Edelweiss Jawa (Anaphalis javanica). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.
Kalau temen-temen berkesempatan naik gunung dan merasakan betapa indahnya “padang edelweiss” menebarkan aroma khasnya, temen-temen nggak bakal nyesel pernah hidup. Nggak bakal nyesel capek-capek naik gunung. Semua terbayar lunas. Impas.
Nggak cuma itu aja ajaibnya bunga ini. Konon katanya, bunga edelweiss yang telah dipetik nggak akan layu asal tak diberi air. Dari sinilah edelweiss mendapatkan julukannya, bunga abadi. Edelweiss yang telah dipetik secara otomatis mengawetkan dirinya sendiri. Puluhan tahun. Dari sini pulalah mitos nyleneh tentang bunga ini beredar. Karena “keabadiannya” ini, edelweiss biasa dilambangkan sebagai cinta yang abadi. Banyak pendaki—biasanya anak muda—yang turun gunung membawa edelweiss sebagai oleh-oleh. Bukti otentik perjalanannya, yang nantinya dia serahkan pada orang yang dia cintai sebagai wujud cintanya. Dengan itu dia berharap cintanya awet selamanya. Preeettt… edelweiss dan keabadian cinta sama sekali nggak ada hubungannya, jack!
Mitos yang salah kaprah ini jelas membuat para edelweiss susah. Iya kalau yang metik itu satu dua orang yang datang setahun sekali. Mitos itu mendorong begitu banyak manusia, 24 jam setiap harinya, 7 hari setiap minggunya, 54 minggu setiap tahunnya, untuk mendapatkan cipratan “keabadian” edelweiss. Data menunjukkan bahwa spesies cantik ini mulai terancam. Bahkan jelas-jelas dinyatakan punah di beberapa daerah. Parahhh… Ironisnya, hal itu justru banyak dilakukan oleh mereka yang katanya, pecinta alam. Membawa bendera pecinta alam padahal hanya seorang penikmat alam.
Aku bukan meng-under estimate-kan pecinta alam ya.. nggak semuanya gitu kok! Aku percaya—dan berharap—di luar sana masih banyak pecinta alam sejati yang bisa menjadi penikmat alam tanpa mengurangi kecintaannya untuk menjaga alam. Tak meninggalkan apa pun selain jejak, tak membawa apa pun selain gambar.
So, c’mon guys. Kita bareng-bareng menjaga keabadian cinta kita pada alam dengan menjaga bunga abadi ini tetap abadi dengan caranya sendiri. Kita nikmatilah dia tanpa usil mengusiknya. Kita bawa filosofi keabadiannya tanpa harus merenggut keindahan mekarnya. Beri kesempatan anak cucu kita untuk merasakan betapa indahnya padang bunga abadi di puncak yang begitu sulit mereka daki. Beri mereka bukti cinta abadi. Tunjukkan pada orang yang kau sayangi bahwa cintamu jauh lebih abadi dari edelweiss. Bunga abadi ini toh ternyata tak bisa melawan tangan manusia. Dan dia mengawetkan diri tak selamanya, hanya puluhan tahun saja… Akan tiba waktunya untuk layu dan mati layaknya bunga-bunga normal lainnya. Menurutku sih cewek yang sehat nggak akan mau diberi cinta berjatuh tempo. Menunggu waktu dimana akhirnya “cinta edelweiss” pasangannya akan hilang. Jenuh. Bosan mengawetkan diri.
Kalau temen-temen berkesempatan naik gunung dan merasakan betapa indahnya “padang edelweiss” menebarkan aroma khasnya, temen-temen nggak bakal nyesel pernah hidup. Nggak bakal nyesel capek-capek naik gunung. Semua terbayar lunas. Impas.
Nggak cuma itu aja ajaibnya bunga ini. Konon katanya, bunga edelweiss yang telah dipetik nggak akan layu asal tak diberi air. Dari sinilah edelweiss mendapatkan julukannya, bunga abadi. Edelweiss yang telah dipetik secara otomatis mengawetkan dirinya sendiri. Puluhan tahun. Dari sini pulalah mitos nyleneh tentang bunga ini beredar. Karena “keabadiannya” ini, edelweiss biasa dilambangkan sebagai cinta yang abadi. Banyak pendaki—biasanya anak muda—yang turun gunung membawa edelweiss sebagai oleh-oleh. Bukti otentik perjalanannya, yang nantinya dia serahkan pada orang yang dia cintai sebagai wujud cintanya. Dengan itu dia berharap cintanya awet selamanya. Preeettt… edelweiss dan keabadian cinta sama sekali nggak ada hubungannya, jack!
Mitos yang salah kaprah ini jelas membuat para edelweiss susah. Iya kalau yang metik itu satu dua orang yang datang setahun sekali. Mitos itu mendorong begitu banyak manusia, 24 jam setiap harinya, 7 hari setiap minggunya, 54 minggu setiap tahunnya, untuk mendapatkan cipratan “keabadian” edelweiss. Data menunjukkan bahwa spesies cantik ini mulai terancam. Bahkan jelas-jelas dinyatakan punah di beberapa daerah. Parahhh… Ironisnya, hal itu justru banyak dilakukan oleh mereka yang katanya, pecinta alam. Membawa bendera pecinta alam padahal hanya seorang penikmat alam.
Aku bukan meng-under estimate-kan pecinta alam ya.. nggak semuanya gitu kok! Aku percaya—dan berharap—di luar sana masih banyak pecinta alam sejati yang bisa menjadi penikmat alam tanpa mengurangi kecintaannya untuk menjaga alam. Tak meninggalkan apa pun selain jejak, tak membawa apa pun selain gambar.
So, c’mon guys. Kita bareng-bareng menjaga keabadian cinta kita pada alam dengan menjaga bunga abadi ini tetap abadi dengan caranya sendiri. Kita nikmatilah dia tanpa usil mengusiknya. Kita bawa filosofi keabadiannya tanpa harus merenggut keindahan mekarnya. Beri kesempatan anak cucu kita untuk merasakan betapa indahnya padang bunga abadi di puncak yang begitu sulit mereka daki. Beri mereka bukti cinta abadi. Tunjukkan pada orang yang kau sayangi bahwa cintamu jauh lebih abadi dari edelweiss. Bunga abadi ini toh ternyata tak bisa melawan tangan manusia. Dan dia mengawetkan diri tak selamanya, hanya puluhan tahun saja… Akan tiba waktunya untuk layu dan mati layaknya bunga-bunga normal lainnya. Menurutku sih cewek yang sehat nggak akan mau diberi cinta berjatuh tempo. Menunggu waktu dimana akhirnya “cinta edelweiss” pasangannya akan hilang. Jenuh. Bosan mengawetkan diri.
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!