Setelah prosesi istirahat, mandi, dan makan katam, kami melanjutkan perjalanan berikutnya. Masih sebelas-duabelas dengan perjalanan sebelumnya, destinasi kami kali ini juga area abu-abu. Kami sebenarnya tidak benar-benar tahu wujud dan letak tempat yang akan kami tuju. Baik itu wujudnya, namanya, maupun akses menuju ke sana. Haha
Kami hanya tahu ada sebuah air terjun yang masih virgin di Desa Miriombo. Kali ini lebih absurd sih lantaran itu desa letaknya ada di mana saja sebenarnya kami juga tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Bahkan Mbah Gugel hanya memberikan informasi bahwa Miriombo itu ada di Jawa Tengah. Udah gitu aja. Namun dari letaknya sih sepertinya masih masuk Kecamatan Borobudur, sekitar sepuluhan menit dari Balai Desa Giripurno. Boleh dikoreksi kok kalau salah. Hahaha :p
Kami harus salah jalan sekitar empat kali lah sebelum menemukan sebuah rumah yang penghuninya seolah langsung tahu apa yang sedang kami cari. Seorang mas-mas yang kami tidak sempat tanyakan namanya tiba-tiba memberikan instruksi untuk memarkirkan motor di ujung halaman rumahnya tanpa bertanya pun ditanya. Lengkap beserta peringatan untuk mengunci kendaraan dengan baik dan benar.
Entah kami memang bukan yang pertama atau mas-mas itu punya bakat baca pikiran, sebelum kami katam menanyakan jalan ke curug beliaunya sudah menyahut, "Iya, turun ke sana," sambil menunjuk sebuah jalan setapak melewati pagar-hidup rumahnya.
Jalan menuju curug-entah-apa-namanya ini boleh dibilang tidak lazim, terlebih bagi makhluk-makhluk yang terbiasa melihat aspal macam kami. Jalan setapak, cadas, curam, melewati alas-alas yang sepi. Nggak kebayang betapa tangguhnya pemilik alas yang pasti rajin datang ke sini. Kece abis!!
Jalannya sama sekali tidak landai seperti yang biasanya dibuat di pegununangan agar tidak terlalu melelahkan. Landai sih. hampir delapan puluh derajat (menurut analisa sotoy-nya Dana) tapi kelandaiannya -_-
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mulai terdengar gemericik air di kejauhan. Gemericik. Anehnya bukan gemuruh layaknya di dekat air terjun. Kami terus mengikuti jalan yang sepertinya justru membuat suara air terdengar semakin jauh. Berhubung tak ada jalan lain, ya sudah lah.
Dan akhirnya sampailah kami di tepi sungai yang lumayan lebar dengan bebatuan yang lumayan besar-besar dengan air yang tenang nyaris tidak mengalir karena hanya sedikit. Didn't know what to say, kami akhirnya memutuskan untuk leyeh-leyeh dulu di sana sambil menghibur diri dengan sebungkus kacang dan air sungai yang bening. Berusaha tegar padahal sebenarnya sedih. Haha
Berhubung sudah kadung sampai sejauh itu, kami memutuskan melanjutkan perjalanan untuk paling tidak menemukan di mana letak air terjun beserta wujudnya. Kami susuri sungai melawan arus sambil berharap tidak ada banjir mendadak seperti di film-film. Daaaaan inilah yang kami temukan pada akhirnya. Tebing batu menjulang tinggi dengan sedikit air mengalir turun.
Satu yang kami pelajari: persiapan sebelum berpetualan, seabsurd apapun petualangan itu, memang perlu. Kami lupa kalau bulan itu sudah masuk musim kemarau. Pantas saja kalau curugnya kering -_-
Haha. But look, dengan tebing-tebing setinggi itu, kayaknya kalau ada airnya itu curug kece banget deh. Iya, jadi di pangkal sungai itu ada dua sampai tiga sisi tebing batu tinggi yang kala itu semuanya kering. Boleh lah ya kapan-kapan menyempatkan waktu ke sini lagi kalau pas musim ada air. Mungkin lebih dahsyat dari Niagara sebenarnya curug ini. Bisa jadi. Ini lebay sih, tapi...who knows?
Kemudian kami pulang dengan kecewa. Benar. Kami kecewa. Tapi lihat sisi baiknya. Kapan lagi sih, Coy, kita sehat macam ini. Naik-turun gunung dua kali sehari gini? Hahaha. Sampai di atas, tempat di mana kendaraan kami parkirkan, kami pun tepar di bawah pohon rambutan.
Bahkan meski tepar, tetap saja kelakuan minusnya tidak sembuh. Lihat apa yang Dana dan Puput lakukan di bawah pohon rambutan!
Setengah-telanjang-dada, bergantian mengipasi dengan tampah curian. Yassalaaaaaam. Ngiri deh sama kaum adam kalau pas lagi kepanasan begini #eh
Di bawah pohon rambutan ini juga Udin dan Ayu yang katanya mau pulang ke Purwodadi motoran memisahkan diri dari rombongan. Tanpa bermaksud tidak setia kawan, kami memutuskan untuk show must go on.
Berikutnya, masih tentang gunung...
Namanya juga susur menoreh kan ya.
Kami hanya tahu ada sebuah air terjun yang masih virgin di Desa Miriombo. Kali ini lebih absurd sih lantaran itu desa letaknya ada di mana saja sebenarnya kami juga tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Bahkan Mbah Gugel hanya memberikan informasi bahwa Miriombo itu ada di Jawa Tengah. Udah gitu aja. Namun dari letaknya sih sepertinya masih masuk Kecamatan Borobudur, sekitar sepuluhan menit dari Balai Desa Giripurno. Boleh dikoreksi kok kalau salah. Hahaha :p
Kami harus salah jalan sekitar empat kali lah sebelum menemukan sebuah rumah yang penghuninya seolah langsung tahu apa yang sedang kami cari. Seorang mas-mas yang kami tidak sempat tanyakan namanya tiba-tiba memberikan instruksi untuk memarkirkan motor di ujung halaman rumahnya tanpa bertanya pun ditanya. Lengkap beserta peringatan untuk mengunci kendaraan dengan baik dan benar.
Entah kami memang bukan yang pertama atau mas-mas itu punya bakat baca pikiran, sebelum kami katam menanyakan jalan ke curug beliaunya sudah menyahut, "Iya, turun ke sana," sambil menunjuk sebuah jalan setapak melewati pagar-hidup rumahnya.
Jalan menuju curug-entah-apa-namanya ini boleh dibilang tidak lazim, terlebih bagi makhluk-makhluk yang terbiasa melihat aspal macam kami. Jalan setapak, cadas, curam, melewati alas-alas yang sepi. Nggak kebayang betapa tangguhnya pemilik alas yang pasti rajin datang ke sini. Kece abis!!
Turun. (foto: Dana) |
Bersusah-payah (foto: Dien) |
Jalannya sama sekali tidak landai seperti yang biasanya dibuat di pegununangan agar tidak terlalu melelahkan. Landai sih. hampir delapan puluh derajat (menurut analisa sotoy-nya Dana) tapi kelandaiannya -_-
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mulai terdengar gemericik air di kejauhan. Gemericik. Anehnya bukan gemuruh layaknya di dekat air terjun. Kami terus mengikuti jalan yang sepertinya justru membuat suara air terdengar semakin jauh. Berhubung tak ada jalan lain, ya sudah lah.
Dan akhirnya sampailah kami di tepi sungai yang lumayan lebar dengan bebatuan yang lumayan besar-besar dengan air yang tenang nyaris tidak mengalir karena hanya sedikit. Didn't know what to say, kami akhirnya memutuskan untuk leyeh-leyeh dulu di sana sambil menghibur diri dengan sebungkus kacang dan air sungai yang bening. Berusaha tegar padahal sebenarnya sedih. Haha
Berusaha Tegar (foto: Dana) |
Berhubung sudah kadung sampai sejauh itu, kami memutuskan melanjutkan perjalanan untuk paling tidak menemukan di mana letak air terjun beserta wujudnya. Kami susuri sungai melawan arus sambil berharap tidak ada banjir mendadak seperti di film-film. Daaaaan inilah yang kami temukan pada akhirnya. Tebing batu menjulang tinggi dengan sedikit air mengalir turun.
Curug-Entah-Apa-Namanya (foto: Muka Jelek) |
Satu yang kami pelajari: persiapan sebelum berpetualan, seabsurd apapun petualangan itu, memang perlu. Kami lupa kalau bulan itu sudah masuk musim kemarau. Pantas saja kalau curugnya kering -_-
Haha. But look, dengan tebing-tebing setinggi itu, kayaknya kalau ada airnya itu curug kece banget deh. Iya, jadi di pangkal sungai itu ada dua sampai tiga sisi tebing batu tinggi yang kala itu semuanya kering. Boleh lah ya kapan-kapan menyempatkan waktu ke sini lagi kalau pas musim ada air. Mungkin lebih dahsyat dari Niagara sebenarnya curug ini. Bisa jadi. Ini lebay sih, tapi...who knows?
Kemudian kami pulang dengan kecewa. Benar. Kami kecewa. Tapi lihat sisi baiknya. Kapan lagi sih, Coy, kita sehat macam ini. Naik-turun gunung dua kali sehari gini? Hahaha. Sampai di atas, tempat di mana kendaraan kami parkirkan, kami pun tepar di bawah pohon rambutan.
Bahkan meski tepar, tetap saja kelakuan minusnya tidak sembuh. Lihat apa yang Dana dan Puput lakukan di bawah pohon rambutan!
Sumuk (foto: Dien) |
Di bawah pohon rambutan ini juga Udin dan Ayu yang katanya mau pulang ke Purwodadi motoran memisahkan diri dari rombongan. Tanpa bermaksud tidak setia kawan, kami memutuskan untuk show must go on.
Berikutnya, masih tentang gunung...
Namanya juga susur menoreh kan ya.
Dien Ihsani
Masih dalam rangka ngobrak-abrik album foto
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!