Skip to main content

Keysha, Darahmu Bukan Penebus Dosa


Susah payah kucoba mengaitkan dua kawat kecil di belakang punggungku. Biasanya aku hanya butuh beberapa detik saja untuk lakukan itu. Tapi dingin pagi ini membuat jari-jariku beku, menyulitkanku. Seolah benar-benar sengaja melengkapi beku hatiku.

Aku terus saja menggerutu. Panas yang menguap dalam kepalaku tak juga mampu mengusir hawa dingin Julan Juni yang kejam menusuk rusuk-rusukku. Hampir aku menyerah. Kawat kecil sialan itu membuatku lelah. Seolah memang sengaja membuatku semakin jengah.

Ini pasti koalisi. Weekend ini, kawat kecil ini, hawa dingin ini, rasa takut ini, dia, kamu, semuanya seperti sengaja ingin membunuhku pagi ini. Sengaja ingin mengusirku dari bumi. Harusnya aku sudah terbiasa menghadapinya. Tapi.. “Aarrrggghhh!!!!” Kuhempaskan tanganku yang mulai kesemutan.
“Kamu nggak akan bisa melakukannya dengan cara sekasar itu, Sayang,” kau berbisik lembut di telingaku. Tanganmu lembut mengaitkan dua kawat kecil itu. Dari kaca rias besar di depanku bisa kulihat pantulan senyum tipis di wajahmu. Senyum itu.. senyum itu yang dulu menghipnotisku. Tuhan.. benar senyum itu yang membawaku.. Lembut kau mendekapku. “Kamu kelihatan lebih cantik ya kalau lagi cemberut?” godamu. Jelas kurasakan hembusan napasmu hangat menggerayangi leherku.

Aku terpaku. Menikmati hangat yang mendadak menjalari tubuhku.

Pelan kau memutar tubuhku hingga kita berdiri berhadapan. Waktu seperti berhenti ketika beberapa jenak mata kita bertatapan. Sakit ini tak lagi bisa kusembunyikan. Apa kuboleh meminta Mu hentikan waktuku sekarang juga, Tuhan?? Sebelum mimpi burukku jadi kenyataan.

“Sudah sana.. pakai bajumu. Kau kedinginan.” Justru suaramu yang terdengar bagai sebuah jawaban, buyarkan lamunan. Akhirnya harus kuterima waktu tak bisa kutahan.
***
Jam menunjukkan pukul delapan pagi.

“Ayo, Key.”

“Tak bisakah kau biarkan aku tetap di sini?” tanyaku lirih tanpa benar-benar menunggu jawaban.

“Keysha..” lembut kau ucap namaku. Tak bisa kau sembunyikan nada memohonmu. Frustasi kau harap aku mengerti. Ya, kau yang tak tahu betapa aku mengerti. Aku sungguh sungguh sangat mengerti..

Aku mendekapmu. Tenggelam aku dalam pelukanmu. Hatiku bergetar hebat ketika kau sentuhkan bibirmu di ubun-ubunku. Tangan kekarmu membelai lembut rambutku. Seolah aku bisa berbohong dan menganggap kaulah malaikat penjaga yang Tuhan kirimkan untukku. Hanya untukku.

Tuhan.. tolong hentikan waktuku. Tolong Kau cabut nyawaku..

Dalam khidmatku berdo’a, kau dorong tubuhku beberapa senti menjauh. Kau menatapku beberapa detik sebelum mendaratkan bibirmu di bibirku. Aku seperti melayang tinggi. Sejenak memang waktuku berhenti. Sebentar saja sampai kusadari kecupanmu tak akan membuatku mati.

“Ayo, sebentar lagi dia pulang,” ajakmu lagi. Dan aku tahu akhirnya aku tetap harus pergi..
***
Sebulan sudah aku menunggu. Ketakutanku makin menjadi. Tapi sesuai apa yang dulu pernah kita sepakati, aku tak akan menghubungimu. Hanya kau yang boleh menelponku, sementara aku tak berhak lakukan itu. Jadi aku diam. Aku hanya diam meski rinduku hampir tak bisa kutahan lagi. Kosong ini entah kenapa justru menyesakkanku hampir mati.

Benar kata Silvia, di kampus kemaren lusa, “Kamu ga bisa kayak gini selamanya.” Ya.. tanpa dia beri tahu pun aku sepenuhnya sadar akhirnya akan tiba waktunya. Ketika aku harus menyerah pada takdir. Ketika aku harus terbangun dan kembali de dunia nyata.

Aku termenung di sudut kamar kosku memikirkannya. Ada sesuatu dalam benakku yang mengatakan waktunya hampir tiba. Entah waktu untuk apa. Tapi aku tahu sepenuhnya aku bediri di atas pijakan yang salah. Kakiku goyah. Harusnya sudah lama aku kalah tapi aku tak mau menyerah. Aku bukannya tak merasa bersalah. Aku tahu dosaku tak mungkin kusanggah. Tapi mati-matian aku tetap mempertahankan apa yang tak seharusnya ada. Aku tetap tak bisa melepasnya.
***

Aku terbangun oleh dering telepon genggamku. Masih di sudut kamarku, masih di atas sofa biru kesayanganku. Malas kuraih benda mungil itu. Rasanya ada beton 1000kg yang menimpa kepalaku dan jatuh bedebam tepat di ulu hatiku ketika di layarnya yang berkedip kulihat namamu.

Tuhan.. inikah jawaban-Mu?

Tapi entah kenapa rindu itu tak lantas membuatku mampu berbicara denganmu. Aku malah memencet tombol merah dan bukannya hijau. Panggilan ditolak. Ada sesal dan lega menjalar turun di dadaku. Aku tak tahu yang mana lebih mendominasiku.

Aku melonjak kaget ketika sekali lagi hand phone ku berbunyi. Namamu lagi. Kali ini aku tahu aku tak bisa lari. Kutempelkan juga akhirnya benda mungil itu tanpa berani bersuara.

“Halo? Key?” suaramu mendesak masuk melalui telingaku, ke semua rongga tubuhku yang tadinya hampa. Aku sesak karenanya. Ya, aku tahu ada yang berbeda. Perbedaannya jelas nyata.

“Iya?” gemetar aku menjawab. Bukannya heboh seperti biasa, bukannya merajuk seperti seharusnya, aku justru hanya mengatakan iya? Cuma iya? Astaga… Bahkan tak sanggup aku sekedar menanyakan kemana saja kau selama sebulan.

“Key, maafkan aku..” suaramu bergetar.

Aku terdiam. Air mataku mengalir tak bisa kutahan. Aku sesenggukan. Aku ketakutan. Jangan katakan apa pun, Ki.. Aku mohon jangan katakan apa-apa lagi.. pintaku dalam hati.

“Maaf karena sebulan ini aku tak menghubungimu.”

Kenapa? Bukankan harusnya aku menanyakannya? Tapi kata tanya itu kini tak perlu lagi rasanya. Seolah aku tahu jawabannya. Tuhan.. tak bisakah Kau cabut nyawaku sekarang saja? Tak lihatkah Kau aku kesakitan? Atau ini ganjaran untukku? Untuk mengingkari rasa bersalahku? Untuk mengingkari takdirmu?

“Key, kamu masih di sana?” kau bertanya. Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya mampu mengangguk seolah kau akan tahu. “Kamu tahu kan aku menyanyangimu?” ujarmu.

Tangisku makin menjadi. Aku mohon, Reki.. tak bisakah kau cukup diam dan memelukku? Ahhh… kau tak bisa memelukku dari jarak sejauh itu. Aku bahkan tak tahu dimana kamu. Aku ingin kau memelukku. Aku tak ingin mendengar apa pun dari mulutmu.

“Key..,” pelan sekali kau menyebut namaku. Kau tahu aku di sini mendengarmu. Seperti kau selalu tahu. Aku tahu kau mendengar isak tangisku. Sepertiku selalu tahu. Beberapa jenak kau terdiam. Terdengar desahmu di sana. Aku tahu dia ada. Aku tahu kau sama terlukanya. Atau cukup semoga kau juga terluka, entahlah..

“Aku tahu aku salah.. aku minta maaf..” suaramu makin lirih kudengar. “Maaf telah membawamu dalam keadaan yang rumit ini. Tapi aku janji, aku janji ga akan lagi.” Kau berhenti. Sejenak. Seolah mencoba merangkai kata yang tepat untuk menjelaskannya. “Kamu cantik, Key. Kamu tahu itu. Kamu baik. Kamu berhak dapatkan cinta yang utuh milikmu.” Itu juga kalimat yang sama yang Silvia pernah bilang padaku.

“Dia tahu semuanya. Dia tahu hubungan kita. Dan dia bilang dia terima. Tapi justru aku sadar aku tak bisa kehilangannya.” Aku menghela napas di sela tangisku. Akhirnya sampai juga pada bagian itu. Semua ini berputar sepeti deja vu. “Aku menyayangimu, kau tahu kan? Tapi, Ke, aku mencintainya. Aku mencintai istriku. Maafkan aku.”

Jedher!!! 

Ada petir kasat mata yang menyambarku. Meski aku sudah menangis sebelumnya, tapi toh kalimat itu membuatku tetap kaget juga. Kenapa hanya petir kasat mata? Padahal aku akan sangat berterimakasih kalau petir itu nyata.

“Ini terakhir kalinya kita berhubungan, Key. Maaf.. aku tak mungkin menemuimu lagi. Aku tak mungkin menghubungimu lagi. Aku mohon kamu mengerti.”

Apa yang selama ini tak aku mengerti, Ki?? Aku mencintaimu.. aku bahkan tetap mencintaimu meski sejak awal kau bilang aku tak mungkin memilikimu. Apa yang selama ini tak aku mengerti??

“Anggap saja aku tak pernah ada. Kalau kita ketemu lagi, aku mohon berpura-puralah kau tak pernah mengenalku. Karena aku tak mungkin sanggup mengingatmu, Key. Aku menyayangimu. Maafkan aku.”

Tuuutttt….

“Ki..” aku hanya bisa merintih. Perih. Aku ingin mencegahmu pergi. Tapi bahkan hanya memanggil namamu pun aku tak mampu. Aku tahu sepenuhnya itu bukan jatahku. Bukan hakku memintamu tetap untukku.

Tiga tahun bukan waktu yang singkat bagimu untuk mengenalku. Kau sangat mengerti aku. Bahkan tanpa kau berada di sampingku pun aku tahu kau tahu bagaimana keadaanku. Tapi tiga tahun ternyata belum cukup bagiku. Hari ini aku sama sekali tak mengenalmu. Aku sama sekali tak bisa menerka apa yang ada dalam pikiranmu.

Aku bahkan tak tahu apa benar pernah ada cinta dalam dirimu untukku. Kau bilang kau menyayangiku seolah kau bisa menjadi milikku. Kau katakan kalimat itu berulang kali seolah itu bisa meredakan sakitku. Itu justru menusukku lebih dalam lagi… Hari ini bagiku kau bodoh sekali. Kau yang tak mengerti. Kamu yang ga ngerti, Ki…!!!

Aku menangis merutuki dirimu. Merutuki diriku sendiri. Ada sesuatu yang dicabut paksa dari dalam benakku dan rasanya sakit sekali. “Aaaaarrrrrggg!!!!!” frustasi kulempar benda mungil yang tadi memutar suaramu itu.

Prang!!!

Seperti tahu kemarahanku, dia mendarat tepat di fotomu. Gambar senyum wajahmu yang terpajang di sudut kamarku.
***

Silvia menatapku iba. “Dia tak berhak membuatmu seperti ini, Key…” ujarnya si sela-sela pergantian mata kuliah. “Bukannya dari awal kau tahu akan jadi seperti apa hubungan kalian akhirnya?” aku mengangguk. “Kau sempat berharap dia akan lebih memilihmu dari pada istrinya yang kaya raya itu?”

Kali ini aku hanya menatapnya kosong. Ya, dan tidak. Kadang kau membuatku merasa akulah satu-satunya yang bisa membuatmu bahagia.

Jengah Silvia meremas pundakku. Dia bicara sambil menatap tepat ke dalam mataku. “Bukan cuma kamu yang tahu rasanya putus cinta, Key. Jadi tolong jangan bersikap seolah kau satu-satunya orang di dunia yang punya masalah gini dong! Hidupmu masih panjang… Umurmu baru 21 tahun, Key..”

Dia tak tahu logikaku telah lama mati. Lama sejak pertama aku bertemu denganmu. Sejak kau tersenyum padaku di depan ruang guru.

“Kamu bisa dapatkan yang lebih dari Pak Reki, Key..”

Kau cinta pertamaku. Kau yang membuatku mengenal dunia yang selama ini kuanggap tabu. Kau yang mengenalkanku pada nikmatnya nafsu. Kau.. tiga tahun aku memujamu. Tiga tahun kau menyimpanku.

Tiga tahun kau penjarakan aku dalam sangkar emasmu. Tak peduli apa yang orang bilang, tak peduli pada apa yang akan mereka pikirkan, aku mencintaimu, Pak Reki. Dan aku tak mungkin mencintai orang lain lagi.. hatiku terlanjur mati.
***

Malam itu basah mataku menatap senyummu. Kau hadir lagi dalam hidupku. Kau hadir lagi menghantuiku. Pak Rekiku…

Dengan matamu itu kau telanjangi aku seolah aku tak punya malu. Ya.. dengan matamu itu. Dengan matamu itu kau cumbu aku seolah aku tak punya nafsu. Ya.. dengan matamu itu. Tak berkedip kau menatapku, tak berpaling kau dari tubuhku. Kau.. di sudut ruang kamarku. Seolah memang harusnya kau berdiri di situ. Seolah-olah kau hantu dalam bayangku. Kau… dengan tajam matamu yang menatapku dalam lelapku. Seolah dengan itu kau berikan surga untukku.

Tetapi tidak. Di sana kau tak beranjak. Dalam bingkai fotomu yang retak. Seolah jelas jantungmu masih berdetak. Ternyata tidak..

Perih itu tak lagi sama. Kali ini terlihat lebih nyata. Bisa kulihat darahku sendiri mengalir dari pergelangan tanganku yang menganga seolah itu bisa menjadi penebus dosa. Dalam kesadaranku yang masih tersisa, aku bisa mengulang semuanya, berputar bagai sebuah film drama.

Bagaimana kau mengatakan cinta dalam balutan dosa. Bagaimana kau singkap rok abu-abuku untuk pertama kalinya. Pak Reki si guru teladan itu ternyata juga tetap manusia. Lalu di belakang sekolah itu aku masih ingat bagaimana nikmatnya. Bagaimana rasanya.

Ada getaran yang menjalar dalam diriku. Aku tahu dosa-dosaku. Aku buta olehmu. Sebelum ini aku seperti tak peduli bahkan meski aku tahu dunia akan menghujatku jika mereka tahu. Waktu itu aku seolah-seolah tak mau tahu. Sesalku tak ada gunanya lagi. Biar kau bahagia dan aku mati. Dosaku tak mungkin kutanggung lagi.

Silvia benar, aku masih 21 tahun. Hidupku masih terlalu panjang untuk disia-siakan. Karenanya kupikir akan jauh lebih baik kalau aku mati sekarang. Sebagai sampah dunia yang hilang. Lari dari kemungkinan melihat orang tuaku terluka melihat ulah anaknya. Melihat apa yang selama ini kusembunyikan dari mereka.

Dalam sisa kesadaranku sempat aku melihat Silvia memekik panik. Disusul suara anak-anak kos berteriak berisik. Entah itu nyata atau imajinasiku saja. Tapi aku sudah tak merasakan apa-apa. Mendadak aku menyesali semuanya meski aku tahu tak lagi berguna. Mendadak aku membayangkan neraka. Tuhan… Aku masih takut dosa..
***
Dien Ihsani,07.11
Antologi "Cinta dalam Koper", Universal Nikko

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih