Skip to main content

Cerita Tentang Jakarta



Bagiku, pindah dari daerah ke ibu kota itu bukan sesuatu yang sederhana. Jujur aja, pada masanya Jakarta bagiku hanyalah sebuah nama. Tempat yang tak pernah aku bayangkan akan aku injak dalam waktu lama.

Gedung dimana-mana. Orang-orang tergesa. Damn plat B (mine damn too now) memenuhi jalanan~
.
Dan ternyata, ketika alurku benar-benar menambatkan aku di Jakarta, every single things even worse.

Bukan cuma kotanya yang ga aku banget; tapi juga lingkungannya. Pola pergaulannya.
Orang-orangnya. Guyonannya. Semua.

Semesta Jakarta seolah sengaja diciptakan bukan untuk pribadi macam aku.

Sungguh sulit bagiku yang selama kuliah 4 tahun di Semarang yang sebenernya ga kampung-kampung
amat tapi masuk mall bisa dihitung jari, jadi anak yang hampir setiap minggu minimal sekali masuk mall.

Ya Allah berapa kali pada masanya setiap bulan aku selalu bilang, “Aku kangen ADAAAA..”
(anak Semarang pasti ngerti).

Sulit buat anak yang suka tongkrong tapi ga suka keramaian macam aku untuk menempatkan diri dalam kelompok macam apa di Jakarta.

Terus aku kaget karena orang-orang di sini kalau liat orang pake apa, bisa loh nebak merk nya! Bisa loh
tahu harganya! HAHAHA. Ini bukan cuma soal Jakarta atau daerah sih sebenernya. Cuma populasi
yang paham merk dan harga di sini lebih banyak aja.

Terus sekarang lama-lama akhirnya aku tahu bedanya barang bagus sama enggak. Walau aku tetep aja
belum punya motivasi untuk mengejarnya. Mentok sebatas kagum aja. Dasar sudra. HAHAHA
Terus juga kalau nama-nama merk tetep ga apal dong yaa. Jadi kalau diajak ngobrol sama anak lama
Jakarta tetep aja ga paham.

Ya mon maap suruh ngapalin nama anak sekelas aja butuh waktu jutaan tahun, apalagi merk yang
maen bareng aja ga pernah.

Well, di sini aku jadi sadar kalau: FIX, AKU SELAMANYA GA BAKAL MASUK DALAM JAJARAN
ORANG-ORANG KEREN.

Wkwkwk.

Does it easy? Sometimes, yes. Kalau aku sih memang tidak terlahir dengan gen hits, jadi ya bisa biasa aja jadi orang biasa aja.

Cuma sering kali ga mudah. Kenapa? Karena susaaaahh cari circle yang satu frekuensi sama aku
kalau aku ngotot kolot

To be honest, aku yang sanguis perlahan plegmatis menghadari jakarta. Kadang lebih milih diem aja
ketika semesta terlalu hiruk pikuk untukku bercengkerama. Terlalu bising soal halhal yang aku ga paham.

Dulu aku masih bisa meluangkan weekend aku buat jalan-jalan sama anak-anak yang seradar.
Main ke museum, ngunjungin list tempat wisata di Jakarta (dan list mall ga nambah-nambah cuma
itu-itu yang deket aja meski masuk dalam list tempat wisata Jakarta yang kudapat dari Museum Nasional; tongkrong di stasiun dengan tidak jelasnya sampai diketawain satpam gegara kartunya udah gabisa tap out karena kelamaan, nyobain moda transportasi yang cuma naik dan turun di tempat yang sama.

Well, ini mungkin memang bukan cuma karena Jakarta atau lingkungannya. Mungkin karena dengan
bekerja dan apalagi sudah berkeluarga, waktu luang dan tenagaku sudah tidak sebanyak dulu untuk ga
mager berpetualang. Bahkan cuma buat melakukan sesuatu yang kupikir passion aja sudah susah; jarang nulis, jarang baca buku sampe abis, jarang gambar, jarang iseng main warna.

Ya gimana di Jakarta emang perjalanan dari rumah ke tempat kerja aja udah sama kayak
menempuh waktu Semarang ke Magelang. Dulu kulakukan seminggu sekali, sekarang tiap hari;
dua kali sehari. Energi kita semua anak pinggiran Jakarta yang mencari rizki di ibu kota ini habislah
di jalan.

Hidupku kadang jadi kayak gitu-gitu aja. Kadang ngerasa kayak kehilangan diri sendiri, emang.
Tapi toh pada akhirnya kita semua akan beradaptasi kan.

Kadang sedih kalau inget quote Seno Gumira Ajidarma soal masa muda di Jakarta. Terus seorang
kawan asli Jakarta pernah nanya, "Ya kenapa kamu masih di Jakarta? Pergi aja."

Juga seorang kawan di Magelang pernah bilang, "Akhirnya tergiur sama kapitalisme ibu kota ya?"

Bahkan sampai sekarang aku masih punya mimpi untuk mengisi hari tua di daerah aja nanti.

Tapi di satu sisi, aku yakin kalau Allah kasih rizki sudah sesuai porsinya masing-masing. Qodarullah
kok dapat kerja di Jakarta terus sampai dipertemukan dengan suami juga. Bahkan ketika sekarang ibu
kota katanya mau pindah, dalam hatiku berharap tetap di Jakarta.

Dengan segala hiruk pikuknya.

Dengan segala semestanya yang mengubahku secara personal.

Dengan segala penat lelahnya.

Dengan manusianya yang asli dan pendatang yang kadang saling membenci keadaan satu sama lain
tapi dipersatukan oleh realita kehidupan.

Karena sesungguhnya bahagia dan kenangan itu kita sendiri yang ciptakan.


Jakarta, Januari 2020
Untuk ibu kota dariku anak daerah yang ikut menyesakkannya. Yang mencoba tetap idealis sok ndeso tapi kadang perlu panjat sosial juga biar bisa bertahan.

Comments

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih