Guys, pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang, juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi.
Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih dulu, buaya jantan tidak akan mencari betina lain untuk dikawini. Hebat ya? Malah boleh dibilang lebih setia dari beberapa oknum manusia.
Di sini aku penasaran, perilaku buaya betina apa juga sama? Entah. Tak ada sumber yang menceritakan soal itu. Sepertinya para ahli terlalu fokus pada stigma kesetiaan pria sampai lupa meneliti yang betina atau istilah buaya darat terlalu menarik sampai publikasi mengenai perilaku buaya betina tak terlalu diminati, aku tidak tahu.
Bertolak belakang dengan istilah ini, orang Betawi justru menggunakan buaya sebagai simbol kesetiaan di samping herapan kelanggengan rumah tangga. Roti buaya, pasti pernah dengar juga kan? Adat Betawi mensyaratkan calon mempelai pria memberikan roti buaya untuk calon mempelai wanita sebagai simbol kalau dia akan setia selamanya. Tradisi ini sepertinya merunut pada perilaku buaya di habitat aslinya.
Nahlho, bagaimana bisa ya ada dua -kalau boleh aku istilahkan- kebudayaan atau kebiasaan yang slack begini? Dimana yang satu bertentangan dengan yang lain.
Berbagai sumber menyebutkan bahwa sejarah istilah buaya darat berawal dari Desa Soronganyit, sekitar Jember. Jadi pada tahun 1971, di sana terdapat sebuah tambak buaya yang tidak disebutkan siapa nama pemiliknya. Pada suatu hari pemilik tambak kehilangan satu ekor buaya jantan. Tentu saja hal itu membuat desa itu gempar. Buaya yang hilang itu bisa berada dimana saja dan melukai bahkan memangsa warga. Mungkin karena takut, warga mulai melakukan hal yang aneh-aneh seperti mengurung diri di rumah, meminta perlindungan ke dukun, dan lain-lain.
Singkat cerita, pada bulan ketiga setelah menghilang, akhirnya buaya tersebut ditemukan di desa tetangga yang lingkungannya cukup kering kekurangan air. Orang-orang heran bagaimana buaya tersebut bisa bertahan hidup tanpa air selama tiga bulan. Buaya jantan itu mandi kucing* dengan buaya betina yang entah datang darimana, yang tentu saja bukan pasangannya yang sah. Lebih parahnya lagi, betina yang baru ini ternyata seumuran dengan anak si buaya jantan. Beberapa warga bergumam, "Dasar buaya," melihat kejadian janggal yang agak lucu itu. Sejak saat itu, dimulai dari desa Soronganyit, jika ada lelaki yang punya affair dengan perempuan yang bukan pasangannya, ungkapan "dasar buaya" masih sering digunakan.
Kisah ini mengingatkanku pada pepatah "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Hanya karena satu oknum buaya, semua buaya jantan jadi kena batunya. Bahkan banyak lho orang yang mengira buaya banar-benar hewan yang suka berganti-ganti pasangan. Kasihan ya si buaya.
*Istilah mandi kucing aku pakai sesuai versi aslinya. Aku juga masih tidak begitu paham maksudnya. Kalau di KBBI adanya mandi kerbau yang artinya mandi tanpa membersihkan diri. Jadi hanya membasahi tubuh saja, seperti mandi bebek kalau istilah jawanya. Mungkin artinya sama. Kalau ada yang lebih tahu, tolong dikoreksi.
Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih dulu, buaya jantan tidak akan mencari betina lain untuk dikawini. Hebat ya? Malah boleh dibilang lebih setia dari beberapa oknum manusia.
Di sini aku penasaran, perilaku buaya betina apa juga sama? Entah. Tak ada sumber yang menceritakan soal itu. Sepertinya para ahli terlalu fokus pada stigma kesetiaan pria sampai lupa meneliti yang betina atau istilah buaya darat terlalu menarik sampai publikasi mengenai perilaku buaya betina tak terlalu diminati, aku tidak tahu.
Sumber: Dokumen Istimewa |
Bertolak belakang dengan istilah ini, orang Betawi justru menggunakan buaya sebagai simbol kesetiaan di samping herapan kelanggengan rumah tangga. Roti buaya, pasti pernah dengar juga kan? Adat Betawi mensyaratkan calon mempelai pria memberikan roti buaya untuk calon mempelai wanita sebagai simbol kalau dia akan setia selamanya. Tradisi ini sepertinya merunut pada perilaku buaya di habitat aslinya.
Sumber: Dokumen Istimewa |
Nahlho, bagaimana bisa ya ada dua -kalau boleh aku istilahkan- kebudayaan atau kebiasaan yang slack begini? Dimana yang satu bertentangan dengan yang lain.
Berbagai sumber menyebutkan bahwa sejarah istilah buaya darat berawal dari Desa Soronganyit, sekitar Jember. Jadi pada tahun 1971, di sana terdapat sebuah tambak buaya yang tidak disebutkan siapa nama pemiliknya. Pada suatu hari pemilik tambak kehilangan satu ekor buaya jantan. Tentu saja hal itu membuat desa itu gempar. Buaya yang hilang itu bisa berada dimana saja dan melukai bahkan memangsa warga. Mungkin karena takut, warga mulai melakukan hal yang aneh-aneh seperti mengurung diri di rumah, meminta perlindungan ke dukun, dan lain-lain.
Singkat cerita, pada bulan ketiga setelah menghilang, akhirnya buaya tersebut ditemukan di desa tetangga yang lingkungannya cukup kering kekurangan air. Orang-orang heran bagaimana buaya tersebut bisa bertahan hidup tanpa air selama tiga bulan. Buaya jantan itu mandi kucing* dengan buaya betina yang entah datang darimana, yang tentu saja bukan pasangannya yang sah. Lebih parahnya lagi, betina yang baru ini ternyata seumuran dengan anak si buaya jantan. Beberapa warga bergumam, "Dasar buaya," melihat kejadian janggal yang agak lucu itu. Sejak saat itu, dimulai dari desa Soronganyit, jika ada lelaki yang punya affair dengan perempuan yang bukan pasangannya, ungkapan "dasar buaya" masih sering digunakan.
Kisah ini mengingatkanku pada pepatah "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Hanya karena satu oknum buaya, semua buaya jantan jadi kena batunya. Bahkan banyak lho orang yang mengira buaya banar-benar hewan yang suka berganti-ganti pasangan. Kasihan ya si buaya.
*Istilah mandi kucing aku pakai sesuai versi aslinya. Aku juga masih tidak begitu paham maksudnya. Kalau di KBBI adanya mandi kerbau yang artinya mandi tanpa membersihkan diri. Jadi hanya membasahi tubuh saja, seperti mandi bebek kalau istilah jawanya. Mungkin artinya sama. Kalau ada yang lebih tahu, tolong dikoreksi.
Banjarsari, 16.12.13
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!