Aku membencinya. Kau, meski selama ini diam saja, pasti tahu itu. Malam ini aku hampir meledak dibuatnya. Meski tetap saja kebencian yang sekian lama kupendam tak bisa begitu saja kuluapkan. Tidak tanpa menyakitimu, dan aku tidak mau itu.
Kalian di mataku seperti sebuah pembelajaran dan kamus pantangan. Seperti kebanyakan pembelajaran, rasanya tidak menyenangkan. Iya, melihat kalian sama sekali tidak menyenangkan.
Tapi, bagaima pun, sepertinya aku harus berterima kasih padamu untuk menghadirkannya dalam hidupku.
Dari kalian aku belajar banyak, salah satunya tentang menilai seorang pria. Meski melihatmu aku jadi berpikir bahwa cinta mungkin memang bisa hadir seiring waktu, aku sama sekali tidak mau terjebak hubungan semu dengan pria kekanak-kanakan seperti yang harus kau habiskan di sisa hidupmu. Wanita, sekuat apa pun dia, perlu dibimbing dan bukan sebaliknya. Wanita, seberapa keras pun kepalanya, perlu dominasi pria dan bukan sebaliknya.
Sementara di mataku dia terlihat seperti kotoran hitam di ujung kukumu saja, tidak lebih.
Pria tidak seharusnya seperti itu. Bersamanya kamu justru tampak seperti habis mengadopsi seorang bayi alih-alih menemukan pendamping. Wanita sepertimu, tidak layak berlindung di balik pria sepertinya. Pundaknya kurang tegap untuk kau jadikan tempat bersandar ketika lelah. Dia malah seperti anak kemarin sore yang selalu saja merengek setiap kali kebutuhannya tidak terpenuhi. Dia yang seharusnya memenuhi kebutuhanmu dan bukan sebaliknya.
Wanita sepertimu, harusnya bisa mendapatkan pria yang lebih baik darinya. Aku bahkan tak yakin kau tak terlalu panjang untuk menjadi tulang rusuk yang hilang di dadanya yang tak seberapa bidang itu. Kau terlalu tangguh untuk pria macam dia. Seperti dia yang selalu terlalu kekanak-kanakan untuk sanggup menjadi tulang punggungmu.
Mungkin juga bukan sepenuhnya salah dia. Dia toh masih begitu muda. Salahmu sendiri mengira obsesi belianya sebagai sebuah keseriusan. Dia hanya anak muda yang masih mudah limbung. Kadang tampak yakin, lalu mendadak bingung. Kamu harusnya tahu bahwa meski tidak mutlak begitu, usia tetap menentukan tingkat kematangan seseorang.
Entah bagaimana kamu bisa bertahan. Ikrar kalian kadung tercatat untuk dipegang selamanya. Ikrar kalian kadung janji sampai mati.
Dia seperti mengajariku untuk mendaftar pria-pria yang tak layak dipertimbangkan. Dia seperti memeringatkanku untuk berhati-hati. Biar aku tak terjebak seumur hidup sepertimu. Karena melihat kalian, aku jadi meyadari bahwa "kontrak-mati" yang diikrarkan dengan bahagia itu bukan cuma soal cinta. Bahwa kontrak itu tak bisa hanya mengikat kalian berdua pada akhirnya. Bahwa ada nyawa-nyawa tak berdosa yang lalu harus ikut merasakan baik-buruk akibat dari ikrar itu pada akhirnya.
Aku tidak ingin terjebak dalam hubungan semua dengan pria kekanak-kanakan sepertimu. Aku tidak ingin menjebak keturunanku dalam darah semu dari pria kekanak-kanakan macam dia.
Kalian di mataku seperti sebuah pembelajaran dan kamus pantangan. Seperti kebanyakan pembelajaran, rasanya tidak menyenangkan. Iya, melihat kalian sama sekali tidak menyenangkan.
Tapi, bagaima pun, sepertinya aku harus berterima kasih padamu untuk menghadirkannya dalam hidupku.
Dari kalian aku belajar banyak, salah satunya tentang menilai seorang pria. Meski melihatmu aku jadi berpikir bahwa cinta mungkin memang bisa hadir seiring waktu, aku sama sekali tidak mau terjebak hubungan semu dengan pria kekanak-kanakan seperti yang harus kau habiskan di sisa hidupmu. Wanita, sekuat apa pun dia, perlu dibimbing dan bukan sebaliknya. Wanita, seberapa keras pun kepalanya, perlu dominasi pria dan bukan sebaliknya.
Sementara di mataku dia terlihat seperti kotoran hitam di ujung kukumu saja, tidak lebih.
Pria tidak seharusnya seperti itu. Bersamanya kamu justru tampak seperti habis mengadopsi seorang bayi alih-alih menemukan pendamping. Wanita sepertimu, tidak layak berlindung di balik pria sepertinya. Pundaknya kurang tegap untuk kau jadikan tempat bersandar ketika lelah. Dia malah seperti anak kemarin sore yang selalu saja merengek setiap kali kebutuhannya tidak terpenuhi. Dia yang seharusnya memenuhi kebutuhanmu dan bukan sebaliknya.
Wanita sepertimu, harusnya bisa mendapatkan pria yang lebih baik darinya. Aku bahkan tak yakin kau tak terlalu panjang untuk menjadi tulang rusuk yang hilang di dadanya yang tak seberapa bidang itu. Kau terlalu tangguh untuk pria macam dia. Seperti dia yang selalu terlalu kekanak-kanakan untuk sanggup menjadi tulang punggungmu.
Mungkin juga bukan sepenuhnya salah dia. Dia toh masih begitu muda. Salahmu sendiri mengira obsesi belianya sebagai sebuah keseriusan. Dia hanya anak muda yang masih mudah limbung. Kadang tampak yakin, lalu mendadak bingung. Kamu harusnya tahu bahwa meski tidak mutlak begitu, usia tetap menentukan tingkat kematangan seseorang.
Entah bagaimana kamu bisa bertahan. Ikrar kalian kadung tercatat untuk dipegang selamanya. Ikrar kalian kadung janji sampai mati.
Dia seperti mengajariku untuk mendaftar pria-pria yang tak layak dipertimbangkan. Dia seperti memeringatkanku untuk berhati-hati. Biar aku tak terjebak seumur hidup sepertimu. Karena melihat kalian, aku jadi meyadari bahwa "kontrak-mati" yang diikrarkan dengan bahagia itu bukan cuma soal cinta. Bahwa kontrak itu tak bisa hanya mengikat kalian berdua pada akhirnya. Bahwa ada nyawa-nyawa tak berdosa yang lalu harus ikut merasakan baik-buruk akibat dari ikrar itu pada akhirnya.
Aku tidak ingin terjebak dalam hubungan semua dengan pria kekanak-kanakan sepertimu. Aku tidak ingin menjebak keturunanku dalam darah semu dari pria kekanak-kanakan macam dia.
tempat di mana selalu ada ruang untuk sembunyi, 05 September 2014
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!