Kehilangan buku harian membuatku merasa goblok. Kemana perginya benda keramat itu? Apa saja yang aku lakukan selama ini sampai bisa-bisanya kehilangan benda sepenting itu? Slederku sepertinya kelewatan batas kali ini -_-
Seperti rahasia sebuah perusahaan, buku harian seharusnya merupakan benda yang wajib dijaga ketat. Mana boleh sampai hilang tanpa jejak? #merasabego
Intensitas menulisku belakangan ini memang berkurang drastis. Karena skripsi? Entah. Sepertinya lebih ke karena malas ketimbang salah siapa-siapa. Aku sendiri bingung, kemana keresahan-keresahan itu kini aku salurkan? Mereka seperti kubiarkan lenyap tak terekam. Padahal dulu, hampir setiap hari, selalu saja ada hal yang bisa diceritakan. Mulai dari yang wow sampai yang sama sekali nggak penting untuk ditulis.
Sekarang?
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kadang rasanya pengen banget cerita tapi males nulisnya. Kadang pengen banget nulis tapi nggak tahu mau cerita apa. Aku sepertinya mulai terlena dengan kebisingan dunia, sampai lupa "me time" bukan cuma jalan-jalan, hang out, makan, atau belanja.
Aku memang sempat takut menulis di buku harian. Gara-gara aku mendadak ingat kalau suatu hari nanti hidupku bakal bukan cuma jadi milikku. Lalu ketika hal itu terjadi, apa yang akan kulakukan pada "prasasti-prasasti" penuh aib itu?
Apa akan mudah bagi orang lain untuk menerima semua masa laluku? Untuk menganggap semua nama yang pernah kutulis dalam buku harian sebagai hanya bagian dari hari yang pernah kulewati?
Apa akan mudah baginya?
Akan selalu ada hal yang sebaiknya tidak diceritakan. Lalu untuk apa harus kutulis buku harian sekarang kalau nanti toh harus dibumihanguskan? Lalu blog ini?
Lalu harus apa aku? Tak meninggalkan jejak pada apa pun biar bisa kuberikan hidupku tanpa bukti otentik dari masa lalu?
Entah aku memang mulai jarang menulis buku harian karena ide itu atau bukan. Namun pikiran itu membuat buku harian tak tampak seperti ruang ekspresi bebas lagi. Buku harian tak independent lagi. Menulis buku harian bukan soal kemerdekaan opini lagi. Menulis sambil mikir nanti kalau dibaca orang gimana itu sama sekali nggak bebas. Menulis sambil mikir kalau nanti benar-benar kejadian gimana itu nggak asik.
Kalau benar-benar kejadian?
Iya. Aku kadang tak berani menuangkan ketakutan-ketakutanku pada buku harian. Aku khawatir kalau ketakutan itu justru benar-benar terjadi. Lalu buat apa aku punya buku harian kalau darinya masih saja ada yang aku merasa perlu dirahasiakan?
Ahhh... apalah postingan ini.
Aku sebenarnya hanya ingin tahu dimana buku harianku sekarang berada? Sedang apa dia? Aku.. sepertinya.. membutuhkannya kali ini. Aku membutuhkannya kali ini. Aku membutuhkannya kali ini.
Seperti rahasia sebuah perusahaan, buku harian seharusnya merupakan benda yang wajib dijaga ketat. Mana boleh sampai hilang tanpa jejak? #merasabego
Intensitas menulisku belakangan ini memang berkurang drastis. Karena skripsi? Entah. Sepertinya lebih ke karena malas ketimbang salah siapa-siapa. Aku sendiri bingung, kemana keresahan-keresahan itu kini aku salurkan? Mereka seperti kubiarkan lenyap tak terekam. Padahal dulu, hampir setiap hari, selalu saja ada hal yang bisa diceritakan. Mulai dari yang wow sampai yang sama sekali nggak penting untuk ditulis.
Sekarang?
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Kadang rasanya pengen banget cerita tapi males nulisnya. Kadang pengen banget nulis tapi nggak tahu mau cerita apa. Aku sepertinya mulai terlena dengan kebisingan dunia, sampai lupa "me time" bukan cuma jalan-jalan, hang out, makan, atau belanja.
Aku memang sempat takut menulis di buku harian. Gara-gara aku mendadak ingat kalau suatu hari nanti hidupku bakal bukan cuma jadi milikku. Lalu ketika hal itu terjadi, apa yang akan kulakukan pada "prasasti-prasasti" penuh aib itu?
Apa akan mudah bagi orang lain untuk menerima semua masa laluku? Untuk menganggap semua nama yang pernah kutulis dalam buku harian sebagai hanya bagian dari hari yang pernah kulewati?
Apa akan mudah baginya?
Akan selalu ada hal yang sebaiknya tidak diceritakan. Lalu untuk apa harus kutulis buku harian sekarang kalau nanti toh harus dibumihanguskan? Lalu blog ini?
Lalu harus apa aku? Tak meninggalkan jejak pada apa pun biar bisa kuberikan hidupku tanpa bukti otentik dari masa lalu?
Entah aku memang mulai jarang menulis buku harian karena ide itu atau bukan. Namun pikiran itu membuat buku harian tak tampak seperti ruang ekspresi bebas lagi. Buku harian tak independent lagi. Menulis buku harian bukan soal kemerdekaan opini lagi. Menulis sambil mikir nanti kalau dibaca orang gimana itu sama sekali nggak bebas. Menulis sambil mikir kalau nanti benar-benar kejadian gimana itu nggak asik.
Kalau benar-benar kejadian?
Iya. Aku kadang tak berani menuangkan ketakutan-ketakutanku pada buku harian. Aku khawatir kalau ketakutan itu justru benar-benar terjadi. Lalu buat apa aku punya buku harian kalau darinya masih saja ada yang aku merasa perlu dirahasiakan?
Ahhh... apalah postingan ini.
Aku sebenarnya hanya ingin tahu dimana buku harianku sekarang berada? Sedang apa dia? Aku.. sepertinya.. membutuhkannya kali ini. Aku membutuhkannya kali ini. Aku membutuhkannya kali ini.
Banjarsari, 12 Agustus 2014
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!