Skip to main content

Mata Coklat dari Pulau Seberang

Langit sudah mendung saja sepagi ini. Bulan Desember akan datang sebentar lagi. Gedhe-gedhene sumber, kalau kata orang Jawa. Banyak orang bercaya bahwa di bulan kedua-belas itu air akan melimpah di mana-mana. Memang hujan sedang musim-musimnya.

Aku duduk di atas motor bebek merah entah milik siapa yang diparkirkan di depan pintu masuk Bukit Tidar.  Pintu yang kumaksudkan adalah sebuah lubang hasil menjebol tembok bata pembatas. Kutopangkan daguku di kedua tangan yang kulipat di atas spidometer sambil memandangi satu persatu orang yang lewat. Jam sudah menunjukkan pukul delapan, tapi rombongan yang kutunggu belum juga datang.

Hari ini Mas Harjo sakit. Jadilah aku didaulat emak untuk menggantikannya sebagai pemandu. Meski usiaku sudah menginjak sembilan belas, aku masih saja menjadi pemandu cadangan. Beberapa temanku padahal sudah mulai diberi kepercayaan untuk diperbolehkan menerima rombongan langganan.

Kalau bukan karena emak, aku pasti sudah lama keluar dari dunia pemandu-perpemanduan. Lebih menyenangkan menyusuri hutan Bukit Tidar tanpa beban harus menjelaskan apa pada siapa. Belum lagi pengunjung-pengunjung itu biasanya terlalu banyak bertanya. Segala-galanya dia ingin tahu. Mengganggu sekali. Lagi pula, aku ini lebih suka berimajinasi tentang apa yang akan terjadi dari pada memperlajari sejarah beserta segala mitos dan desas-desus yang orang percaya.

Biasanya aku berharap hujan tiba ketika aku harus memandu rombongan. Dengan begitu, ziarah dan tour akan berlangsung lebih singkat. Kalau tidak, minimal mereka jadi tidak banyak bicara. Namun pagi ini, diam-diam kurapal do'a dalam hati agar langit tak menumpahkan hujan. Kabar dari emak bahwa rombonganku pagi ini berasal dari Bali membuatku sedikit bersemangat. Rombongan ini hampir selalu ke sini tiap beberapa bulan sekali.

Meski hanya pemandu cadangan, ini sudah kali ketigaku memandu mereka. Aku suka. Bahkan kadang aku diam-diam mengikuti rombongan mereka meski bukan jatahku memandu. Bukan lantaran mereka tidak banyak bertanya. Rombongan yang biasanya berjumlah tak kurang dari sepuluh orang ini justru malah berisik luar biasa. Mereka datang ke Bukit Tidar secara berkala, namun entah kenapa seolah tak pernah kehabisan pertanyaan. Pun bahan untuk diperdebatkan. Belum lagi beberapa di antaranya lebih suka memakai bahasa daerah alih-alih bahasa nasional Indonesia.

Karena, meski tidak selalu, ada sepasang mata coklat yang suka kupandangi dari salah satu anggota rombongan jauh dari Indonesia tengah itu. Sepasang mata coklat yang penuh rasa ingin tahu, namun sekali pun belum pernah bertanya. Dia memandangi sekeliling, mendengarkan, sesekali mengangguk-angguk, sesekali mencatat, beberapa kali mengambil gambar, dan selalu tersenyum. Semua itu dia lakukan tanpa suara. Hening sekali. Dia seolah adegan slow motion dari serangkaian film bisu.

Kadang aku penasaran, mengapa ada orang yang mau jauh-jauh menyeberangi lautan untuk berziarah ke sini, sementara teman-temanku yang dari Magelang sendiri banyak yang tidak tahu kalau di atas Bukit Tidar ada makam. Jangankan itu, bahkan keberadaan Bukit Tidar di belahan Magelang sebelah mana saja mungkin beberapa dari mereka tidak mengerti. Lalu, tahu dari mana sebenarnya orang-orang Bali ini.

Mungkin lantaran konon pemilik Kyai Panjang, salah satu tombak yang disemayamkan di puncak Bukit Tidar, lari ke Bali setelah kalah perang. Mungkin mereka ingin mengunjungi persemayaman yang kisahnya mencantumkan nama daerah mereka itu. Tidak banyak yang tahu kebenaran cerita ini, karena katanya tidak ada bukti otentik soal keberadaan pemilik Kyai Panjang. Aku sendiri hanya mendengarnya dari cerita mulut ke mulut. Namun toh mereka mengunjungi juga kedua makam lainnya :Syaikh Subakir dan Kyai Semar. Entahlah. Lagi pula aku --seperti sebagian besar pemandu lain-- tidak pernah merasa perlu mempertanyakan alasan sebenarnya yang membawa mereka ke sini. Kenyataan bahwa mereka nguri-uri Bukit Tidar dan menambah pemasukan orang-orang yang mencari nafkah di tempat ini saja sudah cukup. Terlebih ada mata coklat penuh rasa ingin tahu itu.

Aku masih ingat benar kernyitan di dahinya tiap kali aku melenggang saja melewati makam-makam Cina tua di kaki Bukit Tidar. Kadang aku malah duduk di atasnya sambil menunggu mereka mengisi buku kas RW atau istirahat. Aku sendiri suka menahan tawa melihat bagaimana dia menunduk, seolah mengucap permisi, tiap melewati makam siapa pun.

Meski bagiku semua itu hanya makam, aku tahu kepercayaan bahwa makam-makam itu memiliki nilai tertentu lah yang membawanya ke sini. Lagi pula, tempat ini sudah seperti rumahku. Apa yang perlu aku takutkan? Meski emak selalu memperingatkanku untuk tetap menjaga etika, aku --seperti kebanyakan penduduk sini-- kadang lupa kalau Bukit Tidar ini penuh misteri bagi sebagian golongan. Bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa nama Tidar didapatkan dari 'mati dan modar'. Konon saking angkernya tempat ini, sampai orang yang datang ke sini kalau tidak mati, ya modar. Keduanya artinya sama. Secara tidak langsung berarti bahwa siapa pun yang datang ke Bukti Tidar pasti mati. Dulu katanya begitu.

Aku juga ingat bagaimana dia dengan begitu khidmatnya meletakkan saji dan membakar dupa di depan "paku" yang dipercaya sebagai pusar Pulau Jawa. Dia akan menunduk dalam diam beberapa jenak sebelum mengamati tugu kecil berwarna putih itu dalam diam. Mungkin berdo'a. "sa-sa-sa, sopo salah seleh. Barang siapa yang bersalah, akan kelihatan salahnya," kataku suatu kali ketika kukira dia sedang berusaha membaca aksara jawa di puncak ketiga sisi pakunya tanah Jawa itu. Pemilik mata coklat itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Dia lalu mengambil gambar dengan kamera digital ungu miliknya.

Ah, gadis itu memang tidak banyak bicara. Dia bahkan tidak ikut bisik-bisik bersama anggota rombongan lain yang selalu memelankan suara begitu mulai mendaki. Dia terus saja diam sambil sesekali memperlihatkan catatannya pada anggota rombongan lain.

Dia tuna wicara.

Seekor monyet melompat diiringi suara pekikan, menyadarkanku dari lamunan. Kupandangi pinus-pinus yang berjejer berantakan. Entah monyet mana tadi yang membuat kegaduhan. Tiga ekor betina besar di atas tembok pembatas memandangiku seolah mengejek. Nama mereka mungkin Tukini, Sinta, dan Ijem. Entahlah. Kadang aku suka memberi nama monyet-monyet itu dan membayangkan salah satu dari mereka mungkin bisa bicara. Atau paling tidak, bisa menjadi sahabat seperti pada film Si Buta dari Gua Hantu. Meski, tiap selesai kuberi nama, aku selalu tidak tahu yang mana namanya siapa.

Hampir sama sepertiku, bagi mereka Bukit Tidar ini mungkin juga hanya sebuah rumah. Lebih seperti tempat untuk hidup dari lahir hingga mati atau modar.

Dua buah mobil hitam berplat-DK berhenti beberapa meter dari tempatku duduk. Aku berdiri, menyambut satu-persatu orang yang keluar dari dalam mobil sambil diam-diam berharap menemukan mata coklat dari pulau seberang itu lagi.***


Borobudur, 12 November 2014
Dien Ihsani
Kisah yang lahir dari sebuah ide random setelah melihat, mengamati, mendengarkan, dan berdiskusi mengenai berbagai macam hal dalam perburuan ide bersama Komunitas Perdu di Bukit Tidar Magelang, 09 November 2014.

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih