Banyak buku yang berisikan profil orang yang pernah saya baca menyebutkan "Jangan pedulikan perkataan orang lain, ini tentang hidupmu" dalam salah satu pesannya. Ketika saya membaca, rasanya seperti mudah sekali kedengarannya. Apalagi saya sendiri sebenarnya tipe orang yang cuek. Tipe orang dengan pandangan ini-saya-apa-adanya-terus-situ-mau-apa.
Tapi meski berbekal basic seperti itupun tetap saja sulit untuk tidak mempedulikan apa yang orang lain katakan. Trlebih jika orang lain itu bukan sembarang orang. Ketika dia adalah orang yang sama sekali tak ingin saya kecewakan, bagaimana bisa saya tidak mempedulikan apa yang dia katakan? Bahkan meski penilaiannya berlawanan dengan apa yang saya inginkan, saya tak bisa menolah diri saya untuk mempedulikannya. Saya tak bisa mencegah diri saya untuk menimbangnya, lalu bingung sendiri.
Saya rasa semua orang pernah mengalami fase ini. Si permberi pesan yang profilnya dibukukan itu pun saya yakin pernah berada pada posisi ini. Saya ingin sekali merutuk penyusun buku yang biasanya hanya bmemberikan garis besar teori, tanpa aksi konkret bagaimana dia bertahan. Seperti semua orang tahu untuk mencapai garis finish, seorang pelari hanya perlu berlari. Namun bagaimana dia bertahan ketika lelahnya memaksa dia berhenti, who knows?
Ah, sudahlah.
Saya sedang kebingungan dengan jalan yang akan saya ambil. Saya ini ibaratnya sedang berada di persimpangan. Saya selalu percaya tak ada jalan yang benar-benar salah, sebenarnya. Tapi bagaimana pun, nyasar di waktu yang tidak tepat itu kadang bisa menguapkan mood hingga habis sama sekali. Memang sih dari beberapa kali saya nyasar, pada akhirnya saya selalu menemukan jalan untuk kembali. Analoginya seperti itu, tapi ini lebih kompleks.
Artikel yang kemarin saya baca bilang, lakukan hal paling kamu suka. Satu saja, jangan semuanya.
Saya tahu. Mustahil kita bisa menenggelamkan diri di dua kubangan yang berbeda kan? Untuk bisa tenggelam, saya harus memilih satu saja kubangan yang akan saya jeburi. Di sini saja saya sudah kesulitan. Kenyataanya adalah apa yang saya sukai bukan jalan hidup yang disarankan ibu saya. Hedeh.
Padahal kalau ditanya, ibu saya mungkin adalah orang yang paling tidak ingin saya kecewakan. Saya tahu benar apa yang sebenarnya ibu saya maksudkan. Bukan lewat jalan yang ibu saya sarankan pun sebenarnya bisa. Tapi... ini rumit.
Kegalauan lain, bahkan kalau ibu saya perbolehkan saya memilih jalan saya sendiri pun, seperti ibu saya selalu apa akhirnya berkata, "Terserah kamu. Tapi, bertanggungjawablah!", saya punya banyak sekali kesenangan yang saya bingung kalau harus memilih hanya satu.
Aaahhhhh...
Andai saya cuma punya satu hobi, saya kan jadi tahu apa yang harus benar-benar saya perjuangkan dulu. Hidup ini kan memang pilihan tanpa henti-henti. Saya percaya benar kalimat itu. Saya sering mengucapkannya.
Tapi ini tetap saja menyebalkan.
Tapi meski berbekal basic seperti itupun tetap saja sulit untuk tidak mempedulikan apa yang orang lain katakan. Trlebih jika orang lain itu bukan sembarang orang. Ketika dia adalah orang yang sama sekali tak ingin saya kecewakan, bagaimana bisa saya tidak mempedulikan apa yang dia katakan? Bahkan meski penilaiannya berlawanan dengan apa yang saya inginkan, saya tak bisa menolah diri saya untuk mempedulikannya. Saya tak bisa mencegah diri saya untuk menimbangnya, lalu bingung sendiri.
Saya rasa semua orang pernah mengalami fase ini. Si permberi pesan yang profilnya dibukukan itu pun saya yakin pernah berada pada posisi ini. Saya ingin sekali merutuk penyusun buku yang biasanya hanya bmemberikan garis besar teori, tanpa aksi konkret bagaimana dia bertahan. Seperti semua orang tahu untuk mencapai garis finish, seorang pelari hanya perlu berlari. Namun bagaimana dia bertahan ketika lelahnya memaksa dia berhenti, who knows?
Ah, sudahlah.
Saya sedang kebingungan dengan jalan yang akan saya ambil. Saya ini ibaratnya sedang berada di persimpangan. Saya selalu percaya tak ada jalan yang benar-benar salah, sebenarnya. Tapi bagaimana pun, nyasar di waktu yang tidak tepat itu kadang bisa menguapkan mood hingga habis sama sekali. Memang sih dari beberapa kali saya nyasar, pada akhirnya saya selalu menemukan jalan untuk kembali. Analoginya seperti itu, tapi ini lebih kompleks.
Artikel yang kemarin saya baca bilang, lakukan hal paling kamu suka. Satu saja, jangan semuanya.
Saya tahu. Mustahil kita bisa menenggelamkan diri di dua kubangan yang berbeda kan? Untuk bisa tenggelam, saya harus memilih satu saja kubangan yang akan saya jeburi. Di sini saja saya sudah kesulitan. Kenyataanya adalah apa yang saya sukai bukan jalan hidup yang disarankan ibu saya. Hedeh.
Padahal kalau ditanya, ibu saya mungkin adalah orang yang paling tidak ingin saya kecewakan. Saya tahu benar apa yang sebenarnya ibu saya maksudkan. Bukan lewat jalan yang ibu saya sarankan pun sebenarnya bisa. Tapi... ini rumit.
Kegalauan lain, bahkan kalau ibu saya perbolehkan saya memilih jalan saya sendiri pun, seperti ibu saya selalu apa akhirnya berkata, "Terserah kamu. Tapi, bertanggungjawablah!", saya punya banyak sekali kesenangan yang saya bingung kalau harus memilih hanya satu.
Aaahhhhh...
Andai saya cuma punya satu hobi, saya kan jadi tahu apa yang harus benar-benar saya perjuangkan dulu. Hidup ini kan memang pilihan tanpa henti-henti. Saya percaya benar kalimat itu. Saya sering mengucapkannya.
Tapi ini tetap saja menyebalkan.
nice.. follow blognya mas jg dong.. hehe
ReplyDeletehttp://doelrakhman.blogspot.com/
Done. Makasih, Mas :)
ReplyDelete