Skip to main content

Muka Jelek's on Vacation #2 : Pagi di Sebuah Batu di Atas Awan (1)

Selasa, 29 Juli 2014, bertepatan dengan hari kedua bulan syawal 1435 H. Langit cerah meski dari depan rumahku hampir tidak ada bintang terlihat di langit lantaran bumi kadung telalu gemerlap. Borobudur sedang sibuk malam itu. Seliweran orang-orang dengan semangat lebaran maupun kendaraan wisatawan yang penasaran pada teratai batu terbalik peninggalan Syailendra membuat depan rumahku hampir seperti ibu kota dalam berita. Ramai. Macet.

Seperti di luar sana, di dalam rumahku juga tak kalah ramai setelah disatroni empat orang: Udin, Ayu, Neni, dan Dana. Keempat makhluk ini rencananya akan melaksanakan perjalanan suci bersamaku dan satu orang lagi sebut saja Puput, yang bahkan setelah waktu janjian lewat satu jam pun belum juga ada kabar. Meski dimulai di malam hari, tentu saja ini bukan perjalanan mistis macam mencari setan atau sebagainya. Kami hanya sekumpulan makhluk suwung yang lebaran-lebaran malah dolan.

Jam menunjukkan pukul 8 malam ketika akhirnya seluruh personil lengkap. Dengan bekal seadanya cenderung berlebihan, kami menuju ke Desa Ngargoretno. Desa ini masuk Kecamatan Salaman, berbatasan dengan Desa Giripurno yang masih berada di wilayah Kecamatan Borobudur. Dari rumahku ke desa di salah satu puncak Menoreh itu memakan waktu sekitar 30-45 menit  dengan sepeda motor. Keadaan jalannya jangan ditanya. Hampir tidak ada penerangan di malam hari, berkelok-kelok nggak jelas, sempit, rusak di beberapa tempat, belum lagi katanya rawan longsor. Sangat tidak disarankan naik malam-malam bagi yang tidak berpengalaman.

Kami menginap di sebuah "home stay" gratisan yang tidak lain dan tidak bukan adalah rumahnya mbahku. Haha. Rencananya kami ingin berburu sunrise di Puncak Gayam esok pagi. Demi mencegah kesiangan kalau berangkat dari rumah dini hari, makanya kami memutuskan mengungsi malam ini. Dari rumah mbahku sampai ke Puncak Gayam yang sudah masuk wilayah Jogja ini hanya sekitar 40-60 menit berjalan kaki. Bisa jauh lebih singkat atau jauh lebih pendek tergantung siapa yang jalan dengan kondisi apa mengingat medannya yuhuuuu banget gitu. Haha

Agenda malam itu adalah istirahat dan ramah tamah. No other plan. Menepis dingin malam pegunungan yang menggigit tulang, kami memutuskan untuk membuat mi instan rebus sebelum bobok bobok cantik.

Ah, dasar jiwa anak-anak kosan -_-

Kalau ga salah ingat, dulu waktu fisika guruku pernah bilang kalau semakin tinggi suatu tempat maka waktu yang dibutuhkan untuk mendidihkan air akan semakin panjang. Silakan dikoreksi kalau salah. Siapa tahu dalil itu cuma imajinasiku saja. Tapi toh membuat mi instan di tempat mbahku ini selalu terasa lebih lama.

Lantas entah dengan niat iseng, memang ingin membantu, atau mengisi waktu luang sambil nunggu mi siap dihidangkan, kami membantu embah membungkus tempe. Baiklah. Embah ini memang sehari-harinya membuat tempe kedelai. Home made. Rasanya dijamin enak! #promosi :p

Membungkus Tempe (foto: puput)
Asal tahu saja ya. Meski terlihat sederhana, membungkus tempe pakai daun itu ternyata sama sekali tidak mudah, Saudarasaudara!! Apalagi kalau nakarnya pakai perasaan. Yaaa tergantung mood yang bungkus lagi mau pelit atau baik hati. Haha.

Pernah lihat bentuk tempe yang kayak atap rumah itu? Ternyata walau sudah tahu bagaimana cara melipat daunnya, tetap saja susah menjadikannya limas segi empat sempurna. Malah buntelan pertamaku saja sama embah dibilang mirip lemet (makanan dari ketela yang di dalamnya ada gula jawa dan parutan kelapa) gara-gara bagian atasnya nggak bisa runcing. jadinya kotak gepeng datar. Komentarnya cukup singkat sih, tapi mak jleb-jleb -_-

Namun seperti kata pepatah: kalau ada kemauan pasti ada jalan. Akhirnya kami berhasil membungkus tempe dengan (lumayan) baik dan benar. Yaaahh walaupun begitu dijadikan satu dengan hasil karya embah di dalam tenggok (wadah dari bambu), sekilas saja sudah bisa dibedakan yang mana milik maestro yang mana milik newbie. Sudah tempenya jadi punya sudut yang sama sekali tidak simetris, ukurannya juga labil. Minimal kami sudah berusaha (tampak) membantu lah yaa. Setidaknya sampai mi instan siap dihidangkan. Haha

Baiklah. Intermezzo-nya kebanyakan #kebiasaan

Singkat cerita, pagi pun tiba. Dini hari pukul tiga. Ketika udara malam sedang jumawa-jumawanya, kami sudah saling membangunkan. Dingin tadi malam ternyata belum seberapa. Kalau tidak ingat tujuan utama kami sampai di sana, pagi itu paling enak sembunyi lagi di balik selimut hangat.Tapi takdir berkata lain. Kami harus bersiap-siap. Cuci muka, mengumpulkan nyawa. Dan ternyata udara malam tidak sesongong air bak lho dinginnya! Airnya seperti es yang dicairkan, Coooy. Kayaknya kalau dicelupin teh sama gula, udah bisa dijual gitu aja sebungkus dua ribu lima ratus. Es teh langsung dari mata air pegunungaaan #opotoh

Belum subuh ketika kami ke luar. Berusaha tidak berisik meski hasilnya tetap saja membangunkan seisi rumah. Cahaya di gunung ini bagus banget untuk menikmati bintang. Aku jadi ingat kata seseorang: kalau di langit banyak bintang, pasti udaranya dingin. Entah teori itu dia dapat dari mana, pagi itu benar adanya.

Menembus Pagi dengan Gembira (foto: Dana)
Seperti yang sudah aku katakan di atas tadi bahwa estimasi waktu jalan kaki dari tempat embah sampai Puncak Gayam itu bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, pagi itu kami menghabiskan hampir satu setengah jam perjalanan. Gara-garanya tidak lain dan tidak bukan adalah karena darah rendahku kambuh di saat yang tidak tepat. Sorry ya, Gaes, untuk tragedi cupu itu :p

But then, segala susah payah itu terbayar lunas sesampainya di atas. Meski kami pada akhirnya tidak sampai di Puncak Gayam karena satu dan lain alasan, kami menemukan spot yang tidak kalah menarik di suatu tempat yang penduduk sana biasa menyebutnya sebagai Ketepeng atau Tunggangan. Puput dan Dana dengan jiwa petualangnya berhasil menemukan seonggok batu besar di pinggiran alas seseorang. Kami sebenarnya juga tidak tahu persis nama tempat itu. Maklum lah ya petualang amatir. Nemunya aja kebetulan. Haha.

Pukul lima waktu itu. Adzan subuh sudah terdengar sejak kami masih di perjalanan tadi. Tapi berhubung kami tidak berhasil menemukan keberadaan masjid yang katanya ada di kiri jalan, maka kami melakukan shalat darurat yang menurutku menggetarkan banget. Setelah bertayamum karena tidak ada air, kami berenam duduk di atas batu besar, membentuk shaf untuk berjamaah membelakangi langit yang mulai merah.

Manis banget. Maaaaanis banget.

Aku kayak disadarkan kalau bahkan petualang pun harus ingat untuk pulang. Untuk kembali pada Tuhan.

Matahari Terbit (foto: Muka Jelek)
Here we are. Menikmati matahari terbit dari salah satu Puncak Pegunungan Menoreh. Menyongsong satu lagi hari baru dengan haru. Menjadi saksi ketika langit dari hitam menjadi merah sebelum biru. Sementara di bawah kami, uap air yang menguar dari permukaan bumi hari-hari sebelumnya membentuk lautan kapas menutupi Tanah Sambhara. Kami menikmati pagi dari sebuah batu di atas awan. Merasa bebas. Merasa lepas.

Dingin tadi malam jadi tidak ada artinya. Darah Rendah jadi tidak ada rasanya. Tidak sampai Puncak Gayam jadi termaafkan. Pagi itu semua lelah seperti sudah musnah. Semua wajah berubah ceria. Berubah takjub. Berubah bahagia. Tapi tetep narsis. Tapi tetep ndeso dengan kelakuan-kelakuan ganjil nggak jelas. Tapi tetep banyak makan. Tapi tetep aja aneh walau sedang di atas batu di tengah alas. Haha

Yang jelas, kami tidak buang sampah sembarangan sama sekali. Kami bawa kembali plastik-plastik bekas makanan yang selesai kami kuras isinya. Kami berhak lah yaaa merasa keren :D

Oh iya, di Tunggangan atau Ketepeng inilah patok batas Jawa Tengah dan Yogyakarta berada. Tersembunyi di tengah alas seseorang yang berarti dia punya tanah seluas dua provinsi. Haha.


Batas Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah (foto: Muka Jelek)
Aaaahhhh. Pagi itu indah sekali. Kami turun dengan berbahagia sambil menyanyi dan menari #apacoba

Tapi Muka Jelek's on Vacation #2 belum berhenti sampai di sini. Saatnya pulang dan mandi untuk melanjutkan petualangan ke destinasi lain lagi. Perjalanan kami masih panjang setelah pagi yang menakjubkan di sebuah batu di atas awan ini...

Muka Jelek Minus Puput

Dien Ihsani
Late post dalam rangka mengobrak-abrik album foto

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih