Belajar dari apa yang salah seorang sahabatku ceritakan semalam. Adalah sesuatu yang wajar kalau kita mengatakan: menyatukan banyak kepala itu tidak mudah. Tidak mudah menahkodai sebuah kapal yang memuat penumpang-penumpang dengan berbagai macam kepentingan, berbagai macam misi, berbagai macam harapan, berbagai macam pandangan melalui satu jalan untuk mencapai satu tujuan. Pasti selalu ada persimpangan. Aku sendiri beberapa kali pernah mengalaminya.
Bijak itu tidak sesederhana melafalkannya.
Ada kalanya seorang pemimpin dihadapkan pada pilihan untuk menjaga keutuhan atau tujuan. Ketika di tengah jalan kita menemukan hal-hal yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan, banyak kepala akan menghasilkan banyak pendapat. Bukan sesuatu yang selalu buruk memang artinya. Kadang hal
ini akan melahirkan banyak jalan keluar, atau banyak masalah. Setiap pemimpin harus mendengarkan setiap pendapat, namun juga memiliki egonya sendiri untuk berpendapat. Menjadi sesuatu yang membingungkan ketika lalu keputusan yang diambilnya tak bisa diterima oleh sebagian anggotanya. Kehilangan satu atau banyak orang itu rasanya sama.
Bijak itu tidak sesederhana melafalkannya.
Ada kalanya seorang pemimpin akan sampai pada titik jenuh, ketika dia merasa ditinggalkan. Kadang rasanya seperti kita dipaksa untuk memimpin sementara yang meminta tak menunjukkan sikap mau dipimpin. Rasanya seperti satu-satunya kalimat yang ingin diucap hanya, "I'm quit!!" lalu terjun ke laut dan menyaksikan bagaimana keadaan kapal tanpa kita sebagai nahkoda. Tanggung jawab yang besar selalu menimbulkan rasa lelah yang juga luar biasa besar. Seolah kita merasa menjadi tumbal. Ditumpukan untuk melaksanakan semua pekerjaan.
Bijak itu tidak sesederhana melafalkannya.
Tak seorang pemimpin hebat pun tak pernah merasa gagal. Tapi mereka menjadi hebat karena mereka bertahan. Bahkan ketika tak seorang anak kapal pun percaya lagi padanya, seorang nahkoda tak berhak mangkir dari tugasnya kecuali dikudeta. Bukan jatah seorang pemimpin untuk memutuskan mundur. Penumpang boleh menyerah, nahkoda tidak. Semua orang berhak menyerah, tapi pemimpin tidak. Pemimpin hanya boleh berhenti ketika dia memang diharuskan untuk berhenti. Selain itu tidak. Bahkan meski dia ditinggal sendiri, meski dia merasa begitu gagalnya hingga tak mampu melangkah lagi, meski seolah tak ada jalan maju lagi, seorang pemimpin tak boleh berhenti.
Karena kegagalan yang sebenarnya adalah ketika kita menyerah.
Tak seorang pemimpin hebat pun tak pernah merasa gagal. Namun tak seorang pemimpin hebat pun pernah benar-benar gagal, karena mereka bertahan.
FSM, 11.12.12
Dien Ihsani
Bijak itu tidak sesederhana melafalkannya.
Ada kalanya seorang pemimpin dihadapkan pada pilihan untuk menjaga keutuhan atau tujuan. Ketika di tengah jalan kita menemukan hal-hal yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan, banyak kepala akan menghasilkan banyak pendapat. Bukan sesuatu yang selalu buruk memang artinya. Kadang hal
ini akan melahirkan banyak jalan keluar, atau banyak masalah. Setiap pemimpin harus mendengarkan setiap pendapat, namun juga memiliki egonya sendiri untuk berpendapat. Menjadi sesuatu yang membingungkan ketika lalu keputusan yang diambilnya tak bisa diterima oleh sebagian anggotanya. Kehilangan satu atau banyak orang itu rasanya sama.
Bijak itu tidak sesederhana melafalkannya.
Ada kalanya seorang pemimpin akan sampai pada titik jenuh, ketika dia merasa ditinggalkan. Kadang rasanya seperti kita dipaksa untuk memimpin sementara yang meminta tak menunjukkan sikap mau dipimpin. Rasanya seperti satu-satunya kalimat yang ingin diucap hanya, "I'm quit!!" lalu terjun ke laut dan menyaksikan bagaimana keadaan kapal tanpa kita sebagai nahkoda. Tanggung jawab yang besar selalu menimbulkan rasa lelah yang juga luar biasa besar. Seolah kita merasa menjadi tumbal. Ditumpukan untuk melaksanakan semua pekerjaan.
Bijak itu tidak sesederhana melafalkannya.
Tak seorang pemimpin hebat pun tak pernah merasa gagal. Tapi mereka menjadi hebat karena mereka bertahan. Bahkan ketika tak seorang anak kapal pun percaya lagi padanya, seorang nahkoda tak berhak mangkir dari tugasnya kecuali dikudeta. Bukan jatah seorang pemimpin untuk memutuskan mundur. Penumpang boleh menyerah, nahkoda tidak. Semua orang berhak menyerah, tapi pemimpin tidak. Pemimpin hanya boleh berhenti ketika dia memang diharuskan untuk berhenti. Selain itu tidak. Bahkan meski dia ditinggal sendiri, meski dia merasa begitu gagalnya hingga tak mampu melangkah lagi, meski seolah tak ada jalan maju lagi, seorang pemimpin tak boleh berhenti.
Karena kegagalan yang sebenarnya adalah ketika kita menyerah.
Tak seorang pemimpin hebat pun tak pernah merasa gagal. Namun tak seorang pemimpin hebat pun pernah benar-benar gagal, karena mereka bertahan.
FSM, 11.12.12
Dien Ihsani
Comments
Post a Comment
Semua di sini adalah opini. Let's discuss!