"Saya tidak tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! --adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak--kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu."
18 Agustus 1899
Surat R. A. Kartini kepada Nona Zeehandelaar
Penggalan surat yang aku dapat dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya Armijn Pane yang sedang aku baca itu membuatku kepikiran sesuatu. Seperti biasanya, alam pikiran adalah alam dimana bebas itu bukan hanya omong kosong. Tak ada yang berhak melarang kita berpikir tanpa alasan, tak peduli bersih pun kotor. Benar. Kartini menguatkan pendapatku soal alam merdeka ini.
Di masa itu, 1899, sekitar 114 tahun yang lalu, dimana wanita masih menjadi kaum-nomor-dua, pasti bukan hal mudah berpendapat. Namun tak seorang pun bisa mencegah seorang Kartini berpikir. Tak seorang pun bisa mencegah pahlawan-pahlawan wanita lain berfantasi. Tentang kebebasan, tentang persamaan hak, atau segala hal yang kita kenal sebagai emansipasi.
Namun kali ini aku bukan ingin membahas emansipasi. Kalimat yang menggelitik kepalaku justru bagian "bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu". Aku jadi ingat bahwa aku pernah kepikiran untuk mulai blogging dengan bahasa Inggris.
Bukan untuk menjadi sok keren. Bahasa Inggrisku belum cukup bagus untuk bisa dipakai sok keren. Aku hanya ingin berbagi lebih ke lebih banyak orang. Dimengerti oleh lebih banyak orang.
Namun kutipan itu mengingatkanku lagi pada ilmu yang pernah aku dapat dari bedah buku "Soeharto the Untold Stories". Terlepas kontroversi bagaimana rakyat menilai presiden kedua RI itu, kenyataan bahwa beliau adalah pria yang mencintai bangsanya sungguh patut diacungi jempol. Dalam bedah buku itu diceritakan bahwa Pak Harto selalu menggunakan Bahasa Indonesia dalam tiap pidatonya. Tidak peduli dia ada di negaranya, dia sedang mengadakan konverensi dengan negara lain, bahkan ketika bidara di PBB. Beliau selalu menggunakan Bahasa Indonesia sampai dikira tidak bisa berbahasa Inggris.
Hingga suatu kali Pak Harto membenarkan perkataan penerjemahnya yang salah mengartikan apa yang beliau ucapkan. Kagetlah mereka mengetahui bahwa Pak Harto ternyata fasih berbahasa internasional itu. Ketika ditanya kenapa Pak Harto selalu berbahasa Indonesia, jawaban beliau kira-kira begini: "Mendengarkan itu kebutuhan mereka. Kalau mereka ingin tahu apa yang saya bicarakan, ya biar mereka yang belajar bahasa saya."
Istilah sekarangnya mungkin kayak: mereka yang butuh tahu, kenapa harus kita yang repot pakai bahasa mereka?
Jleb!
Banyak sekali buku, lagu, karya yang ditulis dengan bahasa internasional demi bisa menginspirasi orang sedunia.
Tadi aku mendadak berpikir, siapa sih yang mau kita inspirasi?
Kebutuhan penulis itu hanya menginspirasi, diinspirasi itu kebutuhan orang yang membaca. Jadi biar dia yang belajar untuk tahu apa yang aku pikirkan. Memang benar cerdas itu adalah ketika kita bisa mengutarakan apa yang kita pikirkan dengan bahasa yang orang lain mengerti. Tapi bagiku itu bukan berarti harus menggunakan bahasa yang aku sendiri tak begitu mengerti, meski dipakai lebih dari sepertiga penduduk dunia.
Aku diajarkan untuk mengutamakan yang terdekat denganku. Kalau aku berusaha berbagi pandangan, aku akan melakukan untuk orang-orang di sekitarku dulu. Lagipula sefasih apapun kita dengan bahasa asing, akan jauh lebih mudah mengutarakan pikiran dalam bahasa ibu. Lagipula sefasih apapun orang indonesia mengerti tulisan berbahasa inggris, akan tetap ada feel-feel yang hilang dalam terjemahan. Entah pembaca salah mengartikan, atau penulis salah menyampaikan.
Lagipula, siapa sih yang akan membanggakan bahasa indonesia kalau bukan orang indonesia sendiri?
Mungkin ini hanya berlaku padaku, tapi aku percaya kita tak akan bisa mengubah apapun kecuali dari yang paling kecil, dari yang terdekat, dan dari sekarang. Jadi tak perlulah sok menginspirasi dunia kalau itu justru membuat orang-orang di sekitarku tidak mengerti aku lagi ngomongin apa.
Belajarlah sebanyak mungkin. Kuasailah kalau perlu semua bahasa. Bukan agar kita bisa bercakap-cakap dengan bahasa mereka, tapi biar kita mengerti apa yang mereka pikirkan.
Karena kebutuhan orang bicara itu hanya berpikir, mengerti itu kebutuhan yang mendengarkan.
Entahlah. Tapi ini berlaku padaku.
Penggalan surat yang aku dapat dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya Armijn Pane yang sedang aku baca itu membuatku kepikiran sesuatu. Seperti biasanya, alam pikiran adalah alam dimana bebas itu bukan hanya omong kosong. Tak ada yang berhak melarang kita berpikir tanpa alasan, tak peduli bersih pun kotor. Benar. Kartini menguatkan pendapatku soal alam merdeka ini.
Di masa itu, 1899, sekitar 114 tahun yang lalu, dimana wanita masih menjadi kaum-nomor-dua, pasti bukan hal mudah berpendapat. Namun tak seorang pun bisa mencegah seorang Kartini berpikir. Tak seorang pun bisa mencegah pahlawan-pahlawan wanita lain berfantasi. Tentang kebebasan, tentang persamaan hak, atau segala hal yang kita kenal sebagai emansipasi.
Namun kali ini aku bukan ingin membahas emansipasi. Kalimat yang menggelitik kepalaku justru bagian "bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu". Aku jadi ingat bahwa aku pernah kepikiran untuk mulai blogging dengan bahasa Inggris.
Bukan untuk menjadi sok keren. Bahasa Inggrisku belum cukup bagus untuk bisa dipakai sok keren. Aku hanya ingin berbagi lebih ke lebih banyak orang. Dimengerti oleh lebih banyak orang.
Namun kutipan itu mengingatkanku lagi pada ilmu yang pernah aku dapat dari bedah buku "Soeharto the Untold Stories". Terlepas kontroversi bagaimana rakyat menilai presiden kedua RI itu, kenyataan bahwa beliau adalah pria yang mencintai bangsanya sungguh patut diacungi jempol. Dalam bedah buku itu diceritakan bahwa Pak Harto selalu menggunakan Bahasa Indonesia dalam tiap pidatonya. Tidak peduli dia ada di negaranya, dia sedang mengadakan konverensi dengan negara lain, bahkan ketika bidara di PBB. Beliau selalu menggunakan Bahasa Indonesia sampai dikira tidak bisa berbahasa Inggris.
Hingga suatu kali Pak Harto membenarkan perkataan penerjemahnya yang salah mengartikan apa yang beliau ucapkan. Kagetlah mereka mengetahui bahwa Pak Harto ternyata fasih berbahasa internasional itu. Ketika ditanya kenapa Pak Harto selalu berbahasa Indonesia, jawaban beliau kira-kira begini: "Mendengarkan itu kebutuhan mereka. Kalau mereka ingin tahu apa yang saya bicarakan, ya biar mereka yang belajar bahasa saya."
Istilah sekarangnya mungkin kayak: mereka yang butuh tahu, kenapa harus kita yang repot pakai bahasa mereka?
Jleb!
Banyak sekali buku, lagu, karya yang ditulis dengan bahasa internasional demi bisa menginspirasi orang sedunia.
Tadi aku mendadak berpikir, siapa sih yang mau kita inspirasi?
Kebutuhan penulis itu hanya menginspirasi, diinspirasi itu kebutuhan orang yang membaca. Jadi biar dia yang belajar untuk tahu apa yang aku pikirkan. Memang benar cerdas itu adalah ketika kita bisa mengutarakan apa yang kita pikirkan dengan bahasa yang orang lain mengerti. Tapi bagiku itu bukan berarti harus menggunakan bahasa yang aku sendiri tak begitu mengerti, meski dipakai lebih dari sepertiga penduduk dunia.
Aku diajarkan untuk mengutamakan yang terdekat denganku. Kalau aku berusaha berbagi pandangan, aku akan melakukan untuk orang-orang di sekitarku dulu. Lagipula sefasih apapun kita dengan bahasa asing, akan jauh lebih mudah mengutarakan pikiran dalam bahasa ibu. Lagipula sefasih apapun orang indonesia mengerti tulisan berbahasa inggris, akan tetap ada feel-feel yang hilang dalam terjemahan. Entah pembaca salah mengartikan, atau penulis salah menyampaikan.
Lagipula, siapa sih yang akan membanggakan bahasa indonesia kalau bukan orang indonesia sendiri?
Mungkin ini hanya berlaku padaku, tapi aku percaya kita tak akan bisa mengubah apapun kecuali dari yang paling kecil, dari yang terdekat, dan dari sekarang. Jadi tak perlulah sok menginspirasi dunia kalau itu justru membuat orang-orang di sekitarku tidak mengerti aku lagi ngomongin apa.
Belajarlah sebanyak mungkin. Kuasailah kalau perlu semua bahasa. Bukan agar kita bisa bercakap-cakap dengan bahasa mereka, tapi biar kita mengerti apa yang mereka pikirkan.
Karena kebutuhan orang bicara itu hanya berpikir, mengerti itu kebutuhan yang mendengarkan.
Entahlah. Tapi ini berlaku padaku.
Banjarsari, 05 November 2013
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!