Skip to main content

Mereka Tua dan Istimewa

Berapa harga air mata?
Entahlah. Dari kecil, tak ada yang mengajarkan aku caranya menghitung rasa.

Mungkin semurah sol sepatu Mbah Sarno yang kutemukan di blog Agus Sasmito beberapa detik lalu, yang dengan rendah hatinya berdo'a: "Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendak-Mu."

Entah kapan terakhir kali aku memasrahkan apa yang kujalani pada kehendak Tuhan. Seingatku, masih selalu hamba ingin ini hamba ingin itu. Aku yang sebegini muda, terlalu banyak pinta. Sementara kaki tua Mbah Sarno mengayuh sepeda seharian dan hanya itu yang dia pintakan pada Tuhan. Padahal mungkin kalau dia mau lebih, Tuhan bisa memaklumi.

Kisahnya mengingatkanku pada lansia-lansia lain yang pernah aku temui. Lansia-lansia yang kadang menampar-namparku tepat di hati.

Lalu berapa harga air mataku? Itu juga aku masih tak tahu.

Mungkin semurah tempe dagangan wanita tua yang tiap pagi meneriakan "Gorengan, Mbak, gorengaaan. Nasi telure, Mbak.." melewati depan kosku. Selalu dengan nada itu, kalimat itu, volume itu, dan beban di punggung yang membuat jalannya bungkuk.

Atau segigih wanita di Patung Kuda, yang menawarkan koran pada pengguna jalan ketika lampu lalu lintas menyala merah. Tubuhnya kecil, dekil, kulitnya coklat terbakar matahari, usianya sudah tak muda lagi. Sementara tak jauh darinya, masih di pertigaan yang sama, bernaung di bawah patung yang sama, pria yang jauh lebih muda duduk di kursi roda sambil meminta-minta.

Atau sekuat pria tua penjual sapu yang beberapa kali seminggu lewat depan rumahku. Harganya tak seberapa, keuntungannya apalagi. Padahal untuk mencapai rumahku saja sudah berapa kilo jalan ditapaki kakinya, sementara rumahku hanya sepersekian rute hariannya. Tak bisa kubayangkan bagaimana dia bisa bertahan di pagi hari dengan nyeri di kaki kalau hanya karena ujian lari saja aku pernah tak masuk sekolah esok harinya.

Lalu wanita yang ditinggal merantau anaknya. Dijualnya apa saja untuk menyambung hidupnya yang cuma sebatang kara. Di keranjang yang dia gendong setiap hari, kadang aku menemukan tempe goreng yang sudah keras. Lain hari pernah diberinya aku salak yang sebagian busuk. Kalaupun ada yang masih bagus, rasanya sepah luar biasa. Atau brokoli yang menguning. Dia kadang tampak seperti penjual makanan bekas.
Tak banyak yang mau membeli dagangannya. Tak layak, katanya. Sementara hanya itu yang mampu dia beli untuk dijual lagi. Uangnya dia bayarkan sebagai uang sewa pada sepasang suami-istri-yang-bertengkar-tiap-hari, tetangga yang masih saudara jauh dimana dulu anaknya menitipkan dia. Mereka memang tak pernah minta uang, tapi selalu ada panci dibanting di dalam rumah kalau dia tak memberi setoran walau seadanya.

Sementara sisa dagangan dia makan sendiri.

"Nek anakku wes mapan ki aku ra popo. Aku ora meh njaluk diopeni. Oleh turu nang omahe sedulure we aku wes matur nuwun, dadi aku ra arep ngrepoti sopo-sopo. Aku ki wes tuo, ngene wae aku jeh isoh urip. Aku ki mung pengen weruh putuku, Mbak. Mung pengen ngerti kabare anakku," pernah dia berkata padaku suatu kali. (Kalau anakku sudah mapan tidak apa-apa. Aku tidak minta dirawat. Boleh numpang tidur di rumah saudaranya saja aku sudah bersyukur, jadi aku tidak akan merepotkan siapa-siapa. Aku sudah tua, begini saja aku masih bisa hidup. Aku cuma ingin lihat cucuku, Mbak. Ingin tau kabar anakku.)

Sementara aku hanya bisa mengangguk-angguk. Bertanya dan menjawab seperlunya. Hingga ketika wanita yang sampai sekarang aku tak tahu namanya itu meninggalkan rumah dengan tongkat kayu yang membantunya berjalan, aku hanya bisa menangis. "Hati-hati, Mbah," kataku melepasnya. Sambil dalam hati berdoa semoga ibuku, atau bahkan aku sendiri, tak mengalami hal serupa di masa tua.

Itu terakhir kali aku melihatnya mampir halaman rumahku. Mungkin karena rumahku makin sering terlihat sepi di siang hari atau apa aku tak tahu.

Di balik kulit yang makin usang, kepala dipenuhi uban, gigi yang semakin jarang, pendengaran yang semakin kurang, ingatan yang semakin hilang, gerak yang semakin lamban, ada sisa-sisa kehidupan memancar dari mata yang warna irisnya makin pudar. Menceritakan beban yang pernah dibawanya.

Sementara hanya air mata yang bisa aku bayarkan untuk menyaksikan itu semua. Hanya air mata. Entah berapa harganya. Andai air mata bisa menghargai rasa syukur yang tak pernah lupa mereka panjatkan pada Tuhan. Sayang tidak.

Sekarang, apalagi yang layak tak kusyukuri?

Comments

  1. Mungkin karena itu, dalam Ar-Rahman berkali-kali dikatakan "maka nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan". Nggak banyak manusia yang bisa melihat kisah-kisah itu dengan hati, merenungi apalagi mensyukuri.

    ReplyDelete
  2. Iya, Mbak. Kadang mengeluh lebih gampang dari pada bersyukur ya..

    ReplyDelete
  3. sitimewa...
    tua tak berarti tak berdaya kan?
    asiik, haha

    ReplyDelete
  4. Kadang, usia itu cuma sebuah angka..

    ReplyDelete

Post a Comment

Semua di sini adalah opini. Let's discuss!

Paling Banyak Dibaca

Ketika Wanita Jatuh Cinta... Kepada Sahabatnya

Apa yang terjadi ketika seseorang jatuh cinta? Katanya cinta itu indah. Bahkan eek saja bisa berasa coklat buat orang yang lagi jatuh cinta. Emmmmm... untuk yang satu ini aku menolak untuk berkomentar deh. Bagiku eek tetaplah eek dan coklat tetaplah coklat. Namun jatuh cinta pada sahabat? Beberapa orang bilang bahwa jatuh cinta paling indah itu adalah jatuh cinta kepada sahabat. Terlebih jika gayung bersambut. Bagaimana tidak? Apa yang lebih indah dari pada mencintai orang yang kita tahu semua boroknya, paling dekat dengan kita, dan mengenal kita sama baiknya dengan kita mengenal dia. You almost no need to learn any more . Adaptasinya enggak perlu lama. Namun tak sedikit yang bilang bahwa jatuh cinta pada sahabat itu menyakitkan. Gayung bersambut pun tak lantas membuat segalanya menjadi mudah. Terlebih yang bertepuk sebelah tangan. Akan ada banyak ketakutan-ketakutan yang tersimpan dari rasa yang diam-diam ada. Rasa takut kehilangan, takut saling menyakiti, takut hubungannya berak

Filosofi Cinta Edelweiss

Edelweiss Jawa ( Anaphalis javanica ). Siapa sih yang nggak kenal bunga satu ini? Minimal pernah denger namanya deh.. Edelweiss biasa tumbuh di puncak-puncak gunung. Di Indonesia misalnya, edelweiss bisa ditemukan di Puncak Semeru, Puncak Lawu, Puncak Gede Pangrango, dan tempat-tempat lain yang mungkin temen-temen jauh lebih tau dari pada saya. Indonesia sendiri punya berbagai macam jenis edelweiss. Mulai dari yang putih sampai yang kuning, mulai dari yang semak sampai yang setinggi rambutan.

Buaya Darat #1

Guys , pasti pernah mendengar istilah buaya darat kan ya? Istilah ini dalam KBBI artinya penjahat atau penggemar perempuan. Namun pada perkembangannya lebih banyak digunakan pada kasus kedua. Biasanya pria yang suka mempermainkan wanita akan mendapat predikat buaya darat. Entah kenapa masalah main-mempermainkan ini selalu diidentikkan dengan kaum adam. Kalau ada yang bilang player, hidung belang,   juga buaya darat, pasti imajinasinya langsung ke sosok berkromoso-xy: pria. Wanita sendiri sampai saat ini tidak punya julukan khusus macam itu, meski sekarang bukan cuma pria yang bisa mempermainkan wanita. Kasus sebaliknya sudah marak sekali terjadi. Oke, kembali ke buaya darat. Aku tidak tahu kenapa buaya dijadikan sebagai maskot ketidak-setiaan. Padahal buaya di habitat aslinya dikenal sebagai makhluk yang setia. Tidak seperti kebanyakan hewan, buaya jantan hanya akan kawin dengan satu betina yang sama seumur hidupnya. Beberapa sumber bahkan menyebutkan bahwa jika betinanya mati lebih