Indonesia merah darahku,
putih tulangku
bersatu dalam semangatmu
Indonesia debar jantungku,
denyut nadiku
berpadu dalam cita-citaku
kebyar-kebyar, pelangi jingga
Kebyar-kebyarnya Coklat diiringi petikan gitar menandai dimulainya acara malam itu, Sabtu (16/08) sekitar pukul 21.00 WIB. Penyanyinya tak terlihat. Beberapa penonton yang baru katam memposisikan diri masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi hingga himbauan MC untuk bernyanyi bersama hampir tak digubris.
Sebuah kain putih panjang terbentang di tengah (sebut saja) panggung. Di balik kain itulah para pembuka acara bersembuyi. Sementara sambil lagu dinyanyikan, satu persatu huruf muncul di kain, "Ngoempoel Bareng" bunyinya. Ya, tajuk acara malam itu memang sederhana. Panggung dan orang-orangnya juga sederhana.
Beratap Langit (foto: Pramudianto) |
Beralas Tanah (foto: Pramudianto) |
Barisan Senthir (foto: Pramudianto) |
Acara yang diketuai oleh Suripto ini adalah gagasan dari pemuda Kurahan Cawangsari. Acara ini digelar untuk menyambut kemerdekaan yang kali ini jatuh masih dalam balutan syawal. Selain sebagai ajang silaturahmi, acara ini juga diharapkan menjadi wujud hidupnya kembali perkumpulan pemuda Kurahan Cawangsari yang sempat mati suri. Malam itu tidak ada anak Topeng Purba, tidak ada onthelis Bendera Hitam, tidak ada mahasiswa, tidak ada seniman, tidak ada pegawai, tidak ada pejabat desa, dan segala macam penggolongan tidak ada. Identitas-identitas itu kami tinggal di rumah untuk bersama-sama duduk di tengah jalan yang sudah disulap menjadi "tribun" penonton. Beralas tikar, beratap langit, menikmati acara di tengah udara malam Borobudur yang dingin. Nyawa dari tema acaranya tersampaikan.
Bagian paling bikin merinding selain udara malam Borobudur yang dingin menurutku adalah ketika semua peserta, tidak peduli tua, muda, atau anak-anak, berdiri untuk bersama-sama menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Tidak ada orkestra, hanya diiringi petikan gitar. Tidak ada wanita tinggi berseragam, hanya seorang bocah yang berdiri di depan sebagai dirigen yang tangannya entah benar-benar digunakan sebagai pengatur tempo oleh orang-orang yang menyanyi atau tidak. Tidak ada ritual ambil suara atau pengepasan nada, hanya hitungan satu dua tiga dari MC sebagai tanda lagu dimulai. Nadanya memang lari kemana-mana, namun lagu Indonesia Raya malam itu terasa khidmat. Malam itu semua orang menyadari dirinya Indonesia. Malam itu semua orang merasakan euforia tujuh-belasan.
Menyanyikan Lagu Indonesia Raya (foto: Pamudianto) |
Acara ini bisa dibilang dari pemuda, oleh pemuda, untuk pemuda. Rangkaian acaranya antara lain: sambutan-sambutan, aksi teatrikal yang membawakan puisi "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia" gubahan Taufiq Ismail, do'a dan pemotongan tumpeng, serta ramah tamah. Tak lupa do'a bersama dilakukan sebagai wujud kepedulian pemuda bagi salah satu anggota kami yang malam hari itu tak bisa ikut meramaikan suasana karena ibunya sedang dirawat di rumah sakit.
Konsumsinya tidak pakai metode "piring terbang" seperti lazimnya halal bi halal. Mungkin dengan maksud memberdayakan pemuda juga, atau agar terlihat beda, disediakan dua gerobak angkringan dan satu gerobak jagung bakar yang bisa diambil prasmanan oleh peserta di acara ramah tamah. Gratis! Meski agak merepotkan bagi pemuda-pemuda yang sudah menginjak tua (lho?), tapi cara ini justru membuat anak-anak antusias berebut makanan. Seru.
Berebut Kucingan (foto: Pramudianto) |
Aksi Teatrikal (foto: Pramudianto) |
Yaaaaa berhubung menurut UU Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 yang menyatakan bahwa batasan usia pemuda Indonesia yakni 15 sampai dengan 30 tahun, acara malam itu mungkin memang tidak bisa memuaskan seluruh segmentasi usia. Bagaimana pun, semoga napas kemerdekaan dan kemenangannya bisa tetap tersampaikan. Bahwa muda itu seringkali bukan soal usia, namun jiwa dan pemikiran.
Semoga pemuda Kurahan Cawangsari semakin solid lagi, tak peduli betapa sulitnya menyatukan usia 15 dan 30 dalam satu wadah yang sama :)
Borobudur, 17 Agustus 2014
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!