Berapa lama waktu dibutuhkan untuk seseorang bisa
berpengaruh dalam hidupmu?
Setahun kah?
Atau lebih lama lagi?
Aku mengenal seorang pria yang hanya dalam hitungan hari
mampu menarik atensiku pada seluruh omongannya.
Seluruh pemikirannya.
Sebagai gadis keras kepala yang dibesarkan dalam keluarga penjunjung
tinggi kemerdekaan berpendapat, aku jelas tak begitu saja setuju pada apa yang dia bicarakan.
Tapi, bahkan ketika kami tak sepakat, aku tak bisa tak
memberikan seluruh atensiku untuk mendengarnya.
Karena... segala sesuatu dalam kepalanya entah kenapa selalu
menarik.
Dia seperti ayahku.
Hampir seperti ayahku.
Menghadapinya seolah kutemukan sosok ayah baru.
Ketika begitu banyak orang meributkan tentang apa yang benar
dan apa yang salah, dia mengajarkanku untuk tidak mendebat.
Kita diberi dua telinga dan satu mulut untuk lebih banyak
mendengar dari pada bicara, seperti kata pepatah.
"Lebih seringlah jadi pengamat," katanya.
"Lantas lakukan halhal yang kau anggap benar.
Berdiskusilah tentang kebenaran-kebenaran, tapi ingat. Tak ada seorang pun punya kewajiban membenarkan benar kita, seperti kita tak wajib membenarkan benar siapa-siapa."
Karena kebenaran hanya cerita tentang keyakinan.
Kebenaran hanya teorema yang disepakati bersama.
Kebenaranku dan kebenarannya kadang berbeda, lantas kenapa?
Hati yang kuat adalah hati yang mampu mempertahankan
kebenaran yang diyakininya.
Sementara hati yang lapang adalah hati yang mampu menghargai
kebenaran orang lain yang tidak sejalan dengan kebenarannya.
Jadilah hati yang tangguh dan lapang.
Maka akan kau temukan bahwa dunia ini jauh lebih luas dari yang
kita pikirkan.
Jauh lebih indah.
Jauh lebih damai.
Entahlah.
Dia buatku berpikir tentang, benarkah dunia ini benar-benar bisa hancur jika
tak ada lagi kebenaran?
Atau mungkin justru penyebab kehancuran itu hanya karena terlalu
banyak pembenaran?
Karena kita selalu menyandingkan benar dengan salah.
Sehingga, kita terlalu yakin bahwa yang tidak benar adalah
salah.
Lantas kami menertawakan orang-orang yang atas nama
kebenaran justru lebih sibuk menyalahkan benar orang lain dari pada membiarkan
orang-orang berdamai dengan kebenarannya.
Iya, kami menertawakan.
Apa karena itu salah?
Bukan. Tentu saja bukan.
Hanya lucu saja.
Menurut mereka, mungkin yang mereka lakukan benar. Dan itu
sama sekali tak salah.
Kami dan mereka hanya berbeda persepsi soal kebenaran.
Lantas kenapa?
Ya tidak apa-apa.
Lantas, apa benar dunia ini akan hancur jika banyak orang
benar yang diam saja belihat ketidakbenaran?
Mungkin tidak.
Dunia ini akan hancur jika kita tidak mendengarkan kebenaran
kita.
Ketika kita memilih bungkam saat kebenaran kita berkata
jangan.
Atau justru memilih bersuara saat kebenaran kita meminta
diam.
Dunia ini akan hancur ketika kita mulai tak memiliki
keberanian untuk mengikuti kebenaran.
Dia seperti ayahku.
Persis seperti ayahku.
Katanya, yang berhak menentukan mana yang benar-benar benar dan mana yang benar-benar salah hanya Tuhan.
Kita tidak.
Salah manusia bukan hal yang bukan kebenaran kita.
Salah manusia adalah sesuatu yang jika kita lakukan, hati kita
tak tenang.
Sudah. Hanya itu saja.
Kita harus bisa menilai salah kita.
Salah orang lain biar jadi urusan Tuhan saja.
Lagi pula, benar kita sekarang belum tentu benar kita esok
atau lusa.
Kita toh cuma manusia.
Terlalu banyak yang kita pikir kita tahu ternyata tidak.
Jangan terjebak.
Berapa lama kudiskusikan ini dengannya?
Pembahasan berat ini kami lakukan sekilas saja di sela
cakap-cakap santai suatu sore.
Tak ada saling debat.
Cukup aku tahu kebenarannya dan dia tahu kebenaranku.
Lantas diskusi lebih dalam lagi kami biarkan terjadi dalam
kepala dan hati kami masing-masing.
Kami biarkan obrolan santai itu mengendap dan mengembangkan kebenaran
kami sendiri-sendiri, sambil kami membicarakan hal-hal lain.
Sekilas saja dan membekas lama.
Pak, bagi saya Anda sunggu sakti luar biasa.
Jakarta, 18 Maret 2016
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!