Selasa lalu, 26 Februari 2012,
sekitar pukul 20.00 WIB lebih banyak (biasa lah timing ala Indonesia), aku berkesempatan nonton Topeng Purba,
Topeng Irengnya Kurahan. Topeng ireng ini biasa juga dikenal dengan dayakan.
Dayakan adalah
tarian tradisional asli wilayah Magelang dimana para penarinya menggunakan riasan
ala-ala suku Indian dengan krincingan di kakinya. Tapi kenapa dipanggil dayak
(atau kalau lidah orang jawa menyebutnya ndayak) yang identik dengan nama suku
di Kalimantan Tengah, yang ternyata dandanannya sama sekali tidak mirik topeng ireng?
Usut punya usut pakaian yang digunakan para penari dayakan ini mirip sama
pakaiannya orang Dayak.
Biasanya sih
serangakaian topeng ireng tidak hanya terdiri para dayaknya saja; ada monolan, yang
memperagakan adegan-adegan lucu; kewan (jawa : hewan) dimana para penarinya
menggunakan kostum hewan dan menari sesuai dengan gerakan hewannya, terus
biasanya akan kesurupan (biasa disebut ndadi) di akhir sesi.
Ritme tarian dayakan
ini sangat enerjik, ditambah lagi dengan suara gamelan yang keras dan suara
gemerincing kaki-kaki penarinya. Mungkin memang tarian ini bertujuan untuk
meningkatkan semangat kali yaa (sotoy).
Dari berbagai
sumber didapatkan bahwa tarian itu sejenis Kubro Siswo dan Badui, tarian
tradisional yang berkembang terutama di kawasan gunung-gunung di Magelang. Gerakan
tari Topeng ireng menggambarkan masyarakat desa dan gunung-gunung di Kabupaten
Magelang melakukan olah fisik setiap hari.
Keren kan?
Kerennya
lagi ya, dayakan yang aku tonton kali ini adalah dayakan dari
Kurahan-Cawangsari, Borobudur. Bagian sebelah mana dari Indonesia raya kah
itu?? Well, mungkin memang tidak
begitu familiar namanya. But, I’ll tell
you proudly, Kurahan-Cawangsari is my
beloved hometown. Sebuah desa kecil yang damai permai sentosa dan sejahtera
di sebelah timur Candi Borobudur.
Okei,
bek tu de tekss.
Intinya
pemain-pemain dayak kali ini adalah anak-anak desaku sendiri,
tetangga-tetanggaku sendiri. Bangga banget rasanya. Ternyata makhluk-makhluk
peduli budaya itu sebenarnya deket ya sama kita? Serius. Aku memang nggak
begitu akrab sama mereka meski kita tinggal di desa yang sama (efek sekolah
jauh terus), cuma beberapa saja yang aku kenal dekat. Tapi guys, tetep aja aku mengenal mereka. Lihat mereka jingkrak-jingkrak
di depanku tuh rasanya kagum banget. Dan aku mulai menilai mereka dari sudut
pandang yang berbeda.
Rasanya
kayak Indonesia nggak akan kehilangan apa-apa selama masih ada manusia kayak
mereka. Aku bahkan pernah mendengar beberapa teman sebayaku jelas-jelas bilang
padaku, “Dulu aku juga suka ikut ndayak gitu, tapi sekarang udah malu.” Tapi
mereka tidak. Usia mereka rata-rata sama dengan usiaku, beberapa lebih muda,
beberapa lebih tua, ada yang anak kuliahan, anak sekolah kerja, ada yang
ngganteng juga (eh?), dan menjadi penari dayakan bukan masalah besar. Mereka
bahkan seperti menganggap dayak sebagai bagian wajar dari kehidupan mereka.
Lagipula,
apa sih yang memalukan dari semua itu?
Well,
oke, aku akui. Kalau ada yang memintaku bergabung, aku nggak berani janji juga
aku akan mau (hehe). More then just
because that’s not my passion, I have other reason to be doubt. Aku hanya
bisa menikmatinya. Maka dari itu aku bilang mereka keren. Sangat keren.
Lebih
dari itu semua, ketika aku berada di tengah mereka, mengamati mereka, melihat
bagaimana mereka mempersiapkan apa yang akan mereka sajikan, aku bisa merasakan
feel persaudaraan. Benar, Kawan, budaya ini memang mempersatukan kita.
Bagaimana cara mereka saling membantu merias, mengomentari, sesekali berdebat,
semua itu menunjukkan betapa mereka itu satu.
Melihat
mereka bergelimpangan di belakang panggung usai pentas dengan badan bermandikan
keringat, they look so cool you know.
Gagah, kalau aku boleh jujur :p
Tapi
karena mmc hapeku yang mendadak eror dan mengformat dirinya sendiri tanpa
permisi, maka semua bukti otentik kehebatan mereka malam itu hilang sudah. Apa
mungkin berkat kutukan temenku anak medan yang aku pamerin via sms sampe
mencak-mencak yaa? Entahlah.. Jadilah aku memasang gambar-gambar ndayak yang
aku dapet by googling. Tapi temans,
memorinya masih ada kok di dalam benakku untuk aku ceritakan pada dunia betapa
hebatnya kalian… :D
Kagum
yang awalnya sebuah chauvinism itu,
kini benar-benar tumbuh. Tanpa maksud meng-underestimate-kan
ndayak dari wilayah lain lho yaa.
Salam
budaya!! <3 <3
borobudur, 03022012
Dien Ihsani
Wow, Keren Aku pun pernah mengalami menjadi bagian dari seni tradisional ini, tetapi masih klasik. Make Jathilan
ReplyDelete