Skip to main content

Muka Jelek's on Vacation #2: Lagi-Lagi, Puncak di Perbatasan Provinsi (3 end)

Resmi berpisah arah. Personil yang tadinya ada enam menjadi tinggal empat. Berempat kami turun gunung dulu, untuk naik lagi. Kali ini kami akan menempuh "jalan normal", menembus kemacetan jalur Borobudur-Jogja khas lebaran. Entah mana yang lebih parah: jalan gunung yang kecil berkelok-kelok atau jalanan kota di tengah kemacetan. Keduanya sama-sama aksesnya susah. Di bawah sini lebih bising dan lebih sumuk tapi.

Next mission: Puncak Suroloyo.

Suroloyo berada di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Yogyakarta. Tempat ini merupakan puncak tertinggi dari rangkaian pegunungan menoreh. Kata Wikipedia, ketinggian Puncak Suroloyo sekitar 2000 meter di atas permukaan air laut. Ada tiga pendopo di sini, yaitu: Pendopo Suroloyo, Pendopo Sariloyo, dan Pendopo Kaendran.

Suroloyo biasanya ramai banget kalau bertepatan dengan malam satu suro. Ada semacam ritual di sini yang aku sendiri belum pernah melihat secara langsung. Setahuku dari cerita-cerita yang beredar, malam satu suro merupakan momentum yang tepat untuk menyucikan gaman (senjata) di Suroloyo. Entah dengan alasan apa. Tapi mungkin itu ada hubungannya dengan legenda dari Puncak Suroloyo.

Dari beberapa review yang aku baca, cerita Suroloyo bermula dari seorang pujangga bernama Ngabehi Yasadipura dari Keraton Surakarta. Dalam kitabnya yang berjudul Cabolek (aku sendiri juga baru dengar sih), dia mengisahkan bahwa Raden Mas Rangsang, seorang Putra Mahkota di Kerajaan Mataram Islam, pernah menerima wangsit untuk berjalan kaki dari keraton ke arah barat agar bisa menguasai tanah Jawa. Setelah menempuh perjalanan sejauh 40 kilometer, di wilayah Pegunungan Menoreh, beliau pingsan. Ketika Pingsan ini Raden Mas Rangsang menerima wangsit yang kedua untuk melakukan tapa kesatria di tempat yang sekarang disebut Puncak Suroloyo. Raden Mas Rangsang ini setelah besar bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma (berbagai sumber). Mungkin itulah kenapa pada akhirnya Puncak Suroloyo menjadi sakral untuk melakukan ritual. #sotoy :p

Mmmmm... soal sejarah ini, mungkin sebaiknya kita bersama-sama menggali informasi lebih dalam lagi. Hehe

Sebenarnya ada jalan yang menghubungkan Miriombo langsung ke Suroloyo tanpa harus turun gunung dulu. Tapiii berhubung katanya jalan itu lebih ekstrim parah ketimbang jalan menuju air terjun, kami memutuskan untuk melewati jalan yang biasa-biasa saja. Haha. Cupu sih.

Kami memutar lewat Kulon Progo karena menurut penuturan temanku, jalan ke Suroloyo yang lewat Magelang tidak bagus. Motornya tidak bisa naik sampai puncak. Berhubung kami mulai lelah menjadi anak gunung amatiran seharian ini, kami memutuskan memilih akses yang mudah.

Naik ke Suroloyo membuatku berpikir tentang betapa berbedanya pengelolaan tempat wisata di wilayah Kabupaten Magelang dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Harus aku bilang bahwa provinsiku masih kalah jauh. Meski Suroloyo ini ada di perbatasan, namun toh pada akhirnya orang-orang mengenalnya sebagai bagian dari wilayah Kulon Progo, Yogyakarta. Entah bagaimana sebenarnya secara administratif, namun kalau dari aksesibilitas sampai perawatan tempatnya sih kelihatan banget kenapa sampai dikira begitu.

Namanya di ketinggian yang notabene jarang ada tanah datar, siang itu kami mendapati kenyataan bahwa dari parkiran menuju pendopo teratas masih harus naik tangga yang dari bawah kelihatan lumayan panjang. Tak naik gunung naik tangga pun jadi. Astagaaaaaa.

Kebetulan hari itu sedang ada acara dari anak-anak KKN salah satu universitas negeri. Di dekat parkiran ada pertunjukan Buto untuk menghibur wisatawan. Sebelum meremuk-redamkan badan lagi, kami nonton dulu. Menunggu kalau-kalau ada yang ndadi (kerasukan). Ternyata tidak ada. Mungkin setan tidak mood keluar siang-siang. Kami juga jadi nggak mood lihat Buto tanpa setan. Haha

Buto di Parkiran (foto: Puput)


Setelah shalat dzuhur kayak pengungsi di depan bangunan-bangunan macam cottage terbengkalai, kami pun naik dengan berusaha tetap semangat. Oh iya, di Suroloyo memang tidak ada mushola. Jadi kalau mau ke sana, disarankan membawa alat sholat sendiri, kalau perlu lengkap dengan sajadah sebagai alasnya.


Mendadak Mushola (foto: Puput)

Menepis lelah, kami berempat bertaruh tentang banyak anak tangga dari tempat kami sholat sampai puncak. Masing-masing memberikan tebakan, mulai dari 250 sampai 350. Dengan sesekali setengah menari mengikuti irama gamelan Buto yang sayup-sayup masih terdengar, kami naik sambil menghitung tangga. Koplak. Padahal pakai narinya cuma sesekali, tapi orang-orang yang berapapasan sudah memandangan aja dengan tatapan aneh. Haha. Nggak papa. Nggak ada yang kenal.

Naik Tangga (foto: Muka Jelek)


Jumlah tangga dari tempat kami sholat sekitar 250-an, yang berarti tebakan Puput paling mendekati. Namun namanya konco bosok, gara-gara ada 3 manusia kalah melawan 1 manusia menang, Puput malah yang tiba-tiba jadi yang kena jatah ntraktir mi ayam pulang dari Suroloyo. Haha. Demokrasi membabi buta ini namanya :3

Ternyata ketika aku mencari beberapa review tentang Suroloyo sebelum membuat tulisan ini, ada sebuah artikel yang menyebutkan kalau tangga naik sampai ke Puncak Suroloyo berjumlah 290. Sepertinya memang kebiasaanku mencari review setelah bepergian harus diubah, Harusnya aku kan cari informasinya sebelum ke TKP, biar nanti kalau ada taruhan lagi bisa menang #gagalfokus


Dari atas sana (foto: Muka Jelek)

Dari atas kami bisa melihat Borobudur, Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan Barisan Perbukitan Menoreh di kejauhan. Indah. Sayang kami tidak punya kamera yang madani untuk bisa merekam semua itu dalam gambar yang bisa diperlihatkan. Jadi kalau mau tahu bagaimana sensasinya, mending datang langsung aja. Haha.

Tanah di bagian paling puncak tak seberapa luas sehingga wisatawan yang dengan asas tau diri harus bergantian mengambil gambar. Matahari padahal sedang terik, tapi udara gunung yang dingin membuatnya tidak terasa. Tidak oleh kami, tidak juga oleh orang-orang yang waktu itu juga sedang ada di sana.


Matahari di Atas Sana

Namun seperti kebanyakan tempat umum di Indonesia, Puncak Suroloyo ini juga tidak luput dari tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Selain masalah khas kita, sampah, "prasasti-prasasti" nggak jelas juga banyak ditemukan di sini. Berhubung Suroloyo adalah satu-satunya destinasi "tidak perawan" kami hari ini, bedanya jadi kerasa banget. Mulai dari tulisan-tulisan kecil di sepanjang tangga, sampai vandalisme memalukan besar-besaran di pendopo. Padahal sudah ada papan peringatannya. Ternyata nggak mempan. Bahkan seperti nantang, vandalis itu malah bikin coretan di dekat papan peringatan, dengan ukuran font yang lebih besar! Nggilani! Memalukan!


Peringatan yang Tak Dianggap (foto: Dien)

Sedih banget kalau lihat itu semua. Terlebih kita ini bangsa yang membanggakan keindahannya. Katanya banyak hal indah di Indonesia ini yang kalau dikelola dengan baik, bisa menjadi destinasi wisata yang menjanjikan devisa. Tapi sayang sadar wisata itu belum tertanam di kepala setiap orang. Sayang kita masih saja menjadi rakyat manja yang menyerahkan semua beban ke pundak pemerintah. Sayang kita masih saja tidak merasa punya tanggung jawab yang sama untuk membantu Indonesia bangkit menjadi lebih baik.

Masiiiihh saja orang-orang kita sendiri merusak kekayaan kita sendiri. Entah bagaimana cara mengatasinya. Udah kayak jamur di sela-sela jari kaki yang bikin gatel, ngganggu, tapi susah disembuhin. Nggilani parah! Kadang lihat tulisan macam "Fulan was here" atau "Fulan love Fulanah forever" atau semacamnya itu tuh sering bikin aku yang mikir, ndak kui penting banget nganti sak ndonya kudu ngerti? Terus kalau kamu Fulan dan kamu pernah ke sini terus aku kudu piye? Terus kalau kamu Fulan dan kamu cinta Fulanah forever terus kenapa? Iya kalau langgeng beneran. Kalau akhirnya bubaran, kan sia-sia itu tembok dinistai dengan janji palsu begitu -_-

Ahhh... sudahlah. Mungkin itu PR kita bersama. Memulai dari diri sendiri untuk tidak ikut merusak lah, paling tidak, kalau belum bisa membantu memperbaiki. Biar makin banyak tempat asyik untuk dikunjungi. Biar nggak malu kalau ada wisatawan dari daerah lain, apa lagi dari luar negeri. Biar kita bisa jadi bangsa yang dikenal karena spot-spot indahnya saja, bukan budaya pengrusaknya.

Dan rangkaian perjalanan ini berakhir dengan semangkuk mi ayam dan segelas es jeruk yang disponsori oleh Puput atas keberhasilannya menang taruhan. Haha. Susur Menoreh ini melelahkan. Meski begitu, tetaplah berjalan, Kawan. Tetaplah mengikuti kemana hati membawa kaki melangkah, meski ke depan mungkin waktu senggang kita tak akan lagi sebanyak ini.

Pose absurd (foto: Muka Jelek)

 However, stay young, Muka Jelek! Tetaplah koplak! Dengan begitu, kita akan tetap muda meski nanti sudah tua-tua. Haha.

Dien Ihsani

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih