Tidak ada orang tua yang tidak bahagia menyambut kelahiran bayinya. Pun aku pribadi dan teman-teman di Perdu. Senang rasanya melihat binar di mata-mata mereka. Bayi ini anak pertama kami. Namanya Penumbra. Sebuah antologi 10 cerpen terbaik lomba bertajuk "Mari Berbagi, Mari Mengispirasi" yang kami adakan lebih dari setahun lalu.
Sebuah buku yang belum bisa disebut master piece, tapi adalah buah dari kerja keras. Penumbra secara wujud untuk dibagi memang hanya sebuah buku hasil cetakan penerbit indie. Namun ada begitu banyak cerita di baliknya. Cerita yang mungkin lebih panjang dari pada isi buku itu sendiri. Ada suka, duka, semangat, kegelisahan, keputusasaan, perjuangan, harapan, keringat, air mata, rasa lelah, dan masih banyak lagi tersimpan di balik sampulnya. Lebih dari sebuah antologi, aku pribadi melihat Penumbra sebagai titik di mana janji akan buah suatu usaha itu memang ada.
Aku melihat sendiri bagaimana di tengah kesibukan, teman-teman kala itu menyempatkan diri memikirkan sesuatu yang secara kasat mata tak memberinya keuntungan sama sekali. Bagaimana kurang kerjaannya mereka melakukan publikasi, rapat, mencari sponsor sana-sini padahal tak digaji. Sementara mereka sebenarnya bisa memilih pergi, lalu pura-pura tidak terjadi apa-apa. Ketika tim berada di puncak rasa lelah dan segalanya seolah sia-sia, memang ada yang diam-diam mundur teratur. Ada juga yang muncul sekali lantas hilang sama sekali. Namun aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk mereka yang memilih bertahan. Memilih mempertanggungjawabkan apa yang pernah mereka pilih untuk mulai dan memperjuangkannya hingga selesai. Salut. Hanya salut. Hati tangguh macam itu yang kelak tak akan terkalahkan.
Seleksi alam.
Sayang sekali pejuang-pejuang itu tak banyak yang bisa hadir dalam soft-launching dan tasyakuran di ruang DKKM, Gedung Kyai Sepanjang, Kota Magelang kemarin (30/11). Padahal sebenarnya tasyakuran itu ditujukan untuk membayar kerja keras mereka. Apalah daya jika ada kesibukan-kesibukan lain yang berbarengan.
Padahal ingin benar kujabat tangan mereka satu-persatu untuk mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Untuk meminta maaf atas kelelahan yang pernah ditimbulkan. Untuk menyemangati agar terus berjuang lebih banyak lagi dan lagi. Ah, sudahlah.
Acara yang boleh dibilang sedikit mendadak kemarin terhitung lancar. Meski yang datang di luar ekspektasiku, tapi kemarin itu tetap menyenangkan. Secara khusus aku mengucapkan terima kasih kepada pihak penerbit yang dengan heroiknya mengantar Penumbra langsung ke rumahku jam 22.30 hari Sabtu (29/11) dari Jogja. So drama. Salut untuk usaha Garudhawaca menangani hal-hal tak terduga yang sempat membuatku harus menyusun skenario kalau ketika tiba waktunya launching bukunya belum ada.
Minggu pagi aku dibangunkan oleh suara adzan. Di luar hujan deras. Langit belum menunjukkan tanda-tanda bosan menumpahkan air semalaman. Aku seolah bisa mendengar setan berbisik bahwa selimut lebih nyaman di saat-saat seperti itu ketimbang air wudhu. Apalagi kalau ingat habis itu aku harus mandi. Duh, ini Hari Minggu pagi lho! Sempat aku mengumpat dalam hati.
Namun akhirnya aku bangun juga. Sambil merapal doa dalam hati agar hujan segera berhenti, agar diberikan hari yang cerah seharian nanti.
Benar saja. Hujan pelan-pelan mulai reda. Hari itu terbilang cerah sepanjang acara.
Adegan konyol adalah ketika mas-mas yang nganter tumpeng gethuk ternyata kebalik ngasihnya. Yang ditinggal di tempatku itu ada tiga tampah gethuk yang tidak ada tumpengnya. Berhubung kami membutuhkan tumpeng, aku dan Mas Sobat dengan begitu kreatifnya menyusun gethuk di tampah yang satu menjadi sebuah kerucut yang enggak karuan. Eh, pas udah dibongkar gitu, tiba-tiba masnya yang nganter gethuk datang lagi. Katanya dia salah nganter. Yang dikasih ke aku harusnya jadi prasmanan di tempat orang nikahan. Pas dia tanya apa udah dibongkar, aku mendadak malu. Haha. Kayaknya masnya menyusun ulang gethuk-gethuk itu sambil prihatin melihat hasil karya kami deh. Haha
Begitulah. Betapa indah cara seorang anak mempersatukan sebuah keluarga. Semoga Penumbra ini bukan anak pertama dan satu-satunya. Semoga dia akan segera punya adek, yang banyak. Aamiin :)
Sebuah buku yang belum bisa disebut master piece, tapi adalah buah dari kerja keras. Penumbra secara wujud untuk dibagi memang hanya sebuah buku hasil cetakan penerbit indie. Namun ada begitu banyak cerita di baliknya. Cerita yang mungkin lebih panjang dari pada isi buku itu sendiri. Ada suka, duka, semangat, kegelisahan, keputusasaan, perjuangan, harapan, keringat, air mata, rasa lelah, dan masih banyak lagi tersimpan di balik sampulnya. Lebih dari sebuah antologi, aku pribadi melihat Penumbra sebagai titik di mana janji akan buah suatu usaha itu memang ada.
Aku melihat sendiri bagaimana di tengah kesibukan, teman-teman kala itu menyempatkan diri memikirkan sesuatu yang secara kasat mata tak memberinya keuntungan sama sekali. Bagaimana kurang kerjaannya mereka melakukan publikasi, rapat, mencari sponsor sana-sini padahal tak digaji. Sementara mereka sebenarnya bisa memilih pergi, lalu pura-pura tidak terjadi apa-apa. Ketika tim berada di puncak rasa lelah dan segalanya seolah sia-sia, memang ada yang diam-diam mundur teratur. Ada juga yang muncul sekali lantas hilang sama sekali. Namun aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk mereka yang memilih bertahan. Memilih mempertanggungjawabkan apa yang pernah mereka pilih untuk mulai dan memperjuangkannya hingga selesai. Salut. Hanya salut. Hati tangguh macam itu yang kelak tak akan terkalahkan.
Seleksi alam.
Sayang sekali pejuang-pejuang itu tak banyak yang bisa hadir dalam soft-launching dan tasyakuran di ruang DKKM, Gedung Kyai Sepanjang, Kota Magelang kemarin (30/11). Padahal sebenarnya tasyakuran itu ditujukan untuk membayar kerja keras mereka. Apalah daya jika ada kesibukan-kesibukan lain yang berbarengan.
Padahal ingin benar kujabat tangan mereka satu-persatu untuk mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Untuk meminta maaf atas kelelahan yang pernah ditimbulkan. Untuk menyemangati agar terus berjuang lebih banyak lagi dan lagi. Ah, sudahlah.
Acara yang boleh dibilang sedikit mendadak kemarin terhitung lancar. Meski yang datang di luar ekspektasiku, tapi kemarin itu tetap menyenangkan. Secara khusus aku mengucapkan terima kasih kepada pihak penerbit yang dengan heroiknya mengantar Penumbra langsung ke rumahku jam 22.30 hari Sabtu (29/11) dari Jogja. So drama. Salut untuk usaha Garudhawaca menangani hal-hal tak terduga yang sempat membuatku harus menyusun skenario kalau ketika tiba waktunya launching bukunya belum ada.
Minggu pagi aku dibangunkan oleh suara adzan. Di luar hujan deras. Langit belum menunjukkan tanda-tanda bosan menumpahkan air semalaman. Aku seolah bisa mendengar setan berbisik bahwa selimut lebih nyaman di saat-saat seperti itu ketimbang air wudhu. Apalagi kalau ingat habis itu aku harus mandi. Duh, ini Hari Minggu pagi lho! Sempat aku mengumpat dalam hati.
Namun akhirnya aku bangun juga. Sambil merapal doa dalam hati agar hujan segera berhenti, agar diberikan hari yang cerah seharian nanti.
Benar saja. Hujan pelan-pelan mulai reda. Hari itu terbilang cerah sepanjang acara.
Adegan konyol adalah ketika mas-mas yang nganter tumpeng gethuk ternyata kebalik ngasihnya. Yang ditinggal di tempatku itu ada tiga tampah gethuk yang tidak ada tumpengnya. Berhubung kami membutuhkan tumpeng, aku dan Mas Sobat dengan begitu kreatifnya menyusun gethuk di tampah yang satu menjadi sebuah kerucut yang enggak karuan. Eh, pas udah dibongkar gitu, tiba-tiba masnya yang nganter gethuk datang lagi. Katanya dia salah nganter. Yang dikasih ke aku harusnya jadi prasmanan di tempat orang nikahan. Pas dia tanya apa udah dibongkar, aku mendadak malu. Haha. Kayaknya masnya menyusun ulang gethuk-gethuk itu sambil prihatin melihat hasil karya kami deh. Haha
Begitulah. Betapa indah cara seorang anak mempersatukan sebuah keluarga. Semoga Penumbra ini bukan anak pertama dan satu-satunya. Semoga dia akan segera punya adek, yang banyak. Aamiin :)
Borobudur, 01 Desember 2014
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!