Skip to main content

Air Mata Pertama

Ternyata makhluk satu ini nggak cuma menguras tenaga dan pikiran doang, tapi juga sukses menguras air mata. Nahlho! Apa-apaan ini belum-belum udah melomelo. Ini bukan soal pacar baruku yang aku dedikasikan satu folder di leptopku khusus untuknya itu. Belum. Ini soal..mm..mungkin semacam selingkuhan ya. PKL. Praktek Kerja Lapangan, anak tiri yang entah kenapa tiba-tiba show on minta banget diperhatiin.

Bayangpun satu minggu aku habiskan cuma buat ngejar-ngejar tanda tangan satu orang yang mahapenting di dunia per-PKL-an. Sebut saja Mister Kind. Nama adalah sebuah doa, kan?

Setelah beberapa hari lalu dia sukses masuk dalam mimpi indahku, pagi tadi dia membuatku menangis kayak bocah kehilangan mainan. Sumpah demi apa. Aku jarang banget lho nangis. Lalu Mister Kind ini dengan cool-nya menjadi satu dari sedikit oknum yang pernah bikin aku nangis.

Jengjeeeeeeenggg….!!! Format proposalku salah. Format surat izinku salah. Atau aku yang salah? Entah.

Bisa bayangin, udah balik 4x ke hadapannya, minta tanda tangan kayak orang minta sumbangan, apa yang dia minta sebisa mungkin aku turutin, proposalku udah dibalik, dibaca, dikomentarin, ditanya-tanya, dan aku kira juga dilihat secara saksama dan dalam tempo yang tidak singkat, lalu dengan begitu tenangnya hari ini begitu saja dia bilang format tanda tanganku salah. Jeder! Kenapa nggak dari kemarin-kemarin sih, Mister Kind-ku tercinta?

Pas aku tanya, salahnya dimana, Pak?

Beliau cuma bilang, tanya sama temen kamu as usual. Kayaknya itu jawaban emang udah di-record deh di pita suaranya. Ampun Tuhan. Orang ini format aja aku dapet juga dari salah satu temenku yang sebelumnya sudah melaksanakan misi suci ini kok. Yang aku yakin itu berarti format ini sudah menjadi format seribu umat PKL semester kemarin. Sayang seribu sayang, semester kemarin PKL nggak butuh tanda tangan sampai Mister ini. Ah, aku jadi nyesel nggak ambil PKL dari kemarin-kemarin. Salah strategi apa ya? -_-“

Pas aku tanya sama mbak-mbak asisten ini mister, mbaknya juga bingung memberiku berbagai macam kemungkinan bagian mana yang salah. Kalau cuma aku harus ngeprint lagi sih nggak masalah. Lha ini, kan aku harus minta tanda tangan lagi ke dua dosen yang sebelumnya udah aku kejar-kejar dan aku tungguin setengah mati. Bahkan salah satu tanda tangan baru aku dapetin setelah perjuangan jam 7 pagi tit udah nyampe di kampus.

Piye perasaanmu?

Padahal ya, pagi tadi setelah aku dapet tanda tangan koor PKL jam 7 pagi, aku ke dekanat buat nungguin Mister Kind. Aku nungguin setengah jam sebelum nengok ke ruangannya di lantai 2, menunggu waktu yang wajar untuk bertamu. Eh, ternyata masih kosong. Udah kan. Akhirnya aku memutuskan tongkrong di depan absen dosen dengan asumsi bahwa tiap dosen yang datang pasti ke sini dulu. Emang. Tapi beliau nggak datang-datang.

Satu, dua, sekian, aku lihat asisten Mister Kind absen, lalu naik. Satu jam, dua jam, setelah waktu menunjukkan pukul Sembilan lebih, aku memutuskan naik lagi. Kali aja tadi Mister-nya lewat tapi aku nggak liat.

Ternyata emang belum datang. Terus aku galau, antara mau pulang aja atau bertahan sampai jam 10. Karena kadung lama cengoh, apa sih bedanya sekarang sama setengah jam lagi? Lalu kuputuskan duduk lagi di dekanat berteman novel karangan Fitri Tropika. Pikiranku pecah antara cerita novel yang konyol, celingukan kalau-kalau Mister Kind masuk, dan deg-degan takut kena semprot lagi.

Jam 10 tiba. Tut..tut..tut..

Bunyi tombol absensi membuatku menoleh. Si Mister Kind datang! Menemukannya tampan berdiri di sana tuh kayak kehausan di tengah sahara lalu menemukan oase. Oke, ini berlebihan. Tapi kira-kira hampir begitu.

Aku masuk ruangan, menghadapi asistennya, lolos. Semuanya berjalan mulus. Alhamdulillah.

Sampai di mister, aku paksakan diri untuk bersuara normal bilang, “Permisi, Pak. Mau minta tanda tangan,” sambil menyodorkan map berisi dua lembar surat izin PKL. Eh, Si Mister nanyain proposal. Padahal tadinya proposal itu udah aku sembunyiin, takut ada yang salah lagi.

Dan voila!

"Mbak, ini formatnya kok kayak gini?”

“Terus harusnya gimana, Pak? Itu udah ikut format PKL semester lalu.”

“Coba tanya ke temenmu!”

"Temen saya yang mana lagi yang harus saya tanya, Pak?” tentu saja hanya di dalam hati. Aslinya mah cuman bisa celingukan bingung gitu. Berharap tiba-tiba ada Dedy Corbuzier datang dan membuatku disappear dengan ilusinya.

“Mbak, iki dicek, Mbak. Formate opo bener ngene?” Mbak, ini dicek, Mbak. Formatnya apa bener seperti ini, tanya Mister ke asistennya.

Pas dapet itu surat, si asisten juga bingung mana yang salah. Ya jelas lah. Lha wong tadi aja aku udah lolos seleksinya kok. dan you know what? Misternya pergi begitu aja membiarkanku, asistennya, dan satu staf pria orang lab menduga mana yang sama si Mister dianggap salah.

Lalu terjadilah sesi curhat antara kita bertiga. Di sini aku udah mati-matian bertahan. Padahal pandangan mataku sebenernya udah mulai kabur, suara curhatku udah mulai bergetar. Ga lucu kan kalau aku tiba-tiba nggembret di sana? Nangis Bombay bercucuran ingus dan air mata? Nggak lucu banget, kan?

Mbaknya ngasih aku saran buat curhat ke koor PKL sama dosbingku, sambil membesarkan hatiku dengan bilang dua dosen itu gampang nyarinya. Ah, sudahlah.

Alih-alih ke ruang dosen, sepersekian detik sebelum menginjakkan kaki di tangga turun, aku justru berbelok arah ke lantai tiga. Pertahananku jebol. Lantai tiga dekanat yang notabene adalah tempat sidang senat atau apalah itu memang selalu sepi. Sepi ini yang aku butuhkan. Aku masuk kamar mandi, kunci pintu, terus nangis sejadi-jadinya di sana.

Aku nangis kayak anak kecil. Bener-bener nangis yang sampai sebegitunya. Kesel sumpah. Rasanya capek banget. Ngerti kan pas jengkel tapi nggak ada pelampiasan? Aku bisa apa lagi kalau bukan nangis?

Aku jadi ngerti kenapa mahasiswa semester akhir biasanya pengen punya pacar. Karena fase ini benar-benar melelahkan. Enak kali ya kalau ada bahu yang siap jadi sandaran pas mau protes tentang cobaan Tuhan macam pagi ini. Penantianku tiga jam seperti nggak berarti sama sekali di matanya. Sama sekali nggak cukup penting untuk dia hargai sekedar dengan ngasih tau aku bagian mananya yang salah.

Itu kertas dicoret-coret nggak papa wes. Kalau mau ekstrim, disobek sekalian aja. Biar aku mulai dari awal, langsung ditandatangani. Tapi, ya sudahlah.

Pagi itu nggak ada bahu untukku bersandar, nggak ada telinga untuk mendengar, nggak ada yang mengusap air mataku selain berlembar-lembar tissue yang kebetulan baru aku beli sebelum ngampus.

No. Aku bukan sedang disparately feel sorry for my life.

Percaya atau enggak, aku justru ambil air wudhu lalu sholat dua rakaat entah dengan niat apa. Haha. Lalu aku nerusin nangis sepuasnya. Meminjam bahu Tuhan, meminjam telinga Tuhan, meminjam tangan Tuhan buat menghentikan air mataku langsung dari sumbernya, terus masih pake tissue yang ada di tas buat ngapus air mata yang kadung banjir ke wajah.

Abis selesai hiks hiks hiks dan srot srot srot, terus ngaca bentar demi menemukan mata sembab, hidung-yang-nggak-seberapa merah, pipi cememotan basah. Aku merasa kayak gembel. Dalam hati aku setengah bersyukur aku nggak ada pacar, nggak tahu teman-temanku pada ngampus atau enggak, dan hapeku ketinggalan. Aku merasa sendirian, terus somehow pagi itu jadi merasa butuh banget mengadu pada Tuhan. Feels cool! Nggak biasa-biasanya lho. Subhanallah sekali, kan. Haha :D

Tiba-tiba ada suara dari depan pintu. Tanya, mungkin memastikan apa aku benar manusia, terus apa yang aku lakuian di lantai tiga sendirian, “Mbak, sholat?”

Aku menoleh seadanya, berusaha biar dia nggak sempurna lihat rupaku. “Iya, Pak. Udah selesai kok,” kataku sambil buru-buru melipat mukena. Aku langsung lari turun pas orang yang aku nggak tahu siapa itu ke toilet (mungkin ambil wudhu) sebelum dia tahu kalau aku habis memerankan adegan drama opera sabun.

Lalu aku ke ruang dosen dengan wajah seolah-olah nggak terjadi apa-apa. Membawa kebingunganku pada dosbingku yang juga malah ikut bingung mana yang salah. Nahlho. Sementara koor PKL-ku entah dimana.

Ah, sudahlah. Sekarang aku menunggu email salah satu temanku yang juga PKL semester ini. mencari pencerahan dari saksi nyata yang pernah lolos dari Mister Kind. Semoga saja memang aku yang salah. Karena kalau ini faktor luck, ternyata formatku sama punya temenku persis, hanya kebetulan pas temenku itu minta Mister Kind-nya sedang dalam mood yang perfecto, aku nggak tahu lagi aku harus gimana.

Entah kenapa PKL ini mencuri perhatianku lebih dari tugas akhir. Seperti selingkuhan yang lebih bikin galau ketimbang pacar yang beneran. Konyol. Baru proposal lho. Baru mau mulai lho. Sabar, Ay. Sabaaaar. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Haha. Tuh kan aku mendadak ‘alim berkat Mister Kind. Jadi ingat tweet yang tadi malam aku baca, “Di tiap kampus pasti ada minimal satu dosen killer yang menyebalkan, tapi sebenernya mendisiplinkan kita.”

Wish so do you, Mister J

Banjarsari, 08 Oktober 2013
Dien Ihsani

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih