Aku selalu kembali pada hitungan itu tiap bulan ke delapan menginjak hari ke tujuh belas sebagaimana putra-putri bangsa tak henti memperingati kemerdekaan ibundanya. Hari ini, 69 tahun yang lalu, terjadi dua hal istimewa yang entah. Yang ceritanya kutahu hanya dari sejarah.
Proklamasi yang menandai mendekanya ibu pertiwi dibacakan Soekarno dengan penuh bangga pada jam 10 pagi. Detik-detik proklamasi, begitulah kami menyebutnya kini. Pagi itu, Jalan Pegangsaan Timur 56 dipenuhi haru. Semua orang menjelma ibu yang menangis mendengar tangis bayinya untuk yang pertama. Semua orang. Sepertinya begitu. Hari itu tak pernah lekang dari ingatan siapun bahkan setelah 69 tahun berlalu. Selalu ada tawa, selalu ada semangat, selalu ada semarak, selalu ada nasionalisme yang dihembuskan lebih istimewa dari biasanya untuk memperingati hari bahagia itu. Dari aku keci dulu sampai sekarang, Agustus menjadi salah satu bulan yang dinanti-nanti. Agustus menjadi salah satu bulan yang sayang dilewatkan tanpa sesuatu yang berarti.
Itu salah satu alasan kenapa aku menyukai Agustus.
Alasan lainnya tak lebih jelas dari alasan yang pertama. Hal istimewa yang kedua tak kutahu sejelas yang pertama. Mungkin lantaran tak ada yang merasa cukup penting untuk mencatatkannya pada sejarah. Hari ini, 69 tahun yang lalu di jam yang entah, lahir seorang pria yang sampai detik ini adalah yang terbaik yang pernah aku punya :pria pertamaku. Dia lahir dari rahim seorang wanita biasa yang entah bernama Siti Aminah di tempat yang entah.
Namanya cukup lucu untuk "telinga Jawa" macam aku: Bunhi Sinora. Artinya aku tak tahu. Entah siapa yang tahu. Aku hanya tahu nama itu yang kulihat di identitasnya dan kusemat di identitasku seumur hidup.
Dia lebih dekat dengan nadiku ketimbang ibu pertiwi. Meski nyatanya lebih susah mengingatnya ketimbang merasakan euforia kemerdekaan.
Aku merindukannya dengan rindu yang entah. Rindu yang kehilangan labuhan, hingga tak tahu bagaimana harus dilampiaskan.
Aku mencintainya dengan cinta yang entah. Cinta yang muncul dari ketidaktahuan, yang kenyataannya aku ragukan. Cinta yang aku tak bisa bedakan antara dipupuk oleh kenangan masa lalu atau bayangan sosoknya dalam benakku.
Dia pria yang entah. Pria yang meski darah dan dagingnya ada padaku tak lantas membuatku mengenalnya. Aku tak mengenalnya. Atau mungkin aku lupa rasanya mengenalnya. Dia menjadi hebat dalam benakku entah oleh perasaan kenal itu atau oleh rindu dan cinta yang entah itu. Aku tak tahu aku benar-benar menginginkannya atau hanya iri pada anak-anak lain yang tahu bagaimana caranya mencintai seorang ayah dan merayakan ulang tahunnya.
Berbeda dengan kemerdekaan Indonesia yang bisa kuperingati dengan cara apa saja, meski tak seberapa berharga. Meski sekedar hadiah-hadiah simbolis tanpa wujud nyata nasionalisme. Hari ini dia hanya kuberi Al-Fatihah sebagai hadiah. Hanya itu saja.
Ah, lihatlah. Bahkan setelah pergi pun dia tetap bukan pria yang mau merepotkan anaknya. Aku jadi tak perlu menyiapkan lilin, atau kue tart, atau kado, atau ucapan selamat, atau kejutan, atau apapun untuk sekedar membuatnya bahagia di hari lahirnya. Tak perlu. Lagi pula sia-sia.
Selamat ulang tahun, Pa. Hitungan ini, rindu ini, cinta ini, dan ketidaktahuan ini akan tetap menjadi serangkaian yang entah. Tapi aku sepertinya.... menyukainya. Paling tidak, aku sudah terbiasa. Jadi, Pa, berbahagialah saja di sana :)
Anyway, selamat ulang tahun juga kemerdekaan, Indonesia :)
Proklamasi yang menandai mendekanya ibu pertiwi dibacakan Soekarno dengan penuh bangga pada jam 10 pagi. Detik-detik proklamasi, begitulah kami menyebutnya kini. Pagi itu, Jalan Pegangsaan Timur 56 dipenuhi haru. Semua orang menjelma ibu yang menangis mendengar tangis bayinya untuk yang pertama. Semua orang. Sepertinya begitu. Hari itu tak pernah lekang dari ingatan siapun bahkan setelah 69 tahun berlalu. Selalu ada tawa, selalu ada semangat, selalu ada semarak, selalu ada nasionalisme yang dihembuskan lebih istimewa dari biasanya untuk memperingati hari bahagia itu. Dari aku keci dulu sampai sekarang, Agustus menjadi salah satu bulan yang dinanti-nanti. Agustus menjadi salah satu bulan yang sayang dilewatkan tanpa sesuatu yang berarti.
Itu salah satu alasan kenapa aku menyukai Agustus.
Alasan lainnya tak lebih jelas dari alasan yang pertama. Hal istimewa yang kedua tak kutahu sejelas yang pertama. Mungkin lantaran tak ada yang merasa cukup penting untuk mencatatkannya pada sejarah. Hari ini, 69 tahun yang lalu di jam yang entah, lahir seorang pria yang sampai detik ini adalah yang terbaik yang pernah aku punya :pria pertamaku. Dia lahir dari rahim seorang wanita biasa yang entah bernama Siti Aminah di tempat yang entah.
Namanya cukup lucu untuk "telinga Jawa" macam aku: Bunhi Sinora. Artinya aku tak tahu. Entah siapa yang tahu. Aku hanya tahu nama itu yang kulihat di identitasnya dan kusemat di identitasku seumur hidup.
Dia lebih dekat dengan nadiku ketimbang ibu pertiwi. Meski nyatanya lebih susah mengingatnya ketimbang merasakan euforia kemerdekaan.
Aku merindukannya dengan rindu yang entah. Rindu yang kehilangan labuhan, hingga tak tahu bagaimana harus dilampiaskan.
Aku mencintainya dengan cinta yang entah. Cinta yang muncul dari ketidaktahuan, yang kenyataannya aku ragukan. Cinta yang aku tak bisa bedakan antara dipupuk oleh kenangan masa lalu atau bayangan sosoknya dalam benakku.
Dia pria yang entah. Pria yang meski darah dan dagingnya ada padaku tak lantas membuatku mengenalnya. Aku tak mengenalnya. Atau mungkin aku lupa rasanya mengenalnya. Dia menjadi hebat dalam benakku entah oleh perasaan kenal itu atau oleh rindu dan cinta yang entah itu. Aku tak tahu aku benar-benar menginginkannya atau hanya iri pada anak-anak lain yang tahu bagaimana caranya mencintai seorang ayah dan merayakan ulang tahunnya.
Berbeda dengan kemerdekaan Indonesia yang bisa kuperingati dengan cara apa saja, meski tak seberapa berharga. Meski sekedar hadiah-hadiah simbolis tanpa wujud nyata nasionalisme. Hari ini dia hanya kuberi Al-Fatihah sebagai hadiah. Hanya itu saja.
Ah, lihatlah. Bahkan setelah pergi pun dia tetap bukan pria yang mau merepotkan anaknya. Aku jadi tak perlu menyiapkan lilin, atau kue tart, atau kado, atau ucapan selamat, atau kejutan, atau apapun untuk sekedar membuatnya bahagia di hari lahirnya. Tak perlu. Lagi pula sia-sia.
Selamat ulang tahun, Pa. Hitungan ini, rindu ini, cinta ini, dan ketidaktahuan ini akan tetap menjadi serangkaian yang entah. Tapi aku sepertinya.... menyukainya. Paling tidak, aku sudah terbiasa. Jadi, Pa, berbahagialah saja di sana :)
Anyway, selamat ulang tahun juga kemerdekaan, Indonesia :)
Borobudur, 17 Agustus 2014
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!