak logis, disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan. Hampir persis seperti dia --menurut kesimpulanku sendiri, tentu saja.
Ah, penyakit ini lagi. Jadi ini bukan pertama kalinya aku menemukan orang yang diduga mengidap penyakit ini. Sebelumnya malah orang yang sangat kukenal. Namun entah kenapa aku tidak pernah sebegini niat mencari informasi tentang penyakit ini sebelumnya. Mungkin lantaran ada sesuatu yang membuatku terusik tentang masa lalunya, tentang latar belakangnya, tentang kisah bagaimana gangguan perasaan itu muncul. Anggaplah aku aneh, namun sayangnya empati tidak pernah mempertanyakan nama. Pun rupa.
Dalam hati aku merapal do'a. Semoga ini hanya cara Tuhan mengangkat derajatnya, juga ibunya, juga kedua adiknya. Semoga pria pendiam bergangguan perasaan ini segera menemukan kehidupannya kembali. Aku seperti bercermin, namun cermin yang ini memantulkan bayangan yang sama sekali berbeda dan aku bersyukur karenanya.
Borobudur, 15 November 2014
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!