Skip to main content

Diorama Kehidupan


                Bocah perempuan kecil itu, Bintang. Usianya mungkin baru tiga tahun. Kulitnya kecoklatan, rambutnya merah terbakar matahari, pipinya gempal cememotan oleh sisa ingus yang mengering. Sekilas dia sama seperti anak-anak lain seusianya. Sekilas. Kecuali sebelah matanya yang hampir putih rata. Mata kirinya buta.
                Bintang diam dalam gendongan seorang wanita yang tak dikenalnya. Dia hanya tahu emak memanggilnya Mbak Kar. Mbak Kar adalah satu dari beberapa wanita yang tiap hari bergantian datang ke rumahnya. Menjemputnya. Bintang tak pernah tahu mengapa emak membiarkan wanita-wanita itu membawanya. Bintang tak pernah bertanya mengapa.
                Di samping Mbak Kar, bocah perempuan lain seusia Bintang juga diam dalam gendongan seorang wanita bertopi biru. Ahh.. wanita itu. Bintang ingat dia juga pernah berada dalam gendongan wanita itu beberapa hari lalu. Bintang tersenyum kepada bocah perempuan yang baru pertama dilihatnya itu. Anak itu membalas sedikit malu-malu.
                “Anak baru?” tanya Mbak Kar kepada wanita bertopi biru.

                Wanita itu mengangguk saja. Lalu diam. Mereka berempat berjalan nyaris tanpa suara. Bintang masih mengamati anak dalam gendongan wanita bertopi biru itu. Bintang merasa ada yang aneh dengan bocah itu. Entah apa. Bocah itu tampak tak seperti dirinya, tak seperti teman-temannya, anak sewaan lain yang dikenalnya.
                Hiruk pikuk suara manusia dan mesin yang saling bersahutan menyadarkan Bintang. Dia menengok ke depan. Didapatinya beberapa bus besar berjejeran menunggu penumpang. “Pak Nto,” Bintang berseru senang ketika matanya menangkap sosok laki-laki tua yang tengah berseru mencari penumpang.
                Mbak Kar menghampiri laki-laki tua yang biasa dipanggil Pak Manto itu. Semua wanita yang pernah menggendongnya tahu Bintang akan menangis sejadi-jadinya kalau dia melihat Pak Manto tapi tak dibawa menghampirinya.
                “Haii.. Bintang!!” Pak Manto menyodorkan sebatang coklat murahan. Bintang tertawa memamerkan gigi-gigi ompongnya. Pak Manto mengambil satu lagi coklat dan memberikannya pada bocah perempuan dalam gendongan wanita bertopi biru. “Dia siapa?” tanyanya.
                “Dewi, anak yang kemaren ditemu sama Bu Maman,” jelas wanita bertopi biru. “Dia autis,” tambahnya sambil berbisik.
                “Magelang habis, Magelang habis.. jogja.. jogja.. jogja..” teriakan seorang pria membubarkan percakapan mereka. Sebuah bus besar tampak memasuki terminal.
                “Ayo ayo yang Jogja yang Jogja..” ujar Pak Manto. Dewi dan wanita bertopi biru itu berlari. Berebut dia dengan beberapa pedagang asongan, menggapai pintu bus bahkan sebelum bus itu khatam diparkirkan. Sementara Mbak Kar berjalan santai mengikuti.
                Bintang menengok ke dalam. Bapaknya. Ya, sopir bus itu bapaknya. Bintang selalu menganggap bapaknya gagah sekali di balik kemudi. Pernah beberapa kali dia dan emak diajak ikut bapak bekerja. Mereka duduk di bangku paling depan di samping bapak. Bintang akan bersorak senang melihat kendaraan lain di depannya yang tempak pendek dan kecil.
                Bapak turun dari bus. Tersenyum dia melihat anaknya. “Hey, anak bapak..” ujar pria berkumis itu sambil mencubit pipi gempal Bintang. Hanya beberapa menit sebelum dia berlalu, tak peduli pada Bintang yang menyodorkan tangannya ingin digendong.
                Di dalam bus, Bintang hanya menatap tangan Mbak Kar yang terulur tanpa ekspresi. Seorang wanita muda melihat mereka iba lalu meletakkan selembar uang seribuan di tangan Mbak Kar. Beberapa penumpang lain meletakkan juga receh di sana. Beberapa hanya tersenyum saja ketika Mbak Kar meminta, sementara sisanya tak acuh mengalihkan pandangan ke luar jendela. Manusia dan segala sifatnya, Bintang melihat itu semua setiap hari. Di sini, di tempat ini.
                Turun dari bus, Mbak Kar membawa Bintang ke belakang terminal, dan bukannya menghampiri bapaknya yang tengah mencomot tahu di warung emak. Ahh.. emak sudah datang. Tapi sama saja, dia tak bisa bersama mereka. Bintang tahu itu. wanita-wanita lain yang menggendongnya juga tak pernah membawanya pada emak dan bapak. Bintang tak bisa bertemu mereka meski berada di tempat yang sama. Bintang tak tahu mengapa, dia tak pernah bertanya. Ahh.. anak seusianya mau tanya apa?
Bintang menghampiri Dewi sementara para wanita itu menghitung uang yang mereka dapatkan. “Hai, aku Bintang,” gadis kecil itu mengulurkan tangan. Nadanya membulat agak berwibawa, dia merasa lebih tua. Dewi tertawa. Ditatapnya tangan Bintang begitu lama. Bintang menarik kembali tangannya begitu yakin Dewi tak akan menyambutnya.
                Bintang duduk di samping Dewi. Kepalanya menjulur ke depan muka Dewi, mengamati teman barunya itu saksama. “Kamu mau jadi temanku?” Bintang tersenyum melihat tawa Dewi. “Kamu cantik,” pujinya tulus. “Nama kamu Dewi kan?”                 Gadis kecil itu mengangguk. Tanggapan Dewi untuk yang pertama kalinya ini membuat Bintang senang luar biasa. Paling tidak dia tahu kalau Dewi mengerti apa yang diucapkannya.
                Respon Dewi itu membuat mereka langsung akrab mengobrol. Meksi mengobrol versi Dewi dan Bintang adalah Bintang bicara dan Dewi tertawa.
“Dia siapa?” suara congkak Eko mengalihkan perhatian mereka.
“Namanya Dewi, katanya dia anak yang kemaren ditemu sama Bu Maman,” jawab Bintang. “Dia autis,” tambahnya sambil berbisik, meniru gaya perempuan bertopi biru tadi.
“Autis itu apa?”
Bintang mengangkat bahu. “Mungkin artinya nggak bisa bicara. Dari tadi aku ngomong dia cuma ketawa,” jawabnya sok tahu.
Eko mengangguk. Dia tak begitu peduli pada arti autis. Memang Dewi terlihat sedikit aneh, tapi baginya sama saja. Eko lalu mengajak dua gadis kecil itu bermain bersama anak-anak sewaan lain, teman-temannya. Asyik mereka berlarian kesana-kemari tak peduli pada hiruk pikuk keramaian terminal dan kehidupannya.
                Dia memang tak mengerti mengapa mereka harus ikut dengan wanita-wanita yang bukan ibunya itu. Bintang, Dewi, Eko dan sebagian besar anak lain masih terlalu kecil untuk mempertanyakannya. Yang mereka tahu, mereka telah melakukan itu sejak ingatan pertama yang bisa mereka putar ulang. Hampir seumur hidup mereka.
**
                Beberapa tahun kemudian, ketika Bintang sudah menjadi terlalu besar untuk digendong, tak ada lagi wanita yang menjemputnya di pagi hari. Satu kali pernah ada yang datang dan mengajaknya meminta-meminta lagi. “Matamu itu bisa menjadi modal yang bagus,” ujarnya mengamati mata kiri Bintang yang buta. Emak menatapnya bimbang. Bintang menggeleng. Dia tak akan mau melakukan itu apa pun alasannya.
                “Bintang bantu emak jualan aja ya, Mak,” kata Bintang begitu orang itu pergi.
                Emak berkaca-kaca menatap anak gadisnya. Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Mbak Kar dan beberapa wanita lain datang membawanya, kini Bintang telah tumbuh menjadi gadis delapan tahun yang cantik. Sayang sekali dia tak bisa merasakan bagaimana duduk di sebuah kelas mendengarkan penjelasan guru. Dia tak sekolah. Tapi dia berpendidikan sekali, entah darimana kedewasaan itu dia pelajari.
                “Maafkan emak, ya, Nak,” kata wanita tengah baya itu terbata.
                Bintang tersenyum saja. “Kata Pak Ustad, Allah suka sama orang yang bekerja keras. Bintang mau kok kerja apa saja buat mbantuin emak sama bapak. Kerja, dan bukannya minta-minta,” jelasnya. Takjub emak menatap anaknya. Pipinya terasa panas seperti habis ditampar. Bahkan seorang anak usia delapan tahun saja bisa mengatakan hal itu, bisa mengerti arti kehidupan sedalam itu, sementara selama ini dia masih mengartikan hidup sebatas untung dan rugi.
                Emak kembali menekuni wajan tempatnya menggoreng pisang sementara Bintang menata hasil gorengan emak ke dalam sebuah kotak dari plastik. “Udah, Mak. Bintang berangkat dulu ya,” ujarnya beberapa menit kemudian.
                “Hati-hati ya, Bin. Jangan terlalu dekat sama Eko,” pesan Emak. Bintang mencium tangan emak sambil tertawa. Eko kini tumbuh menjadi anak laki-laki gagah yang berotot. Dia mengamen, memiliki sebuah geng yang sebagian besar isinya anak-anak yang lebih tua. Menurut kabar, mereka suka mabuk-mabukan di belakang terminal, kadang-kadang malah mencopet di pasar, tapi tak ada yang mengusik. Tak ada selama mereka tak merugikan orang terminal lain.
                Baru saja menutup pintu, Bintang dikagetkan oleh sebuah tawa di belakangnya. Dewi. Sahabatnya itu tetap cantik seperti dulu, tetap suka tertawa seperti dulu, dan tetap menjadi peminta-minta seperti dulu. Tiap pagi Dewi datang ke rumah Bintang untuk bersama berangkat ke terminal.
                Di tempat yang makin hari makin sepi itu, mereka memulai hari mereka. Menjalani kehidupan mereka yang berbeda bersama-sama. Bintang dengan gorengannya, Dewi dengan autisnya yang mengundang iba, Eko dengan suara sembernya, emak dan warungnya, Pak Manto yang masih saja menjadi mandor pencari penumpang, bapak di balik kemudinya, Mbak Kar dan wanita-wanita dengan anak-anak sewaan baru mereka, semuanya hidup bersama dengan jalan yang berbeda, tanpa sadar menjadi sebuah keluarga.
                “Haduh, bus nya makin sering mogok saja,” keluh bapak begitu turun dari bus pagi itu.
                “Bus Bapak butuh diganti mungkin mesinnya,” sambung emak.
                “Ah, bus itu emang udah rongsokan. Tapi yang punya mana peduli? Yang penting kan mereka dapat uang. Kalau mogok atau kenapa-kenapa, sopir lagi yang disalahkan. Nasib orang kecil, Mak,” jawab bapak pasrah.
                Bintang berjalan medekat bersama Dewi. Mereka baru saja turun dari bus bapak. Selesai menjajakan gorengan dan mencari belas kasihan.
                Bapak masih menggerutu ketika mereka berpapasan. Pak Manto sudah memberi aba-aba waktunya bus untuk jalan. “Pak,” panggil emak. Bapak menoleh. “Hati-hati di jalan,” kata emak pelan. Bapak mengangguk. Tak biasanya emak mengatakan itu. bintang tersenyum saja melihat keromantisan sederhana mereka.
                “Terminal tambah sepi saja, ya,” keluh emak.
                Bintang membenarkan. “Sekarang udah pada punya kendaraan sendiri, Mak.”
                “Pas sepi-sepinya kayak gini juga masih aja ditarik duit mandor,” kata emak lagi.
                Bintang mengikuti pandangan emak, mendapati kernet bus bapak membagikan beberapa lembar uang seribuan kepada Pak Manto dan teman-temannya. Dia sebenarnya heran pada para mandor penumpang yang selalu menarik uang bahkan meski saat penumpang sedang sangat sepi seperti saat ini. Padahal kerja mereka kebanyakan hanya duduk-duduk dan berteriak saja. Sebenarnya tanpa mandor pun penumpang tahu kan bus mana yang mereka butuhkan. Tapi Bintang juga tahu di tempat itu mereka sama-sama cari makan. Dia tak bisa juga menyalahkan Pak Manto dan kawan-kawannya.
                Tak banyak yang tahu kalau di tempat itu Bintang belajar begitu banyak tentang kehidupan. Tentang dunia yang kejam. Tentang keadilan, kebersamaan, dan perbedaan. Dari orang-orang dengan berbagai latar belakang itu dia tahu caranya saling menerima. Caranya menjadi manusia yang manusiawi. Manusia yang memanusiakan manusia. Berbagi dan mengatur strategi bersamaan. Memainkan peran dalam sebuah diorama kehidupan dengan skala yang lebih kecil.
                Bintang mengamati bus bapak menghilang. Lalu berdiri ketika satu bus lain datang. Ada sesuatu dalam benaknya yang berdesir aneh. Masih setengah sadar dia bersama Dewi berlari menghampiri bus itu. Untuk kesekian kalinya menghadapi manusia-manusia dengan berbagai tabiat mereka.
**
                Terminal pagi ini ramai sekali. Pak Manto berseru pada Bintang dan Dewi begitu mereka datang. Bukan berteriak mencari penumpang seperti biasanya, Pak Manto berlari menghampiri mereka dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
                Tangan keriput itu menyodorkan koran ke hadapan Bintang. Di halaman pertama terlihat sebuah judul berita yang ditulis besar-besar, “Bus Kota Masuk Jurang”.
                AMBARAWA—Sebuah bus kota jurusan Jogja Semarang tergelincir dan masuk ke dalam jurang sedalam delapan meter hari ini (18/8) sekitar pukul lima pagi. Diperkirakan kecelakaan ini diakibatkan oleh keadaan bus yang sudah tak layak jalan. Kecelakaan ini menewaskan tiga orang termasuk kernet bus, sementara belasan lainnya luka-luka. Sampai berita ini diturunkan, sopir bus masih ditahan untuk dimintai keterangan……

Dien Ihsani
Borobudur, 25.08.2011
Juara I Sayembara Perdu kategori cerpen
Komunitas Penulis se-Ekskaresidenan Kedu

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih