Padang hujan badai kemarin. Katanya memang di sini sedang musim.
Aku sampai di Bumi Malin Kundang Senin siang ketika cuaca cerah sampai malam. Memang, tepat sebelum burung besiku terbang, ibuku sempat bertanya via telpon soal kondisi cuaca. Kata berita, semalam seluruh penerbangan ke Padang delay atau malah dibatalkan karena angin. Namun, penerbanganku berjalan menyenangkan tanpa halangan yang berarti. Hanya pegel karena kebetulan sandaran tempat dudukku tidak bisa dimundurkan. Aku baru tahu kalau ternyata Garuda masih punya kursi tua. Haha
Tapi angin kemarin siang ternyata mengerikan. Cuaca di sini terang, pun tetiba angin bertiup kencang, lalu hujan. Kulihat dari jendela hotel orang-orang berlarian merapikan meja-kursi restauran yang bergelimpangan. Tetiba aku ingat sign jalur evakuasi sunami yang dipasang di sepanjang jalan. Tetiba aku ingat hotel tempatku menginap hanya beberapa puluh meter saja dari bibir pantai. Tetiba aku ingat jam itu hampir berbarengan dengan waktu landing-ku kemarin.
Ada banyak kebetulan yang kita tak tahu,
Seperti kebetulan jam itu aku dan timku sedang "dikurung" di kamar kami masing-masing karena satu dan lain hal, padahal di jam itu sebenarnya kami punya jadwal ke luar. Seperti kebetulan kemarin cuaca cerah seharian padahal katanya di Padang memang sedang musim angin kencang. Seperti kebetulan karena suatu alasan kami "dipaksa" mencari hotel baru ketika cuaca sudah agak bersahabat, hotel baru yang sedikit lebih jauh dari pantai. Dan kebetulan kami sedang berkeliaran melanjutkan kegiatan yang tadi tertunda, di tempat aman mana entah ketika kubaca berita ada lima kali gempa di Sumatera Barat sesore kemarin.
Sepanjang pengalamanku dinas luar kota, pengalaman di Padang ini paling epic. Haha. Bukan soal kotanya. Padang bagiku nyaman. Meski matahari terik, tapi suasananya menyenangkan. Namun keadaan yang sedang terjadi padaku dan tim memang sedang mengerikan. Haha. Aku sebenarnya ketakutan semalam. Membayangkan apa yang harus aku lakukan kalau mendadak gempa datang. Belum lagi laporan yang posesif terus minta ditemani, ga mau ditinggal -_-"
Namun sore ini cerah. Aku masih harus menghadapi laporan menyebalkan seperti ketombe yang bikin gatal dan susah hilang ini ditemani secangkir teh hangat.
Sejenak kubiarkan memoriku melayang ke Padang sehari lalu ketika badai belum berlalu, lantas sore ini terasa lebih mudah. Kota ini mengajariku tentang jarak antara hidup dan mati itu mungkin lebih dekat dari dua buah jari. Padang mengajariku bahwa di mana pun kita, apa saja bisa terjadi jika memang sudah waktunya. Aku takut, tapi ini membuatku bersyukur masih hidup.
Pun sebagian aku melayang lebih jauh ke Solok dua ratus sembilan puluh bulan lalu, lantas aku seolah tahu arti kata rindu. Aku bersyukur pernah menginjakkan kaki di sini :di kotamu.
Padang, 28 September 2016
Dien Ihsani
Aku sampai di Bumi Malin Kundang Senin siang ketika cuaca cerah sampai malam. Memang, tepat sebelum burung besiku terbang, ibuku sempat bertanya via telpon soal kondisi cuaca. Kata berita, semalam seluruh penerbangan ke Padang delay atau malah dibatalkan karena angin. Namun, penerbanganku berjalan menyenangkan tanpa halangan yang berarti. Hanya pegel karena kebetulan sandaran tempat dudukku tidak bisa dimundurkan. Aku baru tahu kalau ternyata Garuda masih punya kursi tua. Haha
Tapi angin kemarin siang ternyata mengerikan. Cuaca di sini terang, pun tetiba angin bertiup kencang, lalu hujan. Kulihat dari jendela hotel orang-orang berlarian merapikan meja-kursi restauran yang bergelimpangan. Tetiba aku ingat sign jalur evakuasi sunami yang dipasang di sepanjang jalan. Tetiba aku ingat hotel tempatku menginap hanya beberapa puluh meter saja dari bibir pantai. Tetiba aku ingat jam itu hampir berbarengan dengan waktu landing-ku kemarin.
Ada banyak kebetulan yang kita tak tahu,
Seperti kebetulan jam itu aku dan timku sedang "dikurung" di kamar kami masing-masing karena satu dan lain hal, padahal di jam itu sebenarnya kami punya jadwal ke luar. Seperti kebetulan kemarin cuaca cerah seharian padahal katanya di Padang memang sedang musim angin kencang. Seperti kebetulan karena suatu alasan kami "dipaksa" mencari hotel baru ketika cuaca sudah agak bersahabat, hotel baru yang sedikit lebih jauh dari pantai. Dan kebetulan kami sedang berkeliaran melanjutkan kegiatan yang tadi tertunda, di tempat aman mana entah ketika kubaca berita ada lima kali gempa di Sumatera Barat sesore kemarin.
Sepanjang pengalamanku dinas luar kota, pengalaman di Padang ini paling epic. Haha. Bukan soal kotanya. Padang bagiku nyaman. Meski matahari terik, tapi suasananya menyenangkan. Namun keadaan yang sedang terjadi padaku dan tim memang sedang mengerikan. Haha. Aku sebenarnya ketakutan semalam. Membayangkan apa yang harus aku lakukan kalau mendadak gempa datang. Belum lagi laporan yang posesif terus minta ditemani, ga mau ditinggal -_-"
Namun sore ini cerah. Aku masih harus menghadapi laporan menyebalkan seperti ketombe yang bikin gatal dan susah hilang ini ditemani secangkir teh hangat.
Sejenak kubiarkan memoriku melayang ke Padang sehari lalu ketika badai belum berlalu, lantas sore ini terasa lebih mudah. Kota ini mengajariku tentang jarak antara hidup dan mati itu mungkin lebih dekat dari dua buah jari. Padang mengajariku bahwa di mana pun kita, apa saja bisa terjadi jika memang sudah waktunya. Aku takut, tapi ini membuatku bersyukur masih hidup.
Pun sebagian aku melayang lebih jauh ke Solok dua ratus sembilan puluh bulan lalu, lantas aku seolah tahu arti kata rindu. Aku bersyukur pernah menginjakkan kaki di sini :di kotamu.
Padang, 28 September 2016
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!