Seperti yang selalu diajarkan bahwa
semua yang hidup akan bertemu dengan kematian, semua yang mati dulunya pernah
hidup juga. Tak ada yang tahu kapan dan dengan cara apa waktu membenturkan
kehidupan pada pintu kematian. Kau mungkin ketakutan, tapi ketika waktumu
benar-benar tiba, percayalah kau akan berharap kematianmu merampas utuh dirimu
dari kehidupan..
**
Beberapa menit lalu bocah laki-laki itu masih tertawa
riang bersama teman-temannya. Bola yang kini menggelinding liar ke jalanan pun
masih hangat bekas pelukan tangan. Ahh. Siapa sih yang bisa tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya? Tidak kita, bukan juga dia.
Rumah megah itu tampak ramai didatangi warga. Semua
orang berkerumun seakan takut ketinggalan cerita. Sebuah ambulance dan dua buah mobil polisi berhenti dengan lampu sirine
masih berkedip hampir bersamaan. Beberapa orang berseragam, banyak pria berjas,
dan lebih banyak lagi manusia berpakaian ala kadarnya tampak sibuk lalu lalang.
Aku sendiri hanya tercengang di dalam rumah. Kutatap
wajah bocah laki-laki bernama Rado itu lekat. Belum-belum aku sudah sangat
merindukannya. Wajah polosnya tampak pucat pasi kebingungan. Dia berdiri saja
di ambang gerbang, diam. Usianya baru tujuh tahun untuk mengerti apa yang
terjadi sebenarnya. Dia masih coba mencerna, tapi aku tahu ada sesuatu dalam
benaknya yang membisikkan berita duka. Lihat saja wajahnya yang sudah dibasahi
air mata. Ahh.. itukah yang namanya naluri manusia?
Rado masih ingat bagaimana rumah ini sepi saat dia
tinggal pagi tadi. Dia masih ingat lambaian tangan ibunya di ambang pintu sana
sebelum dia pergi. Dia memang mengeluhkan sepi rumahnya hampir tiap hari, tapi
dia tak pernah berharap rumahnya akan jadi seramai ini. Dia bahkan tak
menyukainya sama sekali.
Rado melangkah pelan memasuki halaman. Salah satu
dari kerumunan yang menyadari keberadaan bocah itu lantas menyenggol teman
sebelahnya. Begitu hingga semua warga mengalihkan tatapan mereka. Seperti
dikomando, kerumunan itu segera saja membuka jalan sehingga Rado bisa memasuki
rumah tanpa berdesakan.
Dia berhenti tepat di depanku. Matanya kosong seolah
menatapku. Tubuhku bergetar hebat merasakan pedih dalam wajahnya yang beku. Dia
menatap lurus pada tubuh wanita itu, tubuh yang kini terbaring kaku. “Ibu..”
lirih benar suara yang keluar dari bibir mungil Radoku.
“Rado, sayang,” sebuah suara berat tak mengalihkan
perhatiannya. Seorang pria beranjak memeluk Rado yang kini diam tak bersuara.
Tangan kekarnya lembut mengusap pipi Rado, sementara pipinya sendiri masih
basah bekas air mata. Pria itu, Tuhan,
tahukah dia bahwa aku sungguh mencintainya?
“Ibu kenapa tidur di situ, Yah?” tanya Rado polos
sekali. Ekspresinya memecah tangis seisi ruangan. Aku sendiri sudah dari tadi
bersimpuh sesenggukan. Tuhan, aku ingin
memeluknya. Aku ingin juga mengusap air matanya..
Tak kuat aku berlari keluar. Melompat melewati
kerumunan. Kutatap rumah megah itu dari kejauhan. Ada sesuatu dalam diriku yang
tercabut paksa dan rasanya sakit sekali. Sempat terpikir olehku untuk pergi,
tapi lalu entah karena apa aku kembali lagi. Aku bersimpuh di depan Rado ketika
jasad wanita itu digotong ke dalam peti. Rado menangis menjadi-jadi. Dia tak
rela ibunya dibawa pergi. Kukecup pelan pipinya yang basah. Aku hampir
bersumpah melihat sejenak tangisnya berhenti. Diusapnya pipinya yang dingin
beberapa kali. Dia mengerjap seperti menatapku sebelum mulai menangis lagi.
**
Dari balik pohon aku menatap punggung kekar itu
berdiri di samping pusara istrinya. Tiga hari sudah sejak wanita itu ditemukan
tewas mengenaskan. Tiga hari juga aku mengikutinya diam-diam. Aku hanya berani
mengendap-endap pelan di belakangnya atau mengintip dari balik jendela kamarnya,
melihatnya terlelap bersama Rado dalam pelukannya. Aku sama sekali tak berani
berada terlalu dekat, tak bisa kubiarkan dia melihatku tanpa sengaja.
Pria itu menggenggam secarik kertas di tangannya, hasil
penyelidikan polisi yang menyatakan bahwa penyebab kematian istrinya murni
kecelakaan. Dia lembut mengusap nisan batu di hadapannya. Tampak penyesalan
sekilas berkelebat dalam matanya. “Maafkan aku,” ucapnya.
Aku mengamati wajahnya, wajah yang seluruh lekuknya
kukenali. Aku masih mencintainya. Mungkin harus kubunuh dia berkali-kali agar
dia tahu sakitnya mati. Karena sekali mati saja tak cukup cukup pantas tuk
melebur hatinya yang keji.
Tapi aku tak bisa..
Bukan lantaran aku tak lagi bisa menyakitinya, meski
memang benar aku tak lagi bisa. Toh aku masih bisa membunuh tanpa sama sekali
harus menyentuhnya. Tapi bagaimana bisa jika dia juga yang paling kucintai? Pun
benar paling kubenci.
Suara telepon membuyarkan apa pun yang tengah
dipikirkan pria itu dalam lamunannya. Dia mungkin akan mati sendiri oleh rasa
bersalahnya. Ahh.. benarkah dia merasa
bersalah?
“Rating Anda naik,” kata suara di seberang sana.
Seringai keji itu terlihat lagi di wajahnya. Kelebat rasa bersalah itu
menghilang sama sekali begitu saja. Dia kembali kerasukan oleh ambisinya
menjadi walikota. Melenggang pergi dia meninggalkan kejahatan dan rasa
bersalahnya terkubur dalam bersama jasad istrinya.
Aku melesat mendekati gundukan tanah yang masih merah
itu setelah yakin dia benar-benar pergi. Menangis aku menyesali matinya hati
pria yang kusayangi. “Jika salah satu keluargamu kau tumbalkan, kamu pasti
jadi,” suara berat itu masih jelas terngiang di telingaku.
Kuusap
lembut batu nisan di hadapanku. Nisan mahal yang entah dipilihnya untuk
mengurangi rasa bersalah atau hanya sekedar mencari simpati massa. Tanganku
pelan menggerayangi permukaannya. Batu nisan itu berwarna hitam mengkilat, di
atasnya dengan indah terukir berwarna perak, namaku sendiri. (Semarang,
26112011//Dien Ihsani)****
Majalah Integral edisi 2011
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!