Skip to main content

Muka Jelek's on Vacation #2: Curug-Entah-Apa-Namanya (2)

Setelah prosesi istirahat, mandi, dan makan katam, kami melanjutkan perjalanan berikutnya. Masih sebelas-duabelas dengan perjalanan sebelumnya, destinasi kami kali ini juga area abu-abu. Kami sebenarnya tidak benar-benar tahu wujud dan letak tempat yang akan kami tuju. Baik itu wujudnya, namanya, maupun akses menuju ke sana. Haha

Kami hanya tahu ada sebuah air terjun yang masih virgin di Desa Miriombo. Kali ini lebih absurd sih lantaran itu desa letaknya ada di mana saja sebenarnya kami juga tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Bahkan Mbah Gugel hanya memberikan informasi bahwa Miriombo itu ada di Jawa Tengah. Udah gitu aja. Namun dari letaknya sih sepertinya masih masuk Kecamatan Borobudur, sekitar sepuluhan menit dari Balai Desa Giripurno. Boleh dikoreksi kok kalau salah. Hahaha :p

Kami harus salah jalan sekitar empat kali lah sebelum menemukan sebuah rumah yang penghuninya seolah langsung tahu apa yang sedang kami cari. Seorang mas-mas yang kami tidak sempat tanyakan namanya tiba-tiba memberikan instruksi untuk memarkirkan motor di ujung halaman rumahnya tanpa bertanya pun ditanya. Lengkap beserta peringatan untuk mengunci kendaraan dengan baik dan benar.

Entah kami memang bukan yang pertama atau mas-mas itu punya bakat baca pikiran, sebelum kami katam menanyakan jalan ke curug beliaunya sudah menyahut, "Iya, turun ke sana," sambil menunjuk sebuah jalan setapak melewati pagar-hidup rumahnya.

Jalan menuju curug-entah-apa-namanya ini boleh dibilang tidak lazim, terlebih bagi makhluk-makhluk yang terbiasa melihat aspal macam kami. Jalan setapak, cadas, curam, melewati alas-alas yang sepi. Nggak kebayang betapa tangguhnya pemilik alas yang pasti rajin datang ke sini. Kece abis!!


Turun. (foto: Dana)

Bersusah-payah (foto: Dien)

Jalannya sama sekali tidak landai seperti yang biasanya dibuat di pegununangan agar tidak terlalu melelahkan. Landai sih. hampir delapan puluh derajat (menurut analisa sotoy-nya Dana) tapi kelandaiannya -_-

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mulai terdengar gemericik air di kejauhan. Gemericik. Anehnya bukan gemuruh layaknya di dekat air terjun. Kami terus mengikuti jalan yang sepertinya justru membuat suara air terdengar semakin jauh. Berhubung tak ada jalan lain, ya sudah lah.

Dan akhirnya sampailah kami di tepi sungai yang lumayan lebar dengan bebatuan yang lumayan besar-besar dengan air yang tenang nyaris tidak mengalir karena hanya sedikit. Didn't know what to say, kami akhirnya memutuskan untuk leyeh-leyeh dulu di sana sambil menghibur diri dengan sebungkus kacang dan air sungai yang bening. Berusaha tegar padahal sebenarnya sedih. Haha

Berusaha Tegar (foto: Dana)

Berhubung sudah kadung sampai sejauh itu, kami memutuskan melanjutkan perjalanan untuk paling tidak menemukan di mana letak air terjun beserta wujudnya. Kami susuri sungai melawan arus sambil berharap tidak ada banjir mendadak seperti di film-film. Daaaaan inilah yang kami temukan pada akhirnya. Tebing batu menjulang tinggi dengan sedikit air mengalir turun.

Curug-Entah-Apa-Namanya (foto: Muka Jelek)


Satu yang kami pelajari: persiapan sebelum berpetualan, seabsurd apapun petualangan itu, memang perlu. Kami lupa kalau bulan itu sudah masuk musim kemarau. Pantas saja kalau curugnya kering -_-

Haha. But look, dengan tebing-tebing setinggi itu, kayaknya kalau ada airnya itu curug kece banget deh. Iya, jadi di pangkal sungai itu ada dua sampai tiga sisi tebing batu tinggi yang kala itu semuanya kering. Boleh lah ya kapan-kapan menyempatkan waktu ke sini lagi kalau pas musim ada air. Mungkin lebih dahsyat dari Niagara sebenarnya curug ini. Bisa jadi. Ini lebay sih, tapi...who knows?

Kemudian kami pulang dengan kecewa. Benar. Kami kecewa. Tapi lihat sisi baiknya. Kapan lagi sih, Coy, kita sehat macam ini. Naik-turun gunung dua kali sehari gini? Hahaha. Sampai di atas, tempat di mana kendaraan kami parkirkan, kami pun tepar di bawah pohon rambutan.

Bahkan meski tepar, tetap saja kelakuan minusnya tidak sembuh. Lihat apa yang Dana dan Puput lakukan di bawah pohon rambutan!

Sumuk (foto: Dien)
Setengah-telanjang-dada, bergantian mengipasi dengan tampah curian. Yassalaaaaaam. Ngiri deh sama kaum adam kalau pas lagi kepanasan begini #eh

Di bawah pohon rambutan ini juga Udin dan Ayu yang katanya mau pulang ke Purwodadi motoran memisahkan diri dari rombongan. Tanpa bermaksud tidak setia kawan, kami memutuskan untuk show must go on.

Berikutnya, masih tentang gunung...

Namanya juga susur menoreh kan ya.

Dien Ihsani
Masih dalam rangka ngobrak-abrik album foto

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih