Sampai sekarang aku masih tidak tahu apa yang keren dari sebatang rokok sampai dia begitu populer bagi kaum adam. Bahkan beberapa pria menghabiskan waktu dengan rokok lebih banyak dari pada yang dia habiskan untuk wanitanya. Bahkan beberapa pria rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk rokok dari pada untuk wanitanya. Dan mereka masih suka seenaknya memberi cap "cewek matre" tanpa pernah peduli kalau rokok itu sebenarnya --bagi orang-orang tertentu-- jauh lebih matre. Dan mereka berdemo untuk kenaikan harga BBM tanpa pernah mempermasalahkan kenaikan harga cukai rokok.
Tidak adil -_-"
Salah satu temanku yang perokok pernah bilang bahwa rokok bisa membantunya berpikir lebih jernih ketika menghadapi masalah. Bahkan temanku yang lain yang sebut saja semacam seniman pernah bilang bahwa rokok itu adalah inspirasinya. Tanpa rokok, dia akan kesulitan menelurkan sebuah karya. Seorang remaja malah dengan naifnya bilang kalau merokok itu keren sebagai alasannya kecanduan. Kelihatan jantan, katanya -_-"
Aku masih tidak mengerti. Aku --dan bahkan semua orang-- jelas bukan orang yang tidak pernah punya masalah dan tidak butuh inspirasi, tapi beberapa dari kami bisa tetap hidup tanpa rokok sampai segede ini. Setahuku sih memang tidak ada hubungannya antara rokok dan kemampuan menyelesaikan permasalahan. Terlebih... stigma merokok itu menunjukkan kejantanan seorang pria sama sekali tidak bisa aku terima. Bukankah justru rokok itu pelan-pelan akan merusak kejantanannya, secara harfiah menurut ilmu kesehatan? Lalu, keren sebelah mananya?
Lucunya, kebanyakan perokok tahu benar resiko dari merokok. Gambar serem dan peringatan di bungkus rokok itu sepertinya memang tidak banyak membantu. Bahkan perokok pemula juga sudah mulai kebal dengan resiko itu. Kampanye bahaya merokok bagi mereka juga cuma diperlakukan sama seperti asap: dihirup sebentar saja sebelum hilang ditelan angin.
Aku bukan tipe orang yang suka melarang orang lain melakukan apa yang dia suka, termasuk merokok. Temanku ada yang perokok dan aku tidak pernah mempermasalahkan itu, selama dia tidak melakukannya di dekatku. Emang sih kadang aku nyinyir sama kebiasaan --yang menurutku-- buruk itu kalau jiwa emak-emakku kambuh. Namun aku hanya akan berhenti sebatas memberi nasihat atau protes saja. Selebihnya, aku sadar benar itu hak dia.
Kabar baiknya, beberapa dari mereka menghormati juga hakku untuk hidup sehat tanpa asap rokok. Salah satunya dengan menyingkir ketika butuh banget pengen merokok. Masalahnya tidak semua perokok menyadari hal ini. Maunya dihargai haknya untuk merusak diri sendiri tanpa mau menghargai hak orang lain untuk menjaga diri. Nyebelin kan kalau di tempat umum ada yang ngebul aja seenaknya seolah orang lain enggak punya paru-paru, enggak butuh bernapas. Bahkan kayak udah enggak peduli gitu ada anak kecil atau ibu hamil di sekitarnya.
Parahnya, beberapa dari perokok bahkan ada yang tidak mau diprotes sama sekali. Aku pernah mendengar kalimat, "Kalau enggak suka, beli mobil sendiri aja, Mbak," dari seorang bapak-bapak yang diprotes karena merokok di dalam bus. Bukannya kebalik? Aku kan yang seharusnya ngomong kayak gitu ke bapaknya?
Dari sana aku jadi mikir-mikir. Lihat situasi dan kondisi kalau mau protes sama orang yang merokok di dekatku. Kadang jiwa cewekku muncul: yang batuk-batuk terus berharap si perokok peka tanpa aku harus protes. Terus kesel sendiri kalau enggak berhasil. Haha. Aku kadang malah yang memilih langsung menyingkir kalau memungkinkan. Pada beberapa situasi tertentu, aku pura-pura baik-baik saja bersama orang yang sedang merokok. Padahal sebenarnya beberapa kali aku beneran menahan napas, dan itu susah. Haha.
Ah, cemen sekali.
Aku punya seorang adik laki-laki. Meski dia mengaku tidak merokok, tapi aku sama ibuk sering menemukan korek di sakunya. Jadilah kami para wanita kepo sama dia. Kami enggak punya kecurigaan lain yang lebih logis soalnya. Enggak mungkin kan adikku bawa-bawa korek kemana-mana cuma buat pajangan macam bawa batu biar enggak kebelet pup? I really worry about it. Masalahnya, dia adikku ilho. Papaku dulu bukan perokok sih, om-omku juga tidak merokok, jadi aku hampir tidak berpengalaman punya anggota keluarga perokok. Kalau adikku beneran merokok, aku enggak tahu deh itu nurun dari siapa -_-" #curcol
Soalnya aku sendiri secara pribadi ngerasa sayang banget kalau ada remaja merokok. Kayak yang...ya ampuuuunnn mereka tuh masih piyik lho. Kan kasihan kan kalau belum-belum udah sakit paru-paru. Frontalnya kayak aku enggak begitu protes sama orang tua yang ngrokok, mimpi-mimpi yang pengen mereka kejar paling apa sih. Usia produktifnya toh udah hampir lewat #plak! #tanpamaksudkurangajarlho
Kalau remaja kan, jalan mereka buat menggapai mimpi itu --logikanya-- masih panjaaaaang banget. Sayang aja gitu kalau pas usia produktif mereka malah sakit-sakitan.
Rasanya pengen banget bilang sama adikku khususnya, dan perokok lain pada umumnya, bahwa masih ada banyak hal lain kok di luar sana yang lebih keren selain rokok. Atau paling tidak, lain kali cari alasan lain kek yang lebih logis dari inspirasi, keren, menenangkan, atau hal-hal macam itu. Karena alasan-alasan itu secara tidak langsung, menyugesti yang enggak merokok untuk pengen mencoba merokok lho. Bilang saja masih merokok karena tidak bisa mengalahkan diri sendiri untuk berhenti. Karena merokok atau tidak itu sepenuhnya pilihan kan? Mengakui kelemahan itu jantan kok, lebih jantan dari merokok malah. Terlebih, enggak merusak kejantanan dari segi kesehatan juga.
Dan bagi siapa pun yang merokok, belajarlah untuk saling menghormati. Kalau mau dihormati untuk dibebaskan merokok, hormatilah orang lain untuk bebas tidak menghirup asap rokok. Lain kali, berpikirlah sebelum memutuskan merokok di depan orang yang tidak merokok. Dia diam saja bukan berarti tidak keberatan lho. Kalau memang belum bisa sepeka itu, minimal jangan marah lah ya kalau diprotes.
Merokok itu hak Anda, tapi jangan ngajak-ajak juga sakitnya. Perokok pasif itu punya resiko penyakit yang hampir sama dengan perokok aktif lho. Hati-hati tuh buat yang katanya sayang keluarga, tapi suka merokok di rumah.
Salam toleransi :)
Tidak adil -_-"
Gambar: dokumen istimewa |
Salah satu temanku yang perokok pernah bilang bahwa rokok bisa membantunya berpikir lebih jernih ketika menghadapi masalah. Bahkan temanku yang lain yang sebut saja semacam seniman pernah bilang bahwa rokok itu adalah inspirasinya. Tanpa rokok, dia akan kesulitan menelurkan sebuah karya. Seorang remaja malah dengan naifnya bilang kalau merokok itu keren sebagai alasannya kecanduan. Kelihatan jantan, katanya -_-"
Aku masih tidak mengerti. Aku --dan bahkan semua orang-- jelas bukan orang yang tidak pernah punya masalah dan tidak butuh inspirasi, tapi beberapa dari kami bisa tetap hidup tanpa rokok sampai segede ini. Setahuku sih memang tidak ada hubungannya antara rokok dan kemampuan menyelesaikan permasalahan. Terlebih... stigma merokok itu menunjukkan kejantanan seorang pria sama sekali tidak bisa aku terima. Bukankah justru rokok itu pelan-pelan akan merusak kejantanannya, secara harfiah menurut ilmu kesehatan? Lalu, keren sebelah mananya?
Lucunya, kebanyakan perokok tahu benar resiko dari merokok. Gambar serem dan peringatan di bungkus rokok itu sepertinya memang tidak banyak membantu. Bahkan perokok pemula juga sudah mulai kebal dengan resiko itu. Kampanye bahaya merokok bagi mereka juga cuma diperlakukan sama seperti asap: dihirup sebentar saja sebelum hilang ditelan angin.
Gambar: dokumen istimewa |
Aku bukan tipe orang yang suka melarang orang lain melakukan apa yang dia suka, termasuk merokok. Temanku ada yang perokok dan aku tidak pernah mempermasalahkan itu, selama dia tidak melakukannya di dekatku. Emang sih kadang aku nyinyir sama kebiasaan --yang menurutku-- buruk itu kalau jiwa emak-emakku kambuh. Namun aku hanya akan berhenti sebatas memberi nasihat atau protes saja. Selebihnya, aku sadar benar itu hak dia.
Kabar baiknya, beberapa dari mereka menghormati juga hakku untuk hidup sehat tanpa asap rokok. Salah satunya dengan menyingkir ketika butuh banget pengen merokok. Masalahnya tidak semua perokok menyadari hal ini. Maunya dihargai haknya untuk merusak diri sendiri tanpa mau menghargai hak orang lain untuk menjaga diri. Nyebelin kan kalau di tempat umum ada yang ngebul aja seenaknya seolah orang lain enggak punya paru-paru, enggak butuh bernapas. Bahkan kayak udah enggak peduli gitu ada anak kecil atau ibu hamil di sekitarnya.
Parahnya, beberapa dari perokok bahkan ada yang tidak mau diprotes sama sekali. Aku pernah mendengar kalimat, "Kalau enggak suka, beli mobil sendiri aja, Mbak," dari seorang bapak-bapak yang diprotes karena merokok di dalam bus. Bukannya kebalik? Aku kan yang seharusnya ngomong kayak gitu ke bapaknya?
Dari sana aku jadi mikir-mikir. Lihat situasi dan kondisi kalau mau protes sama orang yang merokok di dekatku. Kadang jiwa cewekku muncul: yang batuk-batuk terus berharap si perokok peka tanpa aku harus protes. Terus kesel sendiri kalau enggak berhasil. Haha. Aku kadang malah yang memilih langsung menyingkir kalau memungkinkan. Pada beberapa situasi tertentu, aku pura-pura baik-baik saja bersama orang yang sedang merokok. Padahal sebenarnya beberapa kali aku beneran menahan napas, dan itu susah. Haha.
Ah, cemen sekali.
Aku punya seorang adik laki-laki. Meski dia mengaku tidak merokok, tapi aku sama ibuk sering menemukan korek di sakunya. Jadilah kami para wanita kepo sama dia. Kami enggak punya kecurigaan lain yang lebih logis soalnya. Enggak mungkin kan adikku bawa-bawa korek kemana-mana cuma buat pajangan macam bawa batu biar enggak kebelet pup? I really worry about it. Masalahnya, dia adikku ilho. Papaku dulu bukan perokok sih, om-omku juga tidak merokok, jadi aku hampir tidak berpengalaman punya anggota keluarga perokok. Kalau adikku beneran merokok, aku enggak tahu deh itu nurun dari siapa -_-" #curcol
Soalnya aku sendiri secara pribadi ngerasa sayang banget kalau ada remaja merokok. Kayak yang...ya ampuuuunnn mereka tuh masih piyik lho. Kan kasihan kan kalau belum-belum udah sakit paru-paru. Frontalnya kayak aku enggak begitu protes sama orang tua yang ngrokok, mimpi-mimpi yang pengen mereka kejar paling apa sih. Usia produktifnya toh udah hampir lewat #plak! #tanpamaksudkurangajarlho
Kalau remaja kan, jalan mereka buat menggapai mimpi itu --logikanya-- masih panjaaaaang banget. Sayang aja gitu kalau pas usia produktif mereka malah sakit-sakitan.
Gambar: dokumen istimewa |
Rasanya pengen banget bilang sama adikku khususnya, dan perokok lain pada umumnya, bahwa masih ada banyak hal lain kok di luar sana yang lebih keren selain rokok. Atau paling tidak, lain kali cari alasan lain kek yang lebih logis dari inspirasi, keren, menenangkan, atau hal-hal macam itu. Karena alasan-alasan itu secara tidak langsung, menyugesti yang enggak merokok untuk pengen mencoba merokok lho. Bilang saja masih merokok karena tidak bisa mengalahkan diri sendiri untuk berhenti. Karena merokok atau tidak itu sepenuhnya pilihan kan? Mengakui kelemahan itu jantan kok, lebih jantan dari merokok malah. Terlebih, enggak merusak kejantanan dari segi kesehatan juga.
Dan bagi siapa pun yang merokok, belajarlah untuk saling menghormati. Kalau mau dihormati untuk dibebaskan merokok, hormatilah orang lain untuk bebas tidak menghirup asap rokok. Lain kali, berpikirlah sebelum memutuskan merokok di depan orang yang tidak merokok. Dia diam saja bukan berarti tidak keberatan lho. Kalau memang belum bisa sepeka itu, minimal jangan marah lah ya kalau diprotes.
Merokok itu hak Anda, tapi jangan ngajak-ajak juga sakitnya. Perokok pasif itu punya resiko penyakit yang hampir sama dengan perokok aktif lho. Hati-hati tuh buat yang katanya sayang keluarga, tapi suka merokok di rumah.
Salam toleransi :)
Borobudur, 08 November 2014
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!